SAHABAT
Waktu
dimana Ezra muncul dari dalam toko sudah lewat. Untuk beberapa waktu Ezra menjadi pembicaraan yang hangat bagi
anak-anak gadis di sekolah. Bahkan, Azar adiknya pun terkena imbas dari sang
kakak.
Bahkan,
gadis-gadis yang ada di tingkat Sebelas dan Duabelas sering menemui Azar di kelasnya
untuk menanyakan bagaimana keadaan kakak Azar.
Ezra hanya
tertawa ketika Azar menceritakan hal itu. Tapi, itu adalah hal yang sudah
lewat. Sekarang kehidupan Azar di sekolah tidak lagi di hampiri
oleh anak-anak gadis yang berbondong-bondong datang memberikan segudang
pertanyaan untuk kakaknya.
Waktu
terasa berlalu begitu cepat. Dan sekarang waktu berada di awal bulan kedua
dalam kalender atau bulan Februari. Entah apa yang akan terjadi di bulan
yang hanya memiliki duapuluhdelapan hari ini. Hal yang baik dan buruk, menyenangkan atau sedih,
rusuh atau tenang, hanya Yang Di Atas lah yang tahu, Dia yang merencanakan
setiap waktu yang harus kita lalui.
Pagi yang
indah di hari keduabelas dalam bulan yang kedua itu, adalah hari yang
istimewa untuk seorang Elsa.
“Selamat
ulang tahun! Elsa! Ayo cepat bangun.” Kata Oma Elsa yang membuka selimut yang masih menutupi tubuh Elsa.
Hari ulang
tahun adalah hari di
mana setiap orang begitu menantikannya. Sekalipun ada begitu
banyak hari besar yang dinantikan banyak orang, namun hari ulang tahunlah yang
menjadi hari paling di
tunggu-tunggu untuk setiap orang.
Bertambah
satu tahun lagi! Orang-orang pasti begitu bersyukur karena satu tahun yang
telah dilewati mereka telah berlalu.
Sungguh!
Tak hanya ucapan selamat dari orang-orang yang ada di rumah.
Teman-teman di sekolah ataupun di Facebook memberikan selamat pada Elsa yang kini
genap enambelas tahun.
Enambelas
tahun sudah Elsa di
berikan kesempatan untuk ada di dunia
ini.
Mobil
berwarna hitam itu berhenti di samping Elsa ketika sedang
dalam perjalanan pulang. Kaca pintu mobil itu perlahan-lahan turun, wajah orang
yang mengendarai mobil itu tampak mulai terlihat. Tak ada orang lain dalam
mobil itu selain pengendaranya.
“Happy Birthday!” Ezra
datang membawa sebuah kotak yang telah di hiasi
dengan sebuah pita biru dan di bungkus dengan bungkusan
kado berwarna merah.
“Kak!”
“Ayo cepat
masuk kemobil.” Ezra membuka pintu mobil.
Elsa segera
masuk, duduk di kursi depan samping pengendara itu dan menerima hadiah dengan
hiasan yang nampak cantik itu.
“Makasih
kak! Ini isinya apa?” Elsa mencoba membuka kado itu.
Ezra
menghentikan tangan Elsa “Jangan di buka disini dong. Nanti pas
kamu di rumah.”
“Terus
sekarang kita mau kemana, Kak? Ini kan udah lewat dari rumah Elsa.”
“Kamu tahu
biapong?”
“Cuma
pernah dengar aja Kak! Memangnya kita mau kesana?”
“nggak ada
tempat lain untuk raya’in ulang tahun kamu. Jadi, kita ke tempat makan biapong
aja.”
“Raya’in?
Berarti banyak orang yang disana yah?” Elsa meletakkan hadiahnya pada kursi
belakang mobil itu.
“Iya banyak
orang.”
Biapong
adalah makanan dengan daging yang di campur beberapa bumbu rempah
di tambah dengan potongan telur lalu di bungkus
dengan daging beroti. Biasanya biapong berwarna putih dengan alas sebuah kertas
dibawahnya.
Suasana di
rumah makan kopi itu tampak ramai, dengan dinding kaca yang transparan hingga
suasana yang ada di dalam ataupun di luar begitu terlihat jelas.
Pelayan itu
mengantar dua cangkir kopi susu serta beberapa biapong yang di susun
pada sebuah piring berbentuk bulat pada meja yang ditempati Elsa dan Ezra.
Tempat yang mereka pilih tepat berhadapan dengan jalan raya, berada di pinggir
bagian ruangan dari rumah kopi itu.
“Katanya
mau raya’in ulang tahun Elsa?” Elsa bingung ketika tidak melihat seorang pun
yang di kenalnya duduk, makan, dan minum di rumah kopi itu, kecuali Ezra yang
bersamanya.
“Ini mau
kita raya’in?”
“terus mana
mereka?”
“Mereka?
Mereka siapa?”
“Tadi kakak
bilang banyak orang yang mau raya’in ulang tahun Elsa disini ‘kan?”
“Kapan aku
bilang gitu?”
“Tadi, pas
mau datang kesini.” Elsa mulai kesal.
Ezra
mencoba mengingat apa yang sempat ia katakan pada Elsa yang mulai menunjukkan
wajah kesalnya itu.
“Oh! Itu
yah! Ia disini banyak orang yang datang untuk makan biapong, bukan untuk
raya’in ulang tahun kamu.” Azar menyerup Kopi susu yang di depannya.
“Jadi yang
disini cuma kak Ezra sama Elsa, gitu?”
“Tepat!
Harusnya aku bilang dari awal yah kalau cuma kita berdua yang raya’in ulang
tahun kamu ini, supaya wajah kamu yang serem itu nggak aku lihat.”
“Tapi kenapa
nggak ngajak yang lainnya?”
“Aku cuma
mau makan sama kamu. Ini ‘kan hari spesial kamu, lagian bentar lagi aku harus
kembali sekolah.”
“Aku
senang, di saat ulang tahunku kak Ezra masih ada disini.”
“Memang
seharusnya aku ada di hari seperti ini ‘kan?”
“tapi,
bagiku ulang tahun yang istimewa adalah ulang tahun dimana orang-orang yang
kita sayang ada bersama, merayakannya bersama.”
“Apa hari
ini hari istimewa untukku?” Ezra mengunci kedua tangannya diatas meja.
“Apa?” tampak wajah Elsa yang kebingungan.
“Kita tidak
harus merasa istimewa ketika kita berulang tahun! Berada di sisi
orang yang kita sayangi merupakan hal yang spesial bagiku.”
“Sebenarnya,
tak masalah itu suatu hal yang spesial atau tidak! Merasa bahagia dan tersenyum
saja merupakan hal yang paling istimewa dalam hidup!”
Ezra terus
melahap biapong yang ada di depannya, meminum kopi susu.
Elsa memegang cangkir kopi susu itu dengan kedua tangannya, perlahan-lahan
mengambil biapong untuk di makan.
Rasa dari
biapong itu, di tambah dengan secangkir kopi susu memang tak ada bandingnya. Semua
biapong yang di pesan mereka habis, yang tersisa hanyalah kertas yang menjadi alas
biapong dan piring tempat menatanya serta dua cangkir yang tersisa hanyalah
ampas kopi.
***
Biapong dan
kopi susu itu, serta rumah kopi itu adalah tempat pertemuan
terakhir Elsa dan Ezra. Ezra kembali melanjutkan studinya di luar
negeri. Sementara Elsa, hanya merasakan beberapa waktu bersama Ezra. Ini
seperti mimpi bagi Elsa, ia harus menunggu berbulan-bulan lagi untuk Ezra
pulang, atau mungkin menunggu selama bertahun.
“Tapi, Istimewa memang bukanlah saat ketika kita berulang tahun
atau bersama orang yang kita sayangi. Istimewa adalah saat dimana kita masih
dapat bernafas didunia ini dan masih menatap dunia ini.”
Elsa
mengingat perkataan Ezra ketika mereka makan di rumah kopi saat ulang tahun
Elsa.
“Zar! Apa
yang istimewa... menurut kamu?” Elsa bertanya pada Azar yang duduk di belakang
kursi tempatnya saat jam istirahat sekolah.
“Seseorang.”
Jawab Azar yang sedang menyalin catatan Roland.
“Yang jelas
dong.” Elsa mendesak.
“Aku nggak
mungkin bilang tahu. ‘Seseorang’ itu rahasia.”
“Apa cuma
‘Seseorang’ itu aja?”
Elsa tampak penasaran.
Azar
menghentikan sejenak menyalin catatan itu “Papa, Mama, Kakak, teman....
kayaknya semua. Tapi yang paling istimewa ya ‘Seseorang.”
“’Seseorang’
atau ‘Sesuatu’?” Elsa menghadapkan kepalanya ke depan.
“Zar? Buku
aku udah belum?” Roland saat itu masuk dengan sebotol air mineral dalam
genggamannya.
“Sedikit
lagi, Land.”
“kalau udah
masukin ke tas aku yah?” Roland duduk di tempat
Vincent yang kosong, dan menghadap pada Elsa yang tetap menatap kedepan.
“Okey~” jawab Azar yang masih fokus pada catatan
yang sedang di salin.
“Land?” Elsa tiba-tiba menghadap pada Roland “Menurut
kamu... apa yang istimewa bagi kamu?”
Roland
berpikir sejenak “Kenapa kamu nggak tanya sama Sinta?”
“Ini
pertanyaan buat kamu, bukan untuk Sinta. Jadi, apa?”
“Seseorang.” Jawab Roland yang persis dengan jawaban
Azar.
“Hahh?
Jangan becanda dong. Ini serius.”
“Mama...
Papa... Adik... Kelua...” Roland belum menyelesaikan bicaranya.
Elsa segera
memotong dan kembali menghadap kedepan “Udah pasti ujung-ujungnya yang istimewa
itu ‘Seseorang’ iya ‘kan?”
“Kamu udah
tahu. Terus kenapa nanya?”
“Aku kira
kamu punya jawaban lain. Kalau kamu gimana, Sin?” Elsa segera beralih
pada Sinta yang sedang bertiduran di meja.
Sinta
segera mengangkat kepalanya, sedikit bersandar pada meja “Apanya, Sa?”
“ya, apa
yang istimewa bagi kamu?”
“Sekolah
tanpa belajar dan tanpa
pekerjaan rumah adalah hal yang istimewa untuk saat ini. Udah ah,
aku mau tiduran dulu, semalam aku tidurnya larut.” Sinta kembali pada posisi
tiduran dimejanya.
“Kalau
gitu, kenapa kamu mau sekolah? Kenapa nggak berhenti aja? Terus apa gunanya
sekolah tanpa belajar.” Elsa memukul pundak Sinta.
“Lagian...”
Roland berkata “Kamu kenapa tanya tentang hal yang istimewa sih?”
“Aku cuma
mau, bandingin aja hal yang di rasa orang itu istimewa, apa sama dengan orang yang lain.”
“Ah
selesai. Nih, Land bukunya. Makasih yah.” Azar menutup bukunya dan mengembalikan
buku Roland ke dalam tas.
“Setiap
orang memiliki hal yang istimewa, tapi berbeda dengan orang yang
lainnya.” Lanjut Azar.
“Setiap
orang memiliki hal yang istimewa bagi diri mereka sendiri. Bisa saja orang itu
merasa bahwa dirinyalah yang istimewa.” Tambah Roland.
“Land, itu
mama kamu kan?” Sinta melihat keluar kelas.
“Ah, iya.”
Roland berlari keluar kelas menuju ruang guru di mana
Mamanya berada “aku kesana dulu yah.”
“Kenapa
mama Roland datang kesekolah? Apa dia buat masalah?” Azar mencari tahu.
“Mungkin
dia mau izin kali. Makanya mama Roland datang kesekolah.” Elsa menebak-nebak.
“Iya,
biasanya kalau ada urusan yang penting, orang tualah yang datang ke sekolah
untuk izin anaknya.” Sinta menambahkan.
Mobil yang
mengantarkan Mama Roland, melaju keluar sekolah. Roland tampak berjalan di tengah
lapangan. Wajahnya tampak begitu murung, jalannya pun begitu lambat, kepalanya
tertunduk, Roland seperti sedang merenungkan sesuatu.
Roland
berada di depan kelas, menggesek-gesekkan kakinya pada keset kaki yang ada
sebelum masuk kedalam kelas dan duduk di tempatnya.
“Aku kira
kamu mau pulang, Land?” Sinta menaruh kedua tangannya pada meja Roland.
“Siapa mau
pulang?” Roland berkata dengan wajah datar.
“Tadi, mama
kamu datang ‘kan? Aku kira kamu mau izin?” Sinta menunjuk pada sebuah gedung
yang menjadi ruangan guru.
“oh! Bukan
mau izin, mama cuma...” sejenak berhenti “Mama cuma datang gitu aja. Nggak
jelas.”
“Land,
memang benar yah?” Ferry datang langsung
menduduki tempatnya yang ada di samping Roland.
“Apa sih kamu?
Roland tuh nggak mau izin, mama nya yang datang gitu aja ke sekolah.” Sinta
sedikit mendorng kepala Ferry
ketika berada di depan meja tempat Roland.
“Bukan.
Katanya kamu mau pin...” Ferry melihat isyarat kecil dari Roland agar tidak
melanjutkan perkataannya.
“Pin...?”
serentak Elsa, Sinta, dan Azar bertanya karena perkataan Ferry yang kurang
lengkap itu.
“Pin..
apa?” Elsa penasaran.
“Mau...”
Ferry berpikir mencari alasan yang tepat agar mereka tidak mendesak untuk
mencari tahu lagi “Pin.. Super Junior. Iya, Roland mau pin Super Junior. Nanti
kalau kamu mau pesan, bilang sama aku aja yah, aku punya kenalan yang jual
murah.” Ferry segera berdiri dari duduknya menjauh dari mereka berempat.
“Pin Super
Junior?” Sinta berkata kecil.
“Udah,
nggak penting.” Roland segera menidurkan wajahnya di atas
meja dengan kedua tangannya sebagai alas.
‘Yeah~~’ sorakkan
siswa-siswa ketika bel panjang yang menandakan sekolah berakhir di hari itu
serentak terdengar dari kelas sepuluh hingga siswa kelas ujian, kelas duabelas.
Untuk
siswa-siswa, saat yang paling menyenangkan adalah saat dimana mereka bisa
kembali ke rumah. Melepaskan segala penat yang ada karena hampir delapan jam
mereka harus memacu otak untuk menerima setiap kata demi kata dalam pelajaran.
“Sinta
pulangnya cepat, Azar di jemput. Jadi nggak seru yah kalau pulang cuma kita
berdua aja yah, Land?” Elsa memeluk dua buah buku cetak.
“Nanti bakal
lebih nggak seru lagi.” Roland berkata dengan kepalanya yang menunduk dan kedua tangannya yang
berada pada saku celana.
“Lebih
nggak seru gimana?” Elsa menatap Roland
“Hahh?”
Roland membalas tatapan Elsa.
“Tadi kamu
bilang ‘Nanti bakal lebih nggak seru lagi’, maksudnya apa sih.”
“mungkin nggak
akan seru lagi kalau kita sendiri ngga akan bersama...” kata-kata Roland mulai
kacau “selalu pulang seperti ini...”
“Stop!
Stop! Kamu bilang apa sih? Nggak ngerti tahu. Lagian kamu dari tadi, kayak
cemberut terus?”
“masa? Aku
senyum-senyum kok.” Roland mencoba membuat sebuah lengkungan di bibirnya.
“Apa’an
tuh? Kamu ada masalah yah?”
“Nggak kok,
Sa.”
“bohong!
Masalah mama kamu yang datang kesekolah tadi? Nggak mungkin orang tua datang
kesekolah tanpa alasan yang
nggak jelas ‘kan?”
“Benar
nggak ada apa-apa. Lagian kepala sekolah kita ‘kan kenalan mama aku. Mungkin
mama datang untuk mengundang kepala sekolah makan-makan, gitu..”
“Nggak
mungkin. Pasti ada hal yang lain ‘kan?”
Handphone
yang ada di kantong Elsa bergetar. Sebuah pesan dengan nama Sinta sebagai
pengirimnya berada pada layar depan handphone.
“Oh!
Makan-makan untuk perpisahan yah?” Elsa berkata setelah membaca pesan dari
Sinta.
“Perpisahan?
Perpisahan apa?” Roland bingung.
“Nih baca
sendiri?” Memberikan handphone-nya yang masih membuka pesan dari Sinta. Roland
yang membaca itu langsung terdiam, karena isi pesan itu;
‘Kamu
dimana, Sa? Kamu masih di jalan pulang bareng Roland
‘kan? Katanya, Roland mau pindah sekolah, Sa. Mungkin karena itu, tadi mama
Roland datang ke sekolah.’
Elsa
merebut handphone-nya “Kenapa harus pindah, Land?”
“Alasan
yang nggak penting.” Roland segera berjalan di sebuah tikungan itu, menuju
rumahnya. Tikungan dimana Roland dan Sinta sering berpisah dengan Elsa dan
Azar saat pulang sekolah.
“Apa? Apa kamu juga nggak bisa percaya dengan orang lain? Aku bisa jadi
percaya sama kamu dan Azar, kenapa kamu nggak bisa percaya sama aku, Land?”
Elsa segera berjalan, mengikuti jalan menuju rumahnya dengan jalan yang cepat.
Elsa
berjalan dengan penuh kekesalan dalam hatinya. Dengan buku yang masih di peluknya erat. Lengan Elsa seketika di pegang oleh
seseorang yang membuat langkah Elsa terhenti “Kenapa? Kenapa kamu belum
berkemas?” kata Elsa ketika melihat orang yang memegang tangannya itu.
“Kamu nggak
masalah kan kalau pulang sedikit terlambat? Ayo ikut.” Roland menyeret Elsa
kembali, menuju jalan kesekolah.
Tetes-tetes
air hujan mulai berjatuhan dari atas langit yang mulai tertutupi dengan awan
hitam.
“Kenapa
kita kembali kesekolah?” tanya Elsa dalam perjalanan mereka.
“Kamu mau
jadi orang yang aku percaya ‘kan?”
“Aku kira
itu nggak perlu lagi?” Elsa melihat pundak orang yang masih menyeretnya.
Hujan turun
sangat deras, lapangan sekolah seperti menjadi danau kecil. Tetesan-tetesan air
hujan itu jatuh dari atas atap sekolah, Roland menjulurkan tangannya, mencoba
menampung air hujan yang menetes deras itu.
“Sekarang
aku nggak bisa pulang. Coba kalau kamu nggak suruh aku balik, pasti sekarang
aku lagi tidur-tiduran.” Elsa kesal. Kekesalannya jadi bertambah karena tidak
bisa pulang rumah.
“Aku juga
jadi nggak bisa pulang!
Belum bisa mengemas barang-barang aku.”
Roland memasuki kelas, duduk diatas meja.
“Tapi kamu
kan yang ngajak kembali kesekolah?”
“Terus
kenapa kamu mau ikut?”
“Iih, terserah
kamu deh. Orang kamu yang nyeret aku. Coba kalau kamu udah pulang, pasti
sekarang lagi beres-beres ‘kan?”
Roland
melihat sejenak pada Elsa yang memandanginya dengan wajah yang kesal dan
memalingkan wajahnya pada halaman sekolah yang masih di guyur
hujan.
“Tadi kamu
tanya ‘kan? Apa yang istimewa bagi aku...”
“oh itu.” Elsa mengingat kembali “Kamu bilang ‘seseorang’ ‘kan?”
“Apa kamu
pikir aku memiliki keinginan untuk pindah, menjauh dari orang yang istimewa
bagi ku?”
“Lalu,
kenapa kamu tetap mau pindah?”
“Bukan aku,
Sa! Tapi papa aku. Dia di minta perusahaan untuk
kembali ke Jakarta. Menurut kamu...” Roland menatap lekat Elsa yang masih memandanginya
“Apa orang yang bagiku istimewa itu akan menangis atau sedih saat aku pindah?”
“Mungkin?” Elsa menjawab sambil menerka.
“kayaknya
enggak? Dia nggak akan sedih.”
“Nggak? Kenapa nggak?”
“Saat ini
aja, dia lagi kesal, karena aku mau pindah. Asal kamu tahu, Sa. Pandangannya
saat ini ke aku terlihat penuh kekesalan.”
“Dia..?
Saat ini…?
Maksud kamu..?”
Elsa mulai mencerna perkataan Roland
“Kamu. Hal
yang istimewa bagi aku, itu kamu.”
Elsa
terdiam tetap memandangi Roland, wajah kesalnya berubah menjadi wajah terkejut
setelah mendengar kata Roland.
Suasana
menjadi hening, mereka saling menatap satu dengan yang lainnya.
“Apa kamu
masih mau ninggalin orang yang istimewa itu? Setelah tahu dia akan sedih kalau
kamu pindah?”
“Nggak ada
pilihan lain. Aku harus mengikuti orang tua. Sekalipun aku juga akan sedih
melihat orang yang istimewa itu bersedih.”
“Nggak ada
pilihan lain? Semuanya adalah pilihan. Hanya saja, kita dipilih untuk mengambil
pilihan itu.”
“Seandainya,
didunia ini nggak ada pilihan? Aku akan tetap sekolah, beraktifitas, dan
menemukan arti kenapa aku harus hidup ditempat ini.”
“kalau
nggak ada pilihan? Sekolah disini, beraktifitas disini, tujuan menemukan arti
hidup disini, dan segala hal yang kita lakukan itu aja sudah pilihan yang kita
lakukan, Land.”
“terus! Apa
aku tetap harus mengikuti pilihan orang tua aku untuk pindah?” mata Roland
tampak mulai berkaca.
“itu
pilihan orang tua kamu ‘kan, bukan kamu yang memilih untuk pindah. Dan untuk
arti hidup kita, Land. Arti hidup ini sebenarnya adalah ketika kita di tunjuk
untuk menentukan pilihan itu sendiri. Kitalah yang menentukan pilihan itu, Land.
Bukan orang tua kamu, atau siapapun.”
Roland
berhenti menatap Elsa, mengalihkan pandangannya pada hujan yang dengan derasnya
masih mengguyur membasahi sekolah itu.
“Wah!” Azar
berteriak kaget, melihat Roland dan Elsa berada dalam kelas itu. “Kalian belum
pulang?”
“Kamu
sendiri? Bukannya kamu dijemput, zar?” Elsa bertanya, melihat Azar yang masih
berada di lingkungan sekolah itu.
“tadi pas
mau pulang, aku di
suruh-suruh sama guru-guru, pas mau pulang udah hujan.
Ngomong-ngomong di
sini dingin yah?”
“Suasananya
juga dingin.” Gumam Elsa.
Kasih...
Yang t’lah kau beri~
Amat berarti mewarnai hidupku ini~
Lantunan
lagu terdengar dari Azar yang duduk di tempat Sinta,
sedang memainkan handphonenya.
Kasih...~
Bawalah aku tuk lebih lagi~
Memahami arti hidup ini~
Elsa dan
Roland segera memalingkan wajah mereka, melihat pada Azar yang asik bermain
handphone itu. Sedangkan lantunan lagu itu seketika berhenti bersamaan dengan
hujan yang mulai redah.
“yuk
pulang? Hujannya udah redah.” Azar berdiri dari tempatnya duduk, berjalan
keluar kelas.
Di bawah
langit yang masih menteskan tetesan-tetesan air namun dalam volume yang rendah.
Elsa, Roland, dan Azar berjalan dengan langkah kecil dan lambat.
Elsa
mengeluarkan handphone nya, seperti mengetik sebuah pesan yang.
‘Apa arti hidup yang sebenarnya itu Kasih?’ isi pesan Elsa yang di kirimkannya pada Roland.
‘Kalau itu
kasih? Menurut kamu gimana?’ balas Roland
‘Entah.
Mungkin bagaimana kita mengasihi dan di kasihi orang, itu arti hidup.’
‘Gimana
kalau Aku suka sama kamu? Iya, Sa. Itu Kasih aku untuk kamu.’
Elsa
melihat pada Roland setelah membaca pesan itu.
“Aku belok
sini yah?” Roland melambaikan tangannya ketika berada di tikungan,
menatap Elsa dan tersenyum, lalu kembali melihat pada arah jalan
menuju rumahnya.
“Jadi lebih
lepas?” Azar menyimpan handphone yang dari tadi di mainkannya.
“Hahh?”
“Sebentar
aja. Ini bukan saat yang tepat.”
“Apa sih?
Aku mau jalan terus, dah.”
Elsa
berjalan terus meninggalkan
Azar, sebuah pesan baru masuk di
handphonenya. Elsa mengabaikan pesan itu, terus berjalan menuju rumahnya. Yang
ada di pikirannya hanyalah memikirkan Roland, teman baiknya yang akan segera pindah sekolah, serta pesan dari Roland. ‘Apa
itu pernyataan perasaan Roland? Atau hanya pernyataan dari lagu yang di nyanyikan
Ezra tadi?’ batin Elsa bertanya-tanya.
Dengan kaos
dan celana menutupi lututnya, Elsa berbaring diatas tempat tidurnya, masih
memikirkan akan hal yang terjadi dihari itu.
Elsa
mengambil handphonenya, ketika di lihatnya ada sebuah pesan
yang tidak sempat di
bukanya, pesan dari Azar.
‘aku suka sama kamu, Sa! Aku nggak tahu apa respon dari kamu,
setidaknya aku udah ngungkapin ini ke kamu.’ Isi pesan dari Azar.
Satu lagi yang
bertambah dalam pikiran Elsa. ‘Apa lagi yang di kirim Azar ini? Apa Roland dan
Azar...?’
Elsa
memainkan handphonenya, mengirimkan sebuah pesan kepada dua orang sekaligus.
Kepada Roland dan Azar;
‘Disaat kita menjadi teman, akan lebih muda bagi kita untuk saling
berbagi! Dan mengasihi satu dengan yang lainnya!’ isi pesan yang dikirimkan Elsa.
Dua buah
pesan secara bersamaan masuk. ‘Jadi?’
isi pesan itu sama dengan pesan yang satunya, pesan yang masuk bersama itu.
Balas pesan
Elsa ‘Dengan teman aku merasa lebih
nyaman, aku cuma ingin kita berteman. Kalian,teman-teman aku, yang membuat
hidup ku lengkap. Dan aku nggak mau semua kelengkapan itu menghilang. Ibarat
sebuah pistol, aku tidak mau kehilangan peluru-peluru yang harusnya ada di
dalam hidupku, dan bekerja bersama dengan ku.’
Bagi Elsa,
melepaskan teman adalah hal yang terberat dalam hidupnya. Merusak sebuah
pertemanan sama saja dengan menghancurkan sebuah berlian yang begitu berkilau
dan mahal.
***
Sudah dua
hari sejak pertemuan terakhir Elsa dan Roland, di mana
Roland juga menyatakan perasaannya pada Elsa. Kursi tempat duduk Roland kosong untuk
dua hari itu.
Sedangkan,
hubungan Azar dan Elsa tetaplah seperti biasanya. Azar bisa mengerti akan Elsa
yang begitu menghargai sebuah hubungan persahabatan, di bandingkan hubungan
yang mungkin bisa menghancurkan hubungan yang baik, lagipula bagi Azar ada
begitu banyak waktu yang harus di tunggu Azar untuk kembali menyatakan perasaan
pada Elsa ketika Elsa sudah siap nanti.
Pagi itu,
Elsa datang begitu cepat, di hari ketiga itu Elsa memang
berharap masih bisa melihat Roland. Berat rasanya di tinggalkan oleh seorang
teman baik baginya.
Meletakkan
tas di atas meja, adalah kebiasaan Elsa saat tiba di kelas, atau bisa jadi
kebiasaan rata-rata siswa.
Kelas yang
masih kosong, hanya ada kursi dan meja itu. Elsa menatap tempat Roland, salah
satu tempat yang kosong dari sekian tempat kosong yang ada.
Sebuah tas
berwarna tiba-tiba di
lempar dan mendarat tepat pada tempat Roland yang kosong itu. Elsa
melihat tas hitam yang berada di atas meja Roland itu.
“Tumben
kamu datang cepat banget?” tampaknya itu suara dari pemilik tas.
“Kayaknya
aku kalah cepat. Mungkin karena dua hari nggak datang ke sekolah, yah?” lanjut
suara itu.
Elsa dengan
cepat memalingkan wajahnya, melihat si pemilik suara itu yang bersandar pada
pinggiran pintu masuk.
“Kamu nggak
jadi pindah?” tanya Elsa yang terlihat mulai senang dengan kehadiran Roland
pagi itu.
“Baru dua
hari aku nggak sekolah aja, kayaknya kamu terus perhatiin tempat aku, yah?”
“ih~ ge’er.
Kamu sekolah karena mau ambil beberapa berkas untuk pindah yah?”
“Sebenarnya,
mau balikin berkas sih.”
“Jadi?”
“Aku nggak
jadi pindah sekolah.”
“Kenapa
nggak jadi? Nggak ada sekolah yang mau terima kamu yah?” Elsa mengambil sikap bercanda.
“Kamu
beneran mau aku pindah yah?”
“Nggak
begitu, Land? Jadi, kenapa kamu nggak jadi pindah?”
“Papa aku
nggak jadi balik kerja ke Jakarta. Makanya, aku juga nggak jadi pindah
sekolah.”
“Bagus deh!
Aku kira nggak bakal ketemu sama kamu lagi.”
“Oh ya, Sa!
Kita juga perlu mengikuti setiap pilihan yang ada, ‘kan? Jadi, Arti hidup itu,
dimana kita di tunjuk untuk mengikuti pilihan yang sebenarnya di sediakan
untuk kita.”
“Entahlah.
Kayaknya kamu udah ikutin pilihan itu!?
“Yah, dan
nggak mungkin juga aku harus ninggalin sesuatu yang lebih berharga dari
berlian.” Roland tersenyum.
“Hah? Kamu
kok disini?” Azar membalikkan badan Roland, heran dengan keberadaan Roland.
“Memangnya
aku nggak boleh disini?”
“”Roland
nggak jadi pindah sekolah.” Elsa menyelah dengan senyuman manisnya yang terukir di wajahnya.
“nggak jadi
pindah...? Bagus dong, kita jadi bisa sama-sama lagi. Dua hari tanpa ketua kelas, kelas
ini seperti nggak punya pemimpin.”
“Emang
harus ada aku yah baru kalian memiliki pemimpin? Setiap orang bisa menjadi pemimpin.”
“tapi beda
dengan kamu. Dengan begini aku punya saingan... tidak, aku kembali punya salah
satu teman terbaik lagi.”
Roland
tersenyum akan kata-kata Azar itu, bersama mereka tersenyum di pagi yang indah
itu.
Elsa bisa mengerti akan kata-kata Azar yang
sempat terputus itu. ‘Saingan’, Elsa mengerti akan hal itu. Ia jadi teringat
dengan pesan dari Roland dan Azar yang menyatakan perasaan kepadanya. Namun,
Elsa berpikir untuk melupakan hal itu,karena mengungkit atau mengingat-ingat
akan hal itu hanya akan merusak sebuah hubungan pertemanan yang tak mungkin
lagi akan di temuinya suatu hari nanti.
Terdengar
akan kepindahan oleh teman-teman, dan tak hadir untuk beberapa hari. Tak akan
ada teman yang tak akan mengingat atau merindukan kita. Silih berganti, setiap
siswa Xc tiba dan memasuki kelas mengerumuni Roland, ada yang merengek, ada
yang kesal, bahkan memukul Roland, karena berita kepindahannya.
“Payah yah!
Roland udah nggak hadir beberapa hari. Aku rindu sama Roland.” Sinta duduk
melepaskan tas yang ada di punggungnya.
“Kamu belum
lihat dia yah?” Elsa memegang pundak Sinta.
“Siapa?
Roland? Ya belum lah. Paling, sekarang dia sedang bersiap kesekolah?”
“nanti kamu
sadar sendiri deh.” Elsa melepaskan pegangannya.
“Itu
anak-anak kenapa pada ngumpul di tempat Roland? Ada murid baru yah?”
“Iya, murid
baru! Baru sekolah!”
“Dia nggak
pernah sekolah sebelumnya?”
“Sinta,
please. Kamu lihat aja itu siapa?” Elsa sedikit kesal dengan pemikiran Sinta
yang lambat.
Seorang
dari orang yang berkerumun di tempat Roland itu, bergeser
dari tempatnya wajah Roland mulai terlihat, karena kerumunan itu tidak begitu
padat lagi. Roland mengangkat tangannya,
melambai kecil dan tersenyum pada Sinta
yang telah melihatnya.
“Roland,
tuh! Roland aja di kerumunin.” Sinta berkata.
Elsa
menatap bingung salah satu teman baik yang ada di sampingnya
itu “Kamu sakit ya?”
“Nggak, aku
sehat-sehat aja, Sa.”
Elsa
menepuk jidatnya “Terserah kamu, Sin! Itu Roland. Roland. Roland.”
“Aku tahu
itu Roland.”
Elsa membiarkan
Sinta yang tampaknya hanya sadar Roland ada di sekolah,
tapi tidak menyadari bahwa Roland tidak jadi pindah sekolah.
“Roland
yah?” Sinta segera berdiri dari duduknya, berjalan menuju tempat Roland.
“Dia baru
sadar yah?” Gumam Elsa.
“Kamu tuh kenapa
sih? Pindah nggak bilang-bilang? Terus kenapa kamu nggak ngundurin diri dulu
dari posisi ketua kelas? Kenapa juga kamu nggak jadi pindah?” Sinta merengek
pada Roland yang hanya bisa mendengar rengekkan Sinta.
Azar dan
Elsa mendekati Sinta yang berada di hadapan Roland sedang
merengek. Mereka mencoba menghentikan rengekan Sinta, karena tahu Roland tak
sanggup mendengar rengekan Sinta itu.
“Udah,
Sin! Kan Roland nggak jadi pindah. Gimana kalau sebentar kita berempat, ah
berlima bareng Randy makan bareng?” Elsa membujuk Sinta yang hendak merengek
lagi.
“Makan
dimana?” tanya Sinta
“Pangsit?”
Azar menyarankan “Nah, di traktir sama Roland deh?”
“aku yang
traktir?” Roland tampak keberatan.
“Ayo lah,
Land. Kamu mau Sinta merengek terus sama kamu?”
“Ini sih mencari
kesempatan yah? Ya udah deh.”
Kata Roland tampak pasrah.
“Kamu yang
traktir, Land?” Sinta terlihat senang.
“kalau soal
traktiran, ekspresi kamu langsung berubah yah?” Azar sedikit mendorong kepala
Sinta dengan telunjuknya.
“Jadi
pulang sekolah nanti ‘kan?” Elsa memastikan.
“Kalau
pulang sekolah aku telepon Randy dulu deh?” Azar memegang handphonenya mencoba
menghubungi Randy.
“Enci
datang, hubungi Randy sebentar aja.” Elsa sejenak melihat keluar kelas.
Ibu Widya
masuk kedalam kelas di
ikuti oleh seorang siswa lelaki, tampaknya seorang siswa pindahan.
“Ah!” Elsa
terkejut.
“Itu?”
Sinta memalingkan kepalanya pada Elsa yang terkejut.
“Loh?”
Roland juga terkejut.
“Baru juga
mau di telepon?” Azar bergumam
dengan senyuman di bibirnya.
“Vincent nggak sekolah yah?” Bu Widya bertanya ketika melihat tempat Vincent yang kosong.
“Untuk
sementara kamu duduk di
situ yah sama Roland. Oh Roland, selamat datang lagi.” Kata Bu
Widya sambil menunjuk tempat Vincent dan tersenyum pada Roland.
“Oh iya,
kamu boleh perkenalkan diri dulu?” Lanjut Bu Widya
“Saya
Randy. Salam kenal semua.” Randy memperkenalkan diri dan segera menuju ke tempat
Bu Widya menunjuk untuk ia duduki.
“Baik,
sekarang kita lanjutkan materi kita...”
Bu Widya
mulai menulis di papan putih itu dengan broadmarker berwarna hitam. Dua jam
pelajaran Bu Widya mengajar.
Randy
membuat kejutan dengan kepindahannya di SMA Negeri 1.
“Kamu benar
pindah sekolah ke sini?” Azar seperti tak percaya.
“ya iya dong Eleazar. Kalau nggak, terus kenapa aku harus duduk disini, Zar?” Randy membereskan
bukunya yang di atas meja.
“Kok sampai
pindah sekolah?” Sinta ikut bertanya.
“Sekolah
tanpa Azar, dunia terasa hampa.” Randy memberi sedikit intonasi pada
kata-katanya.
“Lebay.
Serius dong?” Sinta mendesak.
“Iya, malas
sekolah tanpa teman yang selalu bersama aku.”
“Memang
teman-teman kelas kamu?” Elsa bertanya juga.
“Iya, kamu
‘kan masih punya teman sekolah?” Roland menambahkan.
“Bedalah.
Punya teman yang begitu dekat dan teman yang, yaah... nggak begitu dekat jelas
beda.”
“Bukan beda.
Kamu aja yang nggak bergaul.” Sindir Azar.
“Lagian,
bukan hanya Azar yang ada disini ‘kan bareng sama kalian juga.”
“Kalau
gini, terasa begitu lengkap yah.” Sinta menggandeng tangan Elsa.
“Ini ibarat
puzzle yang sudah lengkap. Nggak ada lagi bagian yang kosong.” Elsa berucap.
“Bahkan ini
sperti mentega dan roti. Tanpa mentega, sepotong roti nggak akan terasa
lengkap. Iya kan?” Roland menambahkan.
“Jadi,
sebentar kita langsung pergi makan ‘kan? Toh, kita udah lengkap.” Sinta
mengingatkan akan janji makan bersama.
“Itu aja
yang kamu ingat? Tapi, tenang Sin, kan udah aman. Ada yang mau traktir.” Azar
sedikit menyindir untuk mengingatkan akan traktiran dari Roland.
Elsa pulang
bersama Sinta dan Roland di awal ia bersekolah di SMA. Di awal tahun, Azar ikut
menemani mereka bertiga pulang, dan kini
Randy hadir juga untuk pulang bersama, dan agar selalu bersama.
Makan siang
sepulang sekolah itu adalah makan siang yang berharga untuk Elsa, bukan tentang
traktiran yang di berikan Roland, tapi kebersamaan mereka untuk bersama adalah hal
yang paling berharga untuk Elsa saat ini.
“Chingu!”
kata Elsa ketika sedang menunggu makanan tiba.
“Kenapa,
Sa?” tanya Sinta.
“Chingu
artinya teman dalam bahasa Korea. Jadi, kita berlima Chingu ‘kan.” Jelas Elsa.
“Maunya sih
bukan cuma teman?” gumam Roland dan Azar secara bersamaan. Dan saling menatap.
“Kalian mau
apa?” Sinta mendengar gumam Roland dan Azar itu.
“Nggak
apa-apa, iya kan Land?” hal
terbaik yang selalu dilakukan Azar, adalah mencari alasan.
“Iya, nggak
mau apa-apa. Mau pangsit.” Roland ikut memberi alasan.
Elsa
tersenyum, mengerti akan dua orang yang mencari alasan itu. Itulah yang Elsa
inginkan, tersenyum bersama, bercanda bersama, adalah hal yang di inginkan Elsa
dalam sebuah pertemanan.
Pertemanan yang melengkapi setiap puzzle dalam hidupnya, mengisi setiap
kekosongan dalam hidupnya.
Karena
sebuah pertemanan adalah hal yang harus dibayar mahal, bukan dibayar dengan
uang, emas, atau berlian. Namun dibayar dengan kasih, ketulusan, kebersamaan,
dan kepercayaan.
Dalam hati Elsa
berkata “They are make my life COMPLETE.”
Make My Life Complete Sinopsis
Make My Life Complete Part 1
Make My Life Complete Part 2
Make My Life Complete Part 3
Make My Life Complete Part 4
Make My Life Complete Part 5
Make My Life Complete Part 6
Make My Life Complete Part 7
Make My Life Complete Part 8
Make My Life Complete Part 9 (Last)