KEMBANG API
Ujian
semester telah berakhir, Elsa pasrah dengan hasil yang akan di terimanya
nanti. Baginya, apa yang telah dilakukannya selama ujian itu cukup dan sesuai
dengan kemampuan yang di milikinya.
Sekalipun
ujian semester telah berakhir, Elsa harus tetap pergi kesekolah. Bila hanya berdiam di
rumah, membosankan baginya karena tak ada yang bisa dilakukannya kecuali
memainkan laptopnya ataupun menonton TV. Tapi, di sekolah pun mungkin akan
lebih membosankan karena tidak ada kegiatan lain yang di lakukan kecuali
duduk-duduk. Namun, bertemu dengan teman-temannya membuat segala kebosanan itu
lenyap.
“Mama mau
datang? Kapan?” telepon yang ia tunggu-tunggu, mendengar Mamanya akan kembali
untuk merayakan Natal membuat Elsa senang.
“jadi Elsa
jemput mama besok di Bandara.” Lanjut Elsa dalam pembicaraan di telepon itu “okey Ma! Sampai
jumpa besok, Ma.”
Senang
rasanya mendengar kalu mamanya akan datang. Sekalipun sosok Papa yang hampir
enam bulan ini tidak di
lihatnya mungkin tidak akan datang untuk merayakan Natal bersama.
***
Dengan headsed di telinganya,
Elsa duduk di tempat biasanya orang menunggu untuk menjemput seseorang. Tempat
duduk itu tepat menghadap pintu kedatangan.
Seperti
biasanya, suasana bandara yang ramai dengan orang yang menjemput atau mengantar
saudaranya begitu melekat pada stasiun besar dengan bus bersayap yang bisa
terbang mengantar antar pulau itu.
“Udah satu
jam lebih kok belum ada tanda-tanda mama sudah tiba?” gumam Elsa.
Elsa tak
menyadari seseorang duduk di sampingnya, tepat di sisi
kirinya. Elsa tak memedulikan siapa yang ada di sampingnya.
Baginya, duduk dan menunggu Mamanya adalah hal yang harus dia lakukan untuk
saat itu.
“menunggu.
Kenapa aku harus menunggu? Aku benci menunggu. Mama cepat dong.” Rengek Elsa.
“orang yang
sabar menunggu akan mendapatkan imbalan yang pas. Kamu pikir dengan merengek,
pesawat itu akan segera mendarat?” orang itu mulai bersuara.
Elsa tak
menghiraukan perkataan orang itu, ia hanya terus menatap pintu kedatangan itu.
Berharap agar mamanya segera keluar dari pintu itu, dan mereka segera kembali
pulang.
“Elsa?”
orang itu memanggil Elsa.
“Anda tahu
sa..” ada jeda dalam perkataan Elsa “..ya?” Elsa melihat pada sosok yang ada di sisinya,
mencoba bertanya kenapa dia tahu nama dari Elsa “Azar?” Elsa terkejut dan
berkata dengan volume yang tinggi.
Azar
tersenyum melihat Elsa yang dengan wajah terkejut itu begitu lucu “kamu lucu
kalau terkejut.”
“kamu
ngapain di bandara?”
“Sama kayak
kamu.”
“Aku ‘kan
lagi nunggu’in mama. Kamu mau jemput mama kamu juga?”
“sudah dua
jam aku nunggu di sini. Harusnya aku sedikit jalan-jalan dulu.” Azar berbicara
dengan wajahnya yang menatap pintu kedatangan.
Elsa
terdiam, merasa tidak percaya akan apa yang baru saja dilihatnya. Melihat
seorang cowok yang begitu saja duduk di sampingnya
dengan tshirt putih berlengan hitam yang panjang sampai menutupi siku dengan
celana jins berwarna hitam dan sepatu ketsnya itu adalah Azar.
“Mama?”
teriak Elsa yang langsung berdiri dari duduknya hendak menghampiri sosok Ibu
yang tak di lihatnya selama beberapa bulan dan di rindukannya.
Diva tak
tiba sendirian di bandara, ada begitu banyak penumpang yang keluar dari pintu
kedatangan. Namun ada satu sosok wanita yang tak asing bagi Elsa, rambut wanita
itu pendek, tingginya serupa dengan tinggi Diva. Elsa mencoba mengingat siapa
sosok wanita itu.
“Elsa.”
Kata Diva ketika Elsa berada disampingnya.
“Azar.”
Wanita itu sedikit berteriak dan melambaikan tangannya pada Azar.
“Apa ini?
Mama Azar?” batin Elsa
Azar
berdiri dari duduknya, dengan tangan yang bersikap siap berjalan menuju sosok
wanita yang memanggilnya itu.
“Elsa sudah
besar. Lama ngak ketemu yah, Sa?” kata wanita itu kepada Elsa.
Elsa
tersenyum, masih mencoba mengingat siapa wanita itu.
“Ini siapa?
Anak yang kedua yah, Nita? Emm.. Azar?” kata mama Elsa ketika melihat azar yang
berada di samping wanita itu.
“iya, kalau
nggak salah mereka seumuran yah?”
“iya. Terus
Ezra dimana?” Mama Elsa
tampak menanyakan seseorang.
“Ezra,
belajar animasi diluar negeri. Anak itu, padahal udah di biayai kuliah di
kedokteran. Tapi, di bawah lari uangnya untuk kuliah di luar
negeri.”
“kita tidak
bisa memaksa mereka untuk mengikuti kemauan kita. Bila mereka menjalaninya
dengan terpaksa, akan sulit nanti bagi mereka untuk belajar mengembangkannya.
Ikuti saja kemauan mereka untuk mengambil apa yang mereka inginkan, agar mereka
bisa menekuni itu. Toh, kalau sudah mahal-mahal di biayai
tapi mereka malah nyia-nyia’in kan sayang.”
“Iya juga
sih. Ezra memang bertekad mau jadi seorang animator yang handal. Makanya dia
bela-belain sekolah di
luar negeri. Tapi tahun depan dia mau datang langsung ke Manado.”
“tujuan
bisa tercapai bila kita memiliki keinginan pada tujuan tersebut.
Ngomong-ngomong, mobil di parkir dimana, Sa?” Mama Elsa mengalihkan pertanyaan pada
Elsa yang sedari tadi, mencoba mengingat wanita yang datang bersama mama-nya
itu.
“Nggak
bawah mobil, Ma?” kata Elsa yang tersenyum mencoba menjadi polos.”tadi Elsa,
naik bis di terminal.”
“Kalau
nggak bawah mobil, bareng kami aja Div. Zar, mobilnya di mana?”
wanita itu mengajak,
mencoba menawarkan.
“Azar juga
cuma naik bis di terminal.” Azar menggaruk kepalanya yang sama sekali tak gatal
itu.
Elsa
tersenyum geli mendengar perkataan itu.
“kita naik
taksi aja. Gimana kalau bareng, biar ada teman ngobrol, Nit?” saran Diva kepada
Nita.
“Iya deh.
Kalau harus ke terminal terlalu ribet.”
***
Taksi
berwarna biru langit itu membawah mereka berempat. Elsa yang duduk di tengah
antara Diva dan Nita, terus mencoba mengingat siapa wanita ini.
Wajah
wanita itu yang tak asing, sebuah nama yang ada dalam pikirannya ‘Ezra’ apa
mungkin ada sesuatu dengan hal yang mengganggu dalam pikiran Elsa itu.
“Elsa kelas
berapa? Terus sekolahnya dimana?” tanya wanita itu
“Kelas
sepuluh di SMA Negeri 1, Tante.” Elsa menjawab wanita yang tampaknya ramah.
“Azar, kamu
sekolah di mana? Apa sama kayak Elsa?” tanya wanita itu kepada Azar yang
duduk di depan, di
samping supir taksi itu.
“SMA
Swasta, Ma.” Kata Azar sambil melihat pada kaca spion.
“Kalau tahu
Elsa di sana, mending Azar disekolahin di sana
juga.” Wanita itu menatap Elsa sejenak.
“Kalau gitu
Azar pindah sekolah aja, Ma. Gimana?” Azar membalikkan badannya dengan bibir yang melengkung, mencoba melihat reaksi Nita.
“nanti ya,
Zar. Mama pikir dulu kalau kamu bisa pindah atau tidak?”
“Ah Mama.”
Azar kembali menghadap kedepan.
“Pas ketemu
sama Azar, waktu masih bayi. Udah gitu Azar di bawah ke Manado. Jadi, seringnya
ketemu cuma sama Ezra. Nggak nyangka pas ketemu udah sebesar ini.” Kata Mama
Elsa yang mencoba mengingat akan waktu yang lalu.
“iya,
diumur tigabelas bulan Azar dibawah ke Manado. Tapi, Ezra yang sebenarnya ingin
di sini malah di tinggal di Jakarta. Kasihan
Ezra.” Sambung wanita itu dengan senyum di wajahnya.
“Tapi kalau
Ezra nggak di tinggal di Jakarta, nggak ada yang jagain Elsa, yang saat itu
mulai nakal.” Tambah Mama Elsa.
“ah, Ezra jadi
nggak ngambek karena nggak bisa ke Manado, karena lihat Elsa waktu itu kan, yah?”
“Jadinya,
Ezra di tinggal sama kita selama beberapa hari.”
“benar.
Ezra jadi jarang ketemu Elsa karena udah kelas 6, terus mau siap-siap ujian.
Padahal Ezra selalu tanya tentang Elsa. Pas SMP, Ezra jadi lebih jarang ketemu
karena sering ngumpul sama teman-temannya. Jadi nggak ketemu-ketemu deh sampai
SMA, terus lulus.”
“jadi kakak
ada kenangan sama Elsa?” batin Azar yang merasa kenapa bukan dirinya saja yang
tinggal di Jakarta waktu itu?
“Aku
ingat!” gumam Elsa
“Hahh?”
Mama Elsa menatap Elsa ketika mendengar gumam itu.
“Elsa tahu
kak Ezra. Yang dulu sering gandeng Elsa kalau ke mall kan?”
“Iya. Kamu
ingat itu? Mama aja udah lupa.”
“Tante juga
lupa.” Wanita itu menyelah.
Elsa
tersenyum, mengingat akan sosok yang sering menjaganya saat kecil itu. Saat SD
pun Ezra sering melindungi Elsa dari anak-anak nakal yang mengganggu.
“Kapan aku
bisa ketemu Kak Ezra lagi yah?” batin Elsa yang senang mengingat akan masa
lalunya itu, yang dulu membuatnya selalu tertawa, dan tak ingin ia menangis.
Sepanjang
perjalanan, Elsa terus mengingat akan masa-masa dimana dia dan Ezra bersama
ketika masih kecil. Saat dimana mereka berlari bersama, bermain berbagai mainan
yang di inginkan atau di tentukan Elsa.
Terasa, Elsa menjadi manja hanya ketika bersama dengan dia, Ezra,
yang lama tak di jumpainya. Elsa kesal, kenapa dia melupakan hal-hal yang istimewa.
Dimana orang itulah yang sering membuat Elsa tersenyum, bahkan membuat Elsa
menangis. Kala dia memarahi Elsa ketika terjatuh atau karena Elsa mengolok anak-anak yang lain.
Taksi itu
berhenti, bukan karena macet atau mereka telah sampai di tempat
tujuan, melainkan mereka singgah di pom bensin. Antrian yang cukup panjang itu
membuat mereka harus menunggu untuk beberapa waktu.
“Aku turun
dulu, nanti di tunggu di depan tokoh yang di pom bensin, yah? Mau ketoilet
soalnya.” Kata Nita yang membuka pintu taksi itu.
“biar aku
temenin. Sekalian mau ke toilet juga. Terus beli beberapa makanan.” Diva keluar
dari
taksi itu.
Pintu taksi
itu berbunyi, bersamaan ketika dua wanita itu mendorong pintu hingga tertutup.
“Wah, kamu
punya kenangan sama kakak yah? Terus gimana orangnya?” Azar mulai memecah
keheningan yang terjadi di
dalam taksi yang sedang antri itu.
“Aku kaget
kalau kamu itu adiknya.”
“Dia begitu
dingin sama aku. Yah, mungkin karena kami di pisahkan
oleh laut.”
“Dia memang
dingin.” Jelas Elsa.
“hahh. Tapi
sama kamu dia hangat kan?”
Elsa
menatap Azar, lalu memalingkan wajahnya pada jalan yang di lalui
oleh kendaraan-kendaraan.
“Sama
dinginnya kayak kamu dan Roland kalau lagi jengkel.”
“Jangan
bawah-bawah orang yang nggak ada
saat masa dulu.”
“Kamu juga
nggak ada.”
“bukan
nggak ada, tapi kita ketemu pas aku masih 13 bulan. Jadi nggak saling kenal.”
“sama aja ‘kan?”
“iya juga
sih. Malah, kamu lebih dekat dengan kakak di banding
aku yang adiknya. Kalian juga pernah satu SD ‘kan?”
“hanya
selama tiga tahun. Lalu dia lulus. Pas SMP udah nggak ada kabar. Dia jahat.”
“Aku pengen
rasain, gimana bisa satu sekolah dengan dia, tapi pas mau pindah, kakak udah
kelas 2 SMP. Aku jadi nggak mau pindah deh.”
“Pas dia
lulus SD, nggak ada yang nemenin aku waktu jam istirahat. Mungkin karena
pengaruh dia juga aku menjadi dingin saat itu.”
“Kenapa
pengaruh dari kakak?”
“aku jarang
bergaul dengan teman-temanku. Teman bermainku saat di sekolah hanya kak Ezra.
Jadinya, aku ngga main dengan teman-teman yang lain. Kenapa aku bisa lupa dia
yah?”
“Tapi,
kerenan aku ‘kan daripada kakak?” Azar mencari penilaian dari Elsa.
“gimana
bisa dibeda’in, lihat orangnya saja aku udah nggak pernah. Tapi, mungkin dia
lebih keren?”
“Masih
kemungkinan ‘kan?”
“tapi, dia
punya akun Facebook? Atau Twitter? Aku penasaran bagaimana rupa dia
sekarang?”
“Pastinya,
adiknya lebih keren.”
“Nanti kita
lihat aja. Mama kamu kan bilang pas di bandara kalau dia bakal pulang ke
Manado.”
Antrian
di pom bensin itu berakhir sekitar duapuluh menit setelah percakapan mereka.
Mungkin
kita tidak pernah tahu bila orang yang ada disekitar kita memiliki hubungan
yang begitu dekat dengan kita, sampai kita tidak bisa mengingat ataupun
menebaknya.
***
Kembang
api, dan berbagai petasan masih di nyalakan oleh anak-anak
bahkan orang dewasa. Padahal natal telah berlalu sejak dua hari yang lalu.
Kue-kue yang disediakan pun masih begitu banyak berjejer di meja untuk
dihidangkan pada tamu-tamu yang datang.
Di Sulawesi
Utara, Natal adalah hari raya besar yang identik dengan berbagai petasan, dan
berbagai kue-kue kering serta minuman-minuman bersoda.
Di hari
Natal, jalan-jalan akan ramai dengan anak-anak kecil yang berjalan. Memasuki
pintu demi pintu di
tiap rumah, duduk di dalamnya, dan menikmati kue
atau minuman yang di
sediakan oleh tuan rumah. Bahkan tak jarang, tuan rumah memberikan
anak-anak, selembar seribu rupiah atau duaribu.
Bukanlah
masalah kue atau minuman, atau makanan yang kita dapat ketika Natal. Yang
terpenting adalah, dimana kita bisa berkumpul bersama keluarga di hari
besar yang penuh sukacita.
Sebuah
mobil berwarna hitam terlihat parkir di depan rumah
itu. Ini sudah lewat natal, tapi masih ada juga yang datang untuk singgah.
“Oh. Azar?”
Elsa mendapati Azar yang turun dari mobil itu.
Mereka
saling berjabatan tangan. Sekalipun, Azar dan beberapa temannya sempat datang
kerumah Elsa. Karena ketika Natal orang-orang akan saling berjabatan tangan
sambil mengatakan ‘Selamat Natal.’
“Duduk dulu,
Zar.” Elsa mempersilahkan duduk
“Nggak
usah, Sa.”
“Sinta
-sama Randy -ada di -dalam mobil. Kita- mau ke suatu- tempat, makanya aku-
kesini mau ngajak- kamu.” Kata Azar terputus-putus
“mau pergi? pergi kemana?”
Elsa penasaran.
“udah ikut
aja.”
“Ya udah
aku ganti pakaian dulu yah.”
Mobil itu
melaju di jalanan yang mulai menjauh dari tempat Elsa. Pastinya, bukanlah
anak-anak di bawah umur yang mengendarainya, melainkan supir yang sering mengantar
Azar.
Matahari
mulai terbenam dan perjalanan mereka belum memberi tanda untuk berhenti.
Sementara jalan yang di
tuju adalah jalan menuju pusat kota Manado.
“Ngomong-ngomong,
kalian nggak ngajak Roland?” Elsa bertanya
“Roland
nggak mau ikut. Katanya masih capek karena jalan-jalan terus pas Natal.” Sinta
berkata sambil melihat keluar jendela.
Mereka
benar-benar akan menuju ke pusat kota Manado. Mobil tiba-tiba berhenti di depan
sebuah rumah makan.
Pintu mobil
sebelah kanan yang di
duduki Elsa tiba-tiba terbuka.
“Cepat
keluar. Kalian nggak usah.” Kata Azar yang membuka pintu itu menarik tangan
Elsa untuk keluar,
dan melarang Sinta dan Randy untuk keluar dari mobil.
Elsa
mengikuti kata Azar untuk keluar dari dalam mobil. Pintu kembali di tutup
dan mobil itu melaju lagi di jalanan, bersama Sinta dan Randy yang tak di izinkan
Azar untuk turun.
“Kenapa
harus turun di sini?” Elsa mulai kesal karena hari sudah gelap, dan dia tak
mengerti kenapa mereka berhenti didepan rumah makan.
“Ayo ikut.”
Azar menarik tangan Elsa yang di genggamnya ketika turun dari mobil tadi.
Elsa
tercengang, melihat akan apa yang ada di depannya.
Kota Manado yang di
lihatnya dari ketinggian itu, begitu bercahaya dengan lampu-lampu
yang di pasang dari setiap bangunan.
“Indah. Aku
pernah lihat ini tapi saat siang hari, tanpa lampu yang menyala.” Kata Elsa
yang kagum.
“Ayo kita
berdiri disana.” Azar mengajak Elsa menuju tempat yang tepat untuk berdiri
melihat lebih jelas indahnya kota itu di malam hari.
Elsa
menganggukkan kepala dengan wajah yang tersenyum.
Tempat
mereka berdiri dibatasi oleh sebuab beton yang tingginya satu
meter lebih. Beton itu dibuat agar orang tidak akan jatuh karena pinggiran
tempat mereka berdiri adalah jurang yang cukup curam.
“terlihat
seperti lampu pohon natal namun tak berkedip.” Elsa bergumam sambil bersandar
pada beton didepannya itu.
“sebentar
lagi.”
“Apa?” Elsa bingung akan perkataan Azar.
“kamu lihat
aja. Disini tempat yang tepat untuk melihatnya.”
Untuk
beberapa saat menunggu, terlihat diatas kota Manado tampak kembang api yang
begitu indah terus menerus secara bergantian menerangi angkasa kota manado itu.
Walau
terlihat kecil, tapi itu adalah pemandangan kembang api yang indah.
“jadi
indah, kali ini lampu natal yang berkelap-kelip.” Elsa tersenyum senang
“Sebentar
yah, aku beli minuman di rumah makan itu dulu.” Azar
menunjuk pada rumah makan yang ada di samping kirinya.
Azar
meninggalkan Elsa menuju rumah makan tempatnya akan membeli minuman. Sebuah
taksi tampak berhenti di rumah makan itu, hanya saja taksi itu berhenti hampir
berada di belakang Elsa.
Sedikit
bertanya-tanya dalam batinnya ketika melihat taksi itu ‘apakah dia ingin
singgah di rumah makan? Atau datang kesini?’ tampak
seorang pria keluar menggunakan jaket yang tak begitu jelas karena gelap.
Menuju tempat Elsa berdiri ‘Eoh? sepertinya dia mau melihat kota dari sini?’
Elsa segera memalingkan perhatiannya pada kembang api yang belum berhenti
memecahkan cahaya di atas kota Manado.
“Tak pernah
aku melihat hal seindah ini.” Kata pria yang bersandar pada beton, berdiri di samping
Elsa sambil memasukkan kedua tangannya pada saku jaket yang di kenakannya.
Elsa
sejenak memandang pria yang tinggi sekitar 175 cm itu, untunglah
Elsa tidak merasa susah memandangnya karena dia juga cukup
tinggi. Dengan tingginya yang 160 cm, Elsa tidak harus berusaha mengangkat
kepalanya untuk melihat pria itu, walau tak begitu jelas karena gelap.
Elsa
kemudian memalingkan wajahnya lagi pada pemandangan kembang api itu. Belum lama
Elsa memandang kembang api, ia harus kembali melihat sejenak pada pria itu.
Dering
handphone pria itu berdering dari saku kanannya “Hallo?” jawab pria itu. “iya
Ma, aku udah di Manado..... hah? Dia juga di sini?...
kalau gitu aku mau langsung kerumahnya ya Ma?... iya. Kan lama nggak ketemu
dia. Sekarang dia gimana yah? Pasti udah besar? Terus bakal marah karena nggak
pernah ketemu? Atau dia udah lupa sama aku?... iya Ma, aku bakal sedikit
terlambat. Mama tunggu aja dirumah dia sama Adik, aku langsung kesana begitu
sampai.”
Begitulah
percakapan pria itu dalam perbincangan dalam handphonenya. Pria itu kembali
memasukkan handphone nya ke dalam saku jaket.
“Sa? ini
minumnya, sorry agak lama.” Azar datang membawah dua buah minuman kaleng di
tangannya.
“Nggak
apa.. lihat pemandangan seperti ini buat aku jadi nggak kesepian.”
“Ini
minumnya.” Azar memberikan sekaleng pada Elsa. “kita
belum mau pulang? Udah malam loh.”
“Bentar
lagi. Kan pertunjukkan kembang apinya baru di mulai.
Udah gitu mobil kamu belum datang kan?” Elsa mencoba menahan karena masih ingin
melihat pemandangan itu.
“iya sih.
Yang di sebelah kamu siapa?” Azar memperhatikan pria itu.
“nggak
kenal lah, Zar. Dia datang saat kamu beli minuman.”
“oh. Kirain
kamu kenal, Sa.”
Suasana itu
begitu indah. Dengan suara mesin
mobil yang terus lewat di belakang
mereka menjadi seperti sebuah musik yang menemani mereka di malam
itu.
“Eleazar?”
pria itu tampak menatap Azar, mencoba menatap Azar lebih dekat. Bahkan berdiri
disamping Azar.
“Benar ini
kamu. Kenapa malam-malam begini kamu disini?” lanjut pria itu setelah menepuk
punggung Azar.
Azar
sedikit bingung. Kurangnya cahaya di tempat itu membuat wajah
pria itu tak begitu jelas.
“Kakak?”
kata Azar ketika lampu sebuah mobil sempat menerangi wajah pria itu. “Benar
kakak yah?”
“Kakak? Apa
orang yang dipanggil Kakak oleh Azar ini? Kak Ezra?” Batin Elsa mencoba menerka.
“Mama tahu
kamu datang kemari?” tanya pria itu yang disebut Azar ‘Kakak’.
“Taulah.
Tapi kenapa kakak datang...?” Azar bingung dengan kedatangan tiba-tiba kakaknya
itu. “Bukannya nanti tahun depan?”
“Aku rindu
Manado, makanya aku ingin cepat-cepat datang.” Pria itu membalikan badannya
pada pemandangan itu.
Elsa yang
menghadap pada pada ledakan kembang api yang belum berhenti itu, mencari-cari
kesempatan menatap pria itu. Saat ini, pria itu berada di tengah-tengah
antara Azar dan Elsa. Dalam batin Elsa mencoba mempertanyakan apa benar pria
ini Kak Ezra “Tapi, kenapa kak Ezra nggak tahu kalau ini aku? Apa karena lama
mereka nggak pernah bertemu?” karena terakhir mereka bertemu Elsa masih duduk
di bangku kelas tiga SD.
Klakson
sebuah mobil membuat mereka bertiga membalikkan badan. Tepat di saat
mobil Azar datang, kembang api telah berhenti, dan tak berada diatas Kota itu.
“Ah itu
mobilnya. Ayo kita puland, Sa.” Azar menarik Elsa.
“kebetulan,
kakak bareng kalian aja yah?” Kata pria itu yang menuju taksi yang di kendarainya
tadi, mengambil tas serta kopernya dan memasukkannya ke dalam jok belakang
mobil Azar.
Pria itu
duduk di samping supir, sementara Azar menemani Randy yang terus memainkan
handphone-nya
di kursi belakang. Dan Elsa, tetap setia duduk bersama dengan Sinta
di kursi kedua.
Saat Kakak
Azar naik bersama ke
mobil, suasana terasa menjadi dingin, tak ada pembicaraan yang
terjadi. Dering handphone Elsa sedikit membuat keributan di antara
heningnya dalam mobil itu.
Elsa
mengangkat telepon yang datang dari Mama nya itu “Iya Ma?.... ini Elsa lagi di jalan
pulang.... iya, Elsa juga lagi sama Azar.... iya Ma.”
“mama kamu,
Sa?” Sinta takut ketika Elsa menerima telepon itu, pikirnya Elsa kena marah
karena pulang malam.
“Iya, Sin.
Katanya nanti ada tamu penting.” Elsa melihat pria itu, walau yang terlihat
adalah pundak dari pria itu. Elsa berharap, kalau orang penting yang di katakan
Mamanya adalah Ezra yang saat ini duduk di depannya.
“Tapi kok
bawah-bawah nama aku, Sa?” Azar heran, kenapa mama Elsa bertanya tentang Azar.
“kayaknya,
mama kamu ada di rumah aku. Terdengar suara mama kamu sih.” Elsa melihat
kebelakang, melihat Azar yang tepat berada di belakangnya.
“Elsa?”
kata pria itu dari kursi depan. Pria itu segera memalingkan badannya melihat
Elsa, dia memasang lampu mobil mencoba memastikan bila itu Elsa.
“Kamu benar
Elsa?” Pria itu memastikan
Elsa
menganggukkan kepalanya “Iya.”
“Lama nggak
ketemu yah. Pas ketemu kamu udah besar begini, jadi nggak kenal deh sama Elsa.”
Ezra tersenyum dan kembali berpaling ke depan.
Lama Elsa
tak pernah melihat senyum itu, sayangnya tak begitu jelas. Elsa berharap bisa
melihat Ezra dengan jelas. Wajah Ezra tak begitu jelas tadi, Elsa jadi tak
begitu mengetahui bagaimana wajah Ezra yang sekarang.
“Apa cuma
itu?” batin Elsa “Hanya mengatakan kalau aku udah besar? Apa dia nggak tahu
kalau aku begitu rindu dengannya? Apa dia nggak tahu kalau aku begitu marah
karena dia nggak pernah kasih kabar? Hahh.. rasanya aku ingin menjitak
kepalanya, merengek padanya, memukul dia, akan aku limpahkan kerinduanku kepada
Kakak yang sangat aku sayangi.” Rasanya Elsa ingin menangis sekuat-kuatnya
menyatakan kalau dia rindu dengan Ezra. Matanya mulai berkaca.
Elsa
menyandarkan badannya pada sandaran mobil, menutup matanya yang mulai di aliri sungai air mata itu, mengalihkan perhatian orang yang ada di mobil
agar menganggapnya tertidur.
Elsa
hanyalah anak satu-satunya, tidak memiliki kakak atau adik membuatnya begitu
kesepian. Namun sejak kecil ia yang bersama dengan Ezra, membuat Elsa begitu
menyayangi Ezra.
Elsa
membuka kedua matanya ketika mobil berhenti di depan
rumah Randy. Berlanjut ke rumah Sinta, sekedar mengantarkan
mereka pulang. Azar berpindah ke kursi depan, duduk bersama
Elsa.
Orang-orang
tampak menunggu kedatangan mereka atau bisa di katakan
menunggu kedatanagn Ezra. Mereka sempat bingung kenapa dia bisa bersama-sama
dengan mereka. Namun, tampaknya penjelasan tentang itu tidaklah begitu penting.
Dalam rumah
memang terlihat jelas wajah Ezra yang begitu tampan, senyum di wajahnya
masih sama seperti dulu. Dia begitu ramah kepada orang-orang, tapi tidak kepada
Elsa. Itu yang ada di
pikiran Elsa.
“Bagaimana?
Kerenan siapa?” Bisik Azar
“Hahh?”
Elsa menatap Azar “Hemm.. aku tetap akan mengatakan orang yang dulu menjagaku yang
terkeren.” Elsa merasa telah membohongi dirinya sendiri.
“Ah~” Azar
menjadi patah semangat, tampaknya kedatangan kakaknya akan
membuat Elsa terus berada di samping Ezra.
Malam itu
terasa begitu cepat. Setelah lama tak saling bertatap muka, dan kini mereka
telah bertemu memang membuat Elsa merasa senang, tapi kesenangannya itu tak
seperti yang ia harapkan.
Melihat
Ezra yang merasa biasa akan pertemuan mereka itu, membuat Elsa merasa Ezra
tidak merasa Elsa begitu penting seperti mereka saat kecil dulu.
***
Hanya
menunggu beberapa jam lagi dan tahun pun akan berganti. Harapan-harapan baru
akan tahun yang akan datang sering terucap dalam setiap harapan dan keinginan
orang.
“Elsa
cepat. Kita sekeluarga mau malam tahun baru-an sama keluarganya Ezra dan
Azar.” Kata mama Elsa yang telah bersiap untuk perayaan malam pergantian tahun.
“Kenapa
harus malam pergantian tahun sih, ma?” Elsa mengenakan jaket Yonsei Super Junior miliknya yang
berwarna biru tua itu.
“Malam
pergantian tahun dirumah mereka. Sedangkan tahun baru besok mereka mau raya’in
bareng kita seharian di
sini” jelas Elsa “Oma, opa sama tante dan om kamu mana?”
“Udah
duluan tadi, katanya mau singgah sebentar di rumah
siapa gitu. Aku nggak dengar jelas nama orangnya.”
“Yah udah.
Ayo kita berangkat.”
Sepanjang
malam bersama dan sepanjang hari, untuk saat ini bagi Elsa bertemu dengan Ezra
adalah sebuah cobaan. Dimana dia ingin menangis karena merasa Ezra tidak begitu
memperhatikannya.
“Randy?”
Elsa berkata ketika melihat Randy yang duduk memainkan handphonenya di ruang
tamu rumah Azar.
“eh Elsa.
Kamu datang juga yah?” Randy tampak menyimpan handphonenya ke dalam
saku.
Elsa segera
duduk di samping Randy karena kursi di samping
Randy kosong. “Kenapa cuma diam di sini?”
“Kamu
sendiri? Kenapa baru datang langsung duduk disini, nggak temuin tuan rumahnya
dulu?”
“nanti juga disamperin sama tuan rumahnya.”
Elsa menyandarkan badannya “Tuh lihat.” Elsa menyentuh Randy memberi isyarat
Azar datang mendekati mereka.
“Kalian
berdua disini?” Azar menyapa
“Kamu benar, yah!”
Randy kembali mengeluarkan handphonenya dari saku.
“Mama kamu
yang bilang kamu disini. katanya pas datang kamu langsung duduk disini. Makanya
aku datang kemari.” Azar duduk di kursi, saling berhadapan
dengan Elsa dan Roland.
Elsa
melihat-lihat dari tempatnya duduk. Berharap Ezra juga akan datang ke ruang
tamu untuk menyapanya. Tapi, Ezra hanya terlihat berada di ruang
tengah sedang bolak-balik tidak jelas.
“Kita main
kembang api di depan rumah yuk? Sambil nunggu tengah malam nanti, baru kita
nyalain kembang api yang besar.” Ezra keluar dari ruang tengah membawah
beberapa dus kembang api yang berukuran panjang.
“Bukannya
itu kekanak-kanakkan?” Elsa berkata sedikit dingin.
“Emang
sekarang kamu udah dewasa? Umur kamu berapa emang? Lagian dulu siapa yang
sering maksa yah main kembang api?”
“A...” Elsa
tidak dapat membalas perkataan Ezra
“Udah,
sekarang kalian bertiga ke depan rumah.” Ezra
mendahului mereka sambil membawah korek dan sebuah lilin untuk menyalahkan
kembang api.
Tak ada
pilihan lain bagi ketiga anak SMA itu selain mengikuti orang yang berada
tiga tingkat diatas mereka. Dan pastinya telah dewasa karena berumur delapanbelas
tahun dibanding Elsa yang baru akan menginjak enambelas tahun di bulan
Februari. Serta Ezra dan Randy yang baru enambelas tahun.
Kembang api
yang menyala itu membuat Elsa merasa kembali kemasa kanak-kanak, dimana dia dan
Ezra bermain kembang api bersama.
“Aduh!”
teriak Elsa, yang mulai menghembuskan nafasnya pada tangan kanannya mencoba
menyejukkan tangannya yang terkena besi panas bekas bakaran dari kembang api
yang.
“Ah!
Makanya kamu hati-hati?” Ezra melempar kembang api yang di tangannya, lalu menarik
tangan Elsa, mencoba menyejukkan dengan meniup-niup tangan Elsa dengan
nafasnya.
“Ini
terjadi lagi yah?” Elsa menatap Ezra yang fokus merawat tangan Elsa agar tidak
kesakitan.
“Apa sih
yang ada di pikiran kamu? Kalau saja itu kembang api yang menyala, tangan kamu
bisa hangus.”
“Kakak
masih kritis juga yah.” Mata Elsa mulai berkaca-kaca, seakan terharu melihat sikap Ezra yang
kembali memperhatikannya.
“Kamu nggak
apa-apakan, Sa?” Azar mendekati Elsa
“mana bisa
Elsa nggak apa-apa. Besok pasti ada bekas luka bakar ditangannya.” Ezra masih
melihat sambil meniup-niup tangan Elsa.
“Udah nggak
apa-apa! Udah mendingan!” Elsa menarik tangannya secara perlahan dari genggaman
Ezra.
“Jangan
bohong? Besi itu panas, emang kamu tahan dengan perih dari panas besi itu?”
Ezra mencoba menarik kembali tangan Elsa.
“Emang udah
nggak kenapa kok.” Elsa menaruh tangannya di belakang,
berjalan menuju kedalam rumah.
Elsa tak
sebenarnya masuk dan berdiam di dalam rumah itu. Ia pergi
kesamping rumah, tentunya melewati pintu yang ada disamping rumah.
Ia memangku kedua tangannya, di malam yang dingin itu.
“Mau lihat
bintang yang jelas?” Ezra seketika itu berdiri disamping Elsa.
“Apa?” Elsa sedikit kaget dengan kehadiran Ezra
secara tiba-tiba ada di sampingnya “Aku
lagi nggak lihat bintang.”
“Ayo ikut.” Ezra mulai berjalan.
Elsa
mengikuti langkah Ezra yang berjalan mendahuluinya, menuju pohon yang jauhnya
sekitar 15 meter dari samping rumah itu. Di bawah
pohon tidak begitu gelap, ada bangku yang terbuat dari bambu di bawahnya.
“Duduk.”
Kata Ezra yang terlebih dahulu duduk di bawah pohon itu.
Elsa
mengikuti perintah Ezra. Duduk di bawah pohon itu dengan
cahaya yang tidak begitu banyak.
“Tangan
kamu udah nggak apa-apa? Atau masih sakit?” Ezra memastikan
“udah nggak
apa-apa.” Elsa mencoba
meyakinkan Ezra yang tampak khawatir.
“ahh~bohong.” Ezra tahu kalau tangan Elsa masih sakit
karena panas besi saat bermain kembang api tadi.
“terserah
deh..”
“Disini
bintangnya terlihat jelas yah? Begitu indah.”
Elsa hanya
diam, tak ada yang bisa di katakannya selain
berpikir bahwa saat ini dia sedang bersama dengan Ezra.
“Ya, semua
akan terlihat indah bila kita bersama orang yang kita sayangi.”
Elsa masih
terdiam dalam kesunyian malam itu.
“Apa kamu
nggak punya mulut? Apa harus aku yang tetus menerus bicara?” Azar menatap Elsa
yang menundukkan kepalanya.
“Iya!”
Jawab Elsa dengan dengan nada yang menekankan.
Ezra
kembali melihat kelangit yang di hiasi bintang-bintang itu
“Memang iya, yah?”
“menghilang
tanpa kabar! Pergi keluar negeri tanpa kabar! Kakak memang harus bicara
banyak!” Suara Elsa mulai terisak.
“kamu
nangis?” Kata Azar “Maaf! Mungkin memang aku yang salah.” Lanjutnya “Saat
aku lihat kamu malam itu, aku pikir kamu akan terkejut. Tapi ekspresi kamu
biasa aja. Aku pikir kamu juga udah lupa sama aku, makanya kamu nggak begitu
banyak bicara denganku. Aku pikir, aku akan bertemu dengan Elsa yang akan
merengek, dan memarahiku karena nggak ada kabar.”
“Ma...af!”
Elsa mulai menangis, bicaranya pun mulai terbata-bata “Aku emang sempat lupa
akan itu. Tapi, ketika mengingat akan itu, aku ingin bertemu bahkan terus
bersama kakak. Saat kakak datang, rasanya aku mau pingsan. Melihat kakak yang
tak menyapaku, aku begitu sakit hati. Rasanya aku ingin menghajarmu,
memarahimu, melimpahkan semua rinduku padamu.” Elsa berkata sambil menangis
dengan nada tinggi “Apa kau tidak merasakan itu?”
Tangisan
Elsa tak berhenti. Ia mencoba menghapus air matanya dengan kedua tangannya.
“Kau sudah
menyakitiku.” Kata Ezra “Saat ini aku melihat adikku menangis karena aku. Aku
juga tersakiti tahu.” Azar menarik kepala Elsa, meletakkannya di atas
pundaknya.
“Saat SMP
aku mencoba menemui kamu, ingin bermain lagi dengan kamu. Tapi aku harus sibuk
dengan berbagai les. Saat libur panjang pun aku datang liburan ke Manado.
Begitu pula saat aku di SMA. Tapi melihat kamu sekarang yang sudah besar,
rasanya canggung menyapa seorang gadis yang lama tak kutemui.” Azar
melanjutkan.”Menangislah di pundakku, anggaplah itu
sebagai ganti kau ingin menghajar dan memarahiku.” Mata Azar pun mulai
berkaca-kaca ia merasa begitu salah, setelah lama tak menjumpai adik kecilnya,
bahkan memberi kabarpun tidak.
Elsa
mengangkat kepalanya dari pundak Ezra setelah beberapa waktu yang cukup panjang,
tangisnya mulai reda.
“Kapan
kakak akan kembali?” Tanya Elsa dengan kedua matanya yang basa.
Ezra
mengeluarkan sapu tangannya, menghapus berkas air mata yang ada di pinggir
mata dan pipi Elsa “Akhir Januari, mungkin?”
“Ouhh!”
“Tenang,
saat itu aku akan pamit. Aku nggak mungkin nyakitin adikku yang kedua kali.”
“Nggak bisa
nunggu sebentar yah?”
“Hahh?”
“Nggak,
nggak apa.” Elsa tak jadi
melanjutkan perkataannya.
“Tapi, kamu
sama Azar dekat yah?”
Ezra beralih pembicaraan.
“Nggak
sedekat dengan seseorang.”
“Masa?
Mungkin kalian?”
sedikit kata-kata menggoda Ezra lontarkan untuk Elsa.
“Jangan
Aneh-aneh.” Elsa menyolot “ngomong-ngomong tentang Azar...”
“Benar
kan?” Ezra menyelah
“bukan!
Kata Azar, kakak begitu dingin sama dia.”
“Emang aku
dingin?” berbalik menanyakan pada Elsa.
“kata Azar
‘kan? Dia bilang, kalau dulu dia ingin satu sekolah sama kakak. Tapi pas mau
pindah, kakak udah di SMP.”
“Iya. Aku
yang salah, begitu membenci Azar hanya karena dia yang datang dan tinggal di
Manado! Aku terus merengek ingin datang disini, dan akulah yang ingin tinggal
di sini. Tapi anak itu yang mendapatkan tempat ini.”
“Tapi,
karena aku, kakak nggak merengek lagi datang kesini ‘kan?” Elsa menunjukkan
wajah imutnya yang masih
sedikit basah karena menangis.
“Kamu
kembali seperti dulu. Baguslah.” Ezra memainkan ramput Elsa.
“hehh..”
dengus Elsa “Kasian Azar. Dia sayang sama Kakak, mungkin Azar iri karena aku
mungkin menghabiskan waktu lebih banyak dengan kakak, di banding
dengan dia.”
“Gitu yah?
Tapi gimana? Azar keren kan?” Ezra kembali menggoda Elsa
“Hehhh!
Sekarang aku nggak percaya kalau kakak dingin terhadap Azar.” Elsa menunjukkan wajah kesalnya karena di
goda Ezra.
“Ayo kita
ambil gambar berdua, Sa.” Ezra mengeluarkan handphonenya.
“Bukannya
ini terlalu gelap?”
Elsa melihat tempat ia berada yang tidak begitu terang.
“Udah nggak
masalah! Siap yah!”
Pancaran
cahaya lampu dari handphone itu tak menjadikan wajah mereka ataupun gambar mereka gelap.
“Udah
hampir jam dua belas! Kita siap-siap pasang kembang api. Ayo.” Ezra menyimpan
handphonenya dan menarik tangan Elsa dari duduknya.
“Pelan-pelan!”
Suara
bising kembang api yang pecah di udara disertai dengan
pancaran cahayanya nampak begitu indah. Tak hanya mereka yang memasang kembang
api, begitu banyak orang juga yang memasang
kembang api saat waktu menunjukkan pukul duabelas malam. Semua saling berlomba
atau membalas setiap kembang api yang pecah di udara itu.
Akhirnya,
tahun baru telah tiba. Harapan yang baru menanti didepan mata, begitu pula
dengan masalah-masalah yang baru menanti di tahun
yang baru itu.
Tahun yang
telah berlalu tinggallah kenangan, dan tahun yang baru adalah sebuah harapan.
Dimana kita harus bertekad merubah segala sesuatu yang buruk menjadi baik,
merombak yang rusak menjadi baik kembali.
“Selamat
tahun baru!”...”Happy new year!”... Itulah yang dikatakan orang-orang yang
lewat di jalan. Sambil meniupkan terompet dan mendekat untuk sekedar berjabat tangan mengucapkan tiga kata itu.
“Happy new
year,
semua!” teriak Randy yang bersiap menyalahkan kembang api berikutnya.
Malam yang
sangat menyenangkan bagi Elsa. Pemikirannya akan terlupakan oleh Ezra ternyata
tidak benar, kini berubah menjadi sebuah kebahagiaan di tahun yang baru.
Elsa
kembali pulang bersama keluarganya, dengan posisi bersiap untuk istirahat
pertama di tahun yang baru itu, Elsa mencoba membuka akun Facebooknya, melihat
orang-orang yang meng-update status mereka ‘Happy new year’ atau ‘Selamat tahun
baru’. Banyak orang yang tampaknya masih terjaga, bahkan suara kembang api pun
masih terdengar.
Sebuah
pesan facebook masuk. Elsa tersenyum melihat pesan yang berisi sebuah foto itu,
dengan latar foto ditempat tidur dan wajah dua orang yang tersenyum itu berisi
pesan ‘Selamat Tahun Baru! Kakakmu yang tampan ini tidur bersama adik cowoknya
yang keren! Ezra J’. Isi pesan dari Ezra yang menggunakan facebook milik Azar.
Make My Life Complete Sinopsis
Make My Life Complete Part 1
Make My Life Complete Part 2
Make My Life Complete Part 3
Make My Life Complete Part 4
Make My Life Complete Part 5
Make My Life Complete Part 6
Make My Life Complete Part 7
Make My Life Complete Part 8
Make My Life Complete Part 9 (Last)
No comments:
Post a Comment