Thursday, 18 December 2014

Make My Life Complete: Part 7

 
KEMBANG API
Ujian semester telah berakhir, Elsa pasrah dengan hasil yang akan di terimanya nanti. Baginya, apa yang telah dilakukannya selama ujian itu cukup dan sesuai dengan kemampuan yang di milikinya.
Sekalipun ujian semester telah berakhir, Elsa harus tetap pergi kesekolah. Bila hanya berdiam di rumah, membosankan baginya karena tak ada yang bisa dilakukannya kecuali memainkan laptopnya ataupun menonton TV. Tapi, di sekolah pun mungkin akan lebih membosankan karena tidak ada kegiatan lain yang di lakukan kecuali duduk-duduk. Namun, bertemu dengan teman-temannya membuat segala kebosanan itu lenyap.
“Mama mau datang? Kapan?” telepon yang ia tunggu-tunggu, mendengar Mamanya akan kembali untuk merayakan Natal membuat Elsa senang.
“jadi Elsa jemput mama besok di Bandara.” Lanjut Elsa dalam  pembicaraan di telepon itu “okey Ma! Sampai jumpa besok, Ma.”
Senang rasanya mendengar kalu mamanya akan datang. Sekalipun sosok Papa yang hampir enam bulan ini tidak di lihatnya mungkin tidak akan datang untuk merayakan Natal bersama.
***
Dengan headsed di telinganya, Elsa duduk di tempat biasanya orang menunggu untuk menjemput seseorang. Tempat duduk itu tepat menghadap pintu kedatangan.
Seperti biasanya, suasana bandara yang ramai dengan orang yang menjemput atau mengantar saudaranya begitu melekat pada stasiun besar dengan bus bersayap yang bisa terbang mengantar antar pulau itu.
“Udah satu jam lebih kok belum ada tanda-tanda mama sudah tiba?” gumam Elsa.
Elsa tak menyadari seseorang duduk di sampingnya, tepat di sisi kirinya. Elsa tak memedulikan siapa yang ada di sampingnya. Baginya, duduk dan menunggu Mamanya adalah hal yang harus dia lakukan untuk saat itu.
“menunggu. Kenapa aku harus menunggu? Aku benci menunggu. Mama cepat dong.” Rengek Elsa.
“orang yang sabar menunggu akan mendapatkan imbalan yang pas. Kamu pikir dengan merengek, pesawat itu akan segera mendarat?” orang itu mulai bersuara.
Elsa tak menghiraukan perkataan orang itu, ia hanya terus menatap pintu kedatangan itu. Berharap agar mamanya segera keluar dari pintu itu, dan mereka segera kembali pulang.
“Elsa?” orang itu memanggil Elsa.
“Anda tahu sa..” ada jeda dalam perkataan Elsa “..ya?” Elsa melihat pada sosok yang ada di sisinya, mencoba bertanya kenapa dia tahu nama dari Elsa “Azar?” Elsa terkejut dan berkata dengan volume yang tinggi.
Azar tersenyum melihat Elsa yang dengan wajah terkejut itu begitu lucu “kamu lucu kalau terkejut.”
“kamu ngapain di bandara?”
“Sama kayak kamu.”
“Aku ‘kan lagi nunggu’in mama. Kamu mau jemput mama kamu juga?”
“sudah dua jam aku nunggu di sini. Harusnya aku sedikit jalan-jalan dulu.” Azar berbicara dengan wajahnya yang menatap pintu kedatangan.
Elsa terdiam, merasa tidak percaya akan apa yang baru saja dilihatnya. Melihat seorang cowok yang begitu saja duduk di sampingnya dengan tshirt putih berlengan hitam yang panjang sampai menutupi siku dengan celana jins berwarna hitam dan sepatu ketsnya itu adalah Azar.
“Mama?” teriak Elsa yang langsung berdiri dari duduknya hendak menghampiri sosok Ibu yang tak di lihatnya selama beberapa bulan dan di rindukannya.
Diva tak tiba sendirian di bandara, ada begitu banyak penumpang yang keluar dari pintu kedatangan. Namun ada satu sosok wanita yang tak asing bagi Elsa, rambut wanita itu pendek, tingginya serupa dengan tinggi Diva. Elsa mencoba mengingat siapa sosok wanita itu.
“Elsa.” Kata Diva ketika Elsa berada disampingnya.
“Azar.” Wanita itu sedikit berteriak dan melambaikan tangannya pada Azar.
“Apa ini? Mama Azar?” batin Elsa
Azar berdiri dari duduknya, dengan tangan yang bersikap siap berjalan menuju sosok wanita yang memanggilnya itu.
“Elsa sudah besar. Lama ngak ketemu yah, Sa?” kata wanita itu kepada Elsa.
Elsa tersenyum, masih mencoba mengingat siapa wanita itu.
“Ini siapa? Anak yang kedua yah, Nita? Emm.. Azar?” kata mama Elsa ketika melihat azar yang berada di samping wanita itu.
“iya, kalau nggak salah mereka seumuran yah?”
“iya. Terus Ezra dimana?” Mama Elsa tampak menanyakan seseorang.
“Ezra, belajar animasi diluar negeri. Anak itu, padahal udah di biayai kuliah di kedokteran. Tapi, di bawah lari uangnya untuk kuliah di luar negeri.”
“kita tidak bisa memaksa mereka untuk mengikuti kemauan kita. Bila mereka menjalaninya dengan terpaksa, akan sulit nanti bagi mereka untuk belajar mengembangkannya. Ikuti saja kemauan mereka untuk mengambil apa yang mereka inginkan, agar mereka bisa menekuni itu. Toh, kalau sudah mahal-mahal di biayai tapi mereka malah nyia-nyia’in kan sayang.”
“Iya juga sih. Ezra memang bertekad mau jadi seorang animator yang handal. Makanya dia bela-belain sekolah di luar negeri. Tapi tahun depan dia mau datang langsung ke Manado.”
“tujuan bisa tercapai bila kita memiliki keinginan pada tujuan tersebut. Ngomong-ngomong, mobil di parkir dimana, Sa?” Mama Elsa mengalihkan pertanyaan pada Elsa yang sedari tadi, mencoba mengingat wanita yang datang bersama mama-nya itu.
“Nggak bawah mobil, Ma?” kata Elsa yang tersenyum mencoba menjadi polos.”tadi Elsa, naik bis di terminal.”
“Kalau nggak bawah mobil, bareng kami aja Div. Zar, mobilnya di mana?” wanita itu mengajak, mencoba menawarkan.
“Azar juga cuma naik bis di terminal.” Azar menggaruk kepalanya yang sama sekali tak gatal itu.
Elsa tersenyum geli mendengar perkataan itu.
“kita naik taksi aja. Gimana kalau bareng, biar ada teman ngobrol, Nit?” saran Diva kepada Nita.
“Iya deh. Kalau harus ke terminal terlalu ribet.”
***
Taksi berwarna biru langit itu membawah mereka berempat. Elsa yang duduk di tengah antara Diva dan Nita, terus mencoba mengingat siapa wanita ini.
Wajah wanita itu yang tak asing, sebuah nama yang ada dalam pikirannya ‘Ezra’ apa mungkin ada sesuatu dengan hal yang mengganggu dalam pikiran Elsa itu.
“Elsa kelas berapa? Terus sekolahnya dimana?” tanya wanita itu
“Kelas sepuluh di SMA Negeri 1, Tante.” Elsa menjawab wanita yang tampaknya ramah.
“Azar, kamu sekolah di mana? Apa sama kayak Elsa?” tanya wanita itu kepada Azar yang duduk di depan, di samping supir taksi itu.
“SMA Swasta, Ma.” Kata Azar sambil melihat pada kaca spion.
“Kalau tahu Elsa di sana, mending Azar disekolahin di sana juga.” Wanita itu menatap Elsa sejenak.
“Kalau gitu Azar pindah sekolah aja, Ma. Gimana?” Azar membalikkan badannya dengan bibir yang melengkung, mencoba melihat reaksi Nita.
“nanti ya, Zar. Mama pikir dulu kalau kamu bisa pindah atau tidak?”
“Ah Mama.” Azar kembali menghadap kedepan.
“Pas ketemu sama Azar, waktu masih bayi. Udah gitu Azar di bawah ke Manado. Jadi, seringnya ketemu cuma sama Ezra. Nggak nyangka pas ketemu udah sebesar ini.” Kata Mama Elsa yang mencoba mengingat akan waktu yang lalu.
“iya, diumur tigabelas bulan Azar dibawah ke Manado. Tapi, Ezra yang sebenarnya ingin di sini malah di tinggal di Jakarta. Kasihan Ezra.” Sambung wanita itu dengan senyum di wajahnya.
“Tapi kalau Ezra nggak di tinggal di Jakarta, nggak ada yang jagain Elsa, yang saat itu mulai nakal.” Tambah Mama Elsa.
“ah, Ezra jadi nggak ngambek karena nggak bisa ke Manado, karena lihat  Elsa waktu itu kan, yah?”
“Jadinya, Ezra di tinggal sama kita selama beberapa hari.”
“benar. Ezra jadi jarang ketemu Elsa karena udah kelas 6, terus mau siap-siap ujian. Padahal Ezra selalu tanya tentang Elsa. Pas SMP, Ezra jadi lebih jarang ketemu karena sering ngumpul sama teman-temannya. Jadi nggak ketemu-ketemu deh sampai SMA, terus lulus.”
“jadi kakak ada kenangan sama Elsa?” batin Azar yang merasa kenapa bukan dirinya saja yang tinggal di Jakarta waktu itu?
“Aku ingat!” gumam Elsa
“Hahh?” Mama Elsa menatap Elsa ketika mendengar gumam itu.
“Elsa tahu kak Ezra. Yang dulu sering gandeng Elsa kalau ke mall kan?”
“Iya. Kamu ingat itu? Mama aja udah lupa.”
“Tante juga lupa.” Wanita itu menyelah.
Elsa tersenyum, mengingat akan sosok yang sering menjaganya saat kecil itu. Saat SD pun Ezra sering melindungi Elsa dari anak-anak nakal yang mengganggu.
“Kapan aku bisa ketemu Kak Ezra lagi yah?” batin Elsa yang senang mengingat akan masa lalunya itu, yang dulu membuatnya selalu tertawa, dan tak ingin ia menangis.
Sepanjang perjalanan, Elsa terus mengingat akan masa-masa dimana dia dan Ezra bersama ketika masih kecil. Saat dimana mereka berlari bersama, bermain berbagai mainan yang di inginkan atau di tentukan Elsa.
Terasa, Elsa menjadi manja hanya ketika bersama dengan dia, Ezra, yang lama tak di jumpainya. Elsa kesal, kenapa dia melupakan hal-hal yang istimewa. Dimana orang itulah yang sering membuat Elsa tersenyum, bahkan membuat Elsa menangis. Kala dia memarahi Elsa ketika terjatuh atau karena Elsa mengolok anak-anak yang lain.
Taksi itu berhenti, bukan karena macet atau mereka telah sampai di tempat tujuan, melainkan mereka singgah di pom bensin. Antrian yang cukup panjang itu membuat mereka harus menunggu untuk beberapa waktu.
“Aku turun dulu, nanti di tunggu di depan tokoh yang di pom bensin, yah? Mau ketoilet soalnya.” Kata Nita yang membuka pintu taksi itu.
“biar aku temenin. Sekalian mau ke toilet juga. Terus beli beberapa makanan.” Diva keluar dari taksi itu.
Pintu taksi itu berbunyi, bersamaan ketika dua wanita itu mendorong pintu hingga tertutup.
“Wah, kamu punya kenangan sama kakak yah? Terus gimana orangnya?” Azar mulai memecah keheningan yang terjadi di dalam taksi yang sedang antri itu.
“Aku kaget kalau kamu itu adiknya.”
“Dia begitu dingin sama aku. Yah, mungkin karena kami di pisahkan oleh laut.”
“Dia memang dingin.” Jelas Elsa.
“hahh. Tapi sama kamu dia hangat kan?”
Elsa menatap Azar, lalu memalingkan wajahnya pada jalan yang di lalui oleh kendaraan-kendaraan.
“Sama dinginnya kayak kamu dan Roland kalau lagi jengkel.
“Jangan bawah-bawah orang yang nggak ada saat masa dulu.”
“Kamu juga nggak ada.”
“bukan nggak ada, tapi kita ketemu pas aku masih 13 bulan. Jadi nggak saling kenal.”
“sama aja ‘kan?”
“iya juga sih. Malah, kamu lebih dekat dengan kakak di banding aku yang adiknya. Kalian juga pernah satu SD ‘kan?”
“hanya selama tiga tahun. Lalu dia lulus. Pas SMP udah nggak ada kabar. Dia jahat.”
“Aku pengen rasain, gimana bisa satu sekolah dengan dia, tapi pas mau pindah, kakak udah kelas 2 SMP. Aku jadi nggak mau pindah deh.”
“Pas dia lulus SD, nggak ada yang nemenin aku waktu jam istirahat. Mungkin karena pengaruh dia juga aku menjadi dingin saat itu.”
“Kenapa pengaruh dari kakak?”
“aku jarang bergaul dengan teman-temanku. Teman bermainku saat  di sekolah hanya kak Ezra. Jadinya, aku ngga main dengan teman-teman yang lain. Kenapa aku bisa lupa dia yah?”
“Tapi, kerenan aku ‘kan daripada kakak?” Azar mencari penilaian dari Elsa.
“gimana bisa dibeda’in, lihat orangnya saja aku udah nggak pernah. Tapi, mungkin dia lebih keren?”
“Masih kemungkinan ‘kan?”
“tapi, dia punya akun Facebook? Atau Twitter? Aku penasaran bagaimana rupa dia sekarang?”
“Pastinya, adiknya lebih keren.”
“Nanti kita lihat aja. Mama kamu kan bilang pas di bandara kalau dia bakal pulang ke Manado.”
Antrian di pom bensin itu berakhir sekitar duapuluh menit setelah percakapan mereka.
Mungkin kita tidak pernah tahu bila orang yang ada disekitar kita memiliki hubungan yang begitu dekat dengan kita, sampai kita tidak bisa mengingat ataupun menebaknya.
***
Kembang api, dan berbagai petasan masih di nyalakan oleh anak-anak bahkan orang dewasa. Padahal natal telah berlalu sejak dua hari yang lalu. Kue-kue yang disediakan pun masih begitu banyak berjejer di meja untuk dihidangkan pada tamu-tamu yang datang.
Di Sulawesi Utara, Natal adalah hari raya besar yang identik dengan berbagai petasan, dan berbagai kue-kue kering serta minuman-minuman bersoda.
Di hari Natal, jalan-jalan akan ramai dengan anak-anak kecil yang berjalan. Memasuki pintu demi pintu di tiap rumah, duduk di dalamnya, dan menikmati kue atau minuman yang di sediakan oleh tuan rumah. Bahkan tak jarang, tuan rumah memberikan anak-anak, selembar seribu rupiah atau duaribu.
Bukanlah masalah kue atau minuman, atau makanan yang kita dapat ketika Natal. Yang terpenting adalah, dimana kita bisa berkumpul bersama keluarga di hari besar yang penuh sukacita.
Sebuah mobil berwarna hitam terlihat parkir di depan rumah itu. Ini sudah lewat natal, tapi masih ada juga yang datang untuk singgah.
“Oh. Azar?” Elsa mendapati Azar yang turun dari mobil itu.
Mereka saling berjabatan tangan. Sekalipun, Azar dan beberapa temannya sempat datang kerumah Elsa. Karena ketika Natal orang-orang akan saling berjabatan tangan sambil mengatakan ‘Selamat Natal.’
“Duduk dulu, Zar.” Elsa mempersilahkan duduk
“Nggak usah, Sa.”
“Sinta -sama Randy -ada di -dalam mobil. Kita- mau ke suatu- tempat, makanya aku- kesini mau ngajak- kamu.” Kata Azar terputus-putus
mau pergi? pergi kemana?” Elsa penasaran.
“udah ikut aja.”
“Ya udah aku ganti pakaian dulu yah.”
Mobil itu melaju di jalanan yang mulai menjauh dari tempat Elsa. Pastinya, bukanlah anak-anak di bawah umur yang mengendarainya, melainkan supir yang sering mengantar Azar.
Matahari mulai terbenam dan perjalanan mereka belum memberi tanda untuk berhenti. Sementara jalan yang di tuju adalah jalan menuju pusat kota Manado.
“Ngomong-ngomong, kalian nggak ngajak Roland?” Elsa bertanya
“Roland nggak mau ikut. Katanya masih capek karena jalan-jalan terus pas Natal.” Sinta berkata sambil melihat keluar jendela.
Mereka benar-benar akan menuju ke pusat kota Manado. Mobil tiba-tiba berhenti di depan sebuah rumah makan.
Pintu mobil sebelah kanan yang di duduki Elsa tiba-tiba terbuka.
“Cepat keluar. Kalian nggak usah.” Kata Azar yang membuka pintu itu menarik tangan Elsa untuk keluar, dan melarang Sinta dan Randy untuk keluar dari mobil.
Elsa mengikuti kata Azar untuk keluar dari dalam mobil. Pintu kembali di tutup dan mobil itu melaju lagi di jalanan, bersama Sinta dan Randy yang tak di izinkan Azar untuk turun.
“Kenapa harus turun di sini?” Elsa mulai kesal karena hari sudah gelap, dan dia tak mengerti kenapa mereka berhenti didepan rumah makan.
“Ayo ikut.” Azar menarik tangan Elsa yang di genggamnya ketika turun dari mobil tadi.
Elsa tercengang, melihat akan apa yang ada di depannya. Kota Manado yang di lihatnya dari ketinggian itu, begitu bercahaya dengan lampu-lampu yang di pasang dari setiap bangunan.
“Indah. Aku pernah lihat ini tapi saat siang hari, tanpa lampu yang menyala.” Kata Elsa yang kagum.
“Ayo kita berdiri disana.” Azar mengajak Elsa menuju tempat yang tepat untuk berdiri melihat lebih jelas indahnya kota itu di malam hari.
Elsa menganggukkan kepala dengan wajah yang tersenyum.
Tempat mereka berdiri dibatasi oleh sebuab beton yang tingginya satu meter lebih. Beton itu dibuat agar orang tidak akan jatuh karena pinggiran tempat mereka berdiri adalah jurang yang cukup curam.
“terlihat seperti lampu pohon natal namun tak berkedip.” Elsa bergumam sambil bersandar pada beton didepannya itu.
“sebentar lagi.”
“Apa?” Elsa bingung akan perkataan Azar.
“kamu lihat aja. Disini tempat yang tepat untuk melihatnya.”
Untuk beberapa saat menunggu, terlihat diatas kota Manado tampak kembang api yang begitu indah terus menerus secara bergantian menerangi angkasa kota manado itu.
Walau terlihat kecil, tapi itu adalah pemandangan kembang api yang indah.
“jadi indah, kali ini lampu natal yang berkelap-kelip.” Elsa tersenyum senang
“Sebentar yah, aku beli minuman di rumah makan itu dulu.” Azar menunjuk pada rumah makan yang ada di samping kirinya.
Azar meninggalkan Elsa menuju rumah makan tempatnya akan membeli minuman. Sebuah taksi tampak berhenti di rumah makan itu, hanya saja taksi itu berhenti hampir berada di belakang Elsa.
Sedikit bertanya-tanya dalam batinnya ketika melihat taksi itu ‘apakah dia ingin singgah di rumah makan? Atau datang kesini? tampak seorang pria keluar menggunakan jaket yang tak begitu jelas karena gelap. Menuju tempat Elsa berdiri ‘Eoh? sepertinya dia mau melihat kota dari sini?’ Elsa segera memalingkan perhatiannya pada kembang api yang belum berhenti memecahkan cahaya di atas kota Manado.
“Tak pernah aku melihat hal seindah ini.” Kata pria yang bersandar pada beton, berdiri di samping Elsa sambil memasukkan kedua tangannya pada saku jaket yang di kenakannya.
Elsa sejenak memandang pria yang tinggi sekitar 175 cm itu, untunglah Elsa tidak merasa susah memandangnya karena dia juga cukup tinggi. Dengan tingginya yang 160 cm, Elsa tidak harus berusaha mengangkat kepalanya untuk melihat pria itu, walau tak begitu jelas karena gelap.
Elsa kemudian memalingkan wajahnya lagi pada pemandangan kembang api itu. Belum lama Elsa memandang kembang api, ia harus kembali melihat sejenak pada pria itu.
Dering handphone pria itu berdering dari saku kanannya “Hallo?” jawab pria itu. “iya Ma, aku udah di Manado..... hah? Dia juga di sini?... kalau gitu aku mau langsung kerumahnya ya Ma?... iya. Kan lama nggak ketemu dia. Sekarang dia gimana yah? Pasti udah besar? Terus bakal marah karena nggak pernah ketemu? Atau dia udah lupa sama aku?... iya Ma, aku bakal sedikit terlambat. Mama tunggu aja dirumah dia sama Adik, aku langsung kesana begitu sampai.”
Begitulah percakapan pria itu dalam perbincangan dalam handphonenya. Pria itu kembali memasukkan handphone nya ke dalam saku jaket.
“Sa? ini minumnya, sorry agak lama.” Azar datang membawah dua buah minuman kaleng di tangannya.
“Nggak apa.. lihat pemandangan seperti ini buat aku jadi nggak kesepian.”
“Ini minumnya.” Azar memberikan sekaleng pada Elsa. “kita belum mau pulang? Udah malam loh.”
“Bentar lagi. Kan pertunjukkan kembang apinya baru di mulai. Udah gitu mobil kamu belum datang kan?” Elsa mencoba menahan karena masih ingin melihat pemandangan itu.
“iya sih. Yang di sebelah kamu siapa?” Azar memperhatikan pria itu.
“nggak kenal lah, Zar. Dia datang saat kamu beli minuman.”
“oh. Kirain kamu kenal, Sa.”
Suasana itu begitu indah. Dengan suara mesin mobil yang terus lewat di belakang mereka menjadi seperti sebuah musik yang menemani mereka di malam itu.
“Eleazar?” pria itu tampak menatap Azar, mencoba menatap Azar lebih dekat. Bahkan berdiri disamping Azar.
“Benar ini kamu. Kenapa malam-malam begini kamu disini?” lanjut pria itu setelah menepuk punggung Azar.
Azar sedikit bingung. Kurangnya cahaya di tempat itu membuat wajah pria itu tak begitu jelas.
“Kakak?” kata Azar ketika lampu sebuah mobil sempat menerangi wajah pria itu. “Benar kakak yah?”
“Kakak? Apa orang yang dipanggil Kakak oleh Azar ini? Kak Ezra?” Batin Elsa mencoba menerka.
“Mama tahu kamu datang kemari?” tanya pria itu yang disebut Azar ‘Kakak’.
“Taulah. Tapi kenapa kakak datang...?” Azar bingung dengan kedatangan tiba-tiba kakaknya itu. “Bukannya nanti tahun depan?”
“Aku rindu Manado, makanya aku ingin cepat-cepat datang.” Pria itu membalikan badannya pada pemandangan itu.
Elsa yang menghadap pada pada ledakan kembang api yang belum berhenti itu, mencari-cari kesempatan menatap pria itu. Saat ini, pria itu berada di tengah-tengah antara Azar dan Elsa. Dalam batin Elsa mencoba mempertanyakan apa benar pria ini Kak Ezra “Tapi, kenapa kak Ezra nggak tahu kalau ini aku? Apa karena lama mereka nggak pernah bertemu?” karena terakhir mereka bertemu Elsa masih duduk di bangku kelas tiga SD.
Klakson sebuah mobil membuat mereka bertiga membalikkan badan. Tepat di saat mobil Azar datang, kembang api telah berhenti, dan tak berada diatas Kota itu.
“Ah itu mobilnya. Ayo kita puland, Sa.” Azar menarik Elsa.
“kebetulan, kakak bareng kalian aja yah?” Kata pria itu yang menuju taksi yang di kendarainya tadi, mengambil tas serta kopernya dan memasukkannya ke dalam jok belakang mobil Azar.
Pria itu duduk di samping supir, sementara Azar menemani Randy yang terus memainkan handphone-nya di kursi belakang. Dan Elsa, tetap setia duduk bersama dengan Sinta di kursi kedua.
Saat Kakak Azar naik bersama ke mobil, suasana terasa menjadi dingin, tak ada pembicaraan yang terjadi. Dering handphone Elsa sedikit membuat keributan di antara heningnya dalam mobil itu.
Elsa mengangkat telepon yang datang dari Mama nya itu “Iya Ma?.... ini Elsa lagi di jalan pulang.... iya, Elsa juga lagi sama Azar.... iya Ma.”
“mama kamu, Sa?” Sinta takut ketika Elsa menerima telepon itu, pikirnya Elsa kena marah karena pulang malam.
“Iya, Sin. Katanya nanti ada tamu penting.” Elsa melihat pria itu, walau yang terlihat adalah pundak dari pria itu. Elsa berharap, kalau orang penting yang di katakan Mamanya adalah Ezra yang saat ini duduk di depannya.
“Tapi kok bawah-bawah nama aku, Sa?” Azar heran, kenapa mama Elsa bertanya tentang Azar.
“kayaknya, mama kamu ada di rumah aku. Terdengar suara mama kamu sih.” Elsa melihat kebelakang, melihat Azar yang tepat berada di belakangnya.
“Elsa?” kata pria itu dari kursi depan. Pria itu segera memalingkan badannya melihat Elsa, dia memasang lampu mobil mencoba memastikan bila itu Elsa.
“Kamu benar Elsa?” Pria itu memastikan
Elsa menganggukkan kepalanya “Iya.”
“Lama nggak ketemu yah. Pas ketemu kamu udah besar begini, jadi nggak kenal deh sama Elsa.” Ezra tersenyum dan kembali berpaling ke depan.
Lama Elsa tak pernah melihat senyum itu, sayangnya tak begitu jelas. Elsa berharap bisa melihat Ezra dengan jelas. Wajah Ezra tak begitu jelas tadi, Elsa jadi tak begitu mengetahui bagaimana wajah Ezra yang sekarang.
“Apa cuma itu?” batin Elsa “Hanya mengatakan kalau aku udah besar? Apa dia nggak tahu kalau aku begitu rindu dengannya? Apa dia nggak tahu kalau aku begitu marah karena dia nggak pernah kasih kabar? Hahh.. rasanya aku ingin menjitak kepalanya, merengek padanya, memukul dia, akan aku limpahkan kerinduanku kepada Kakak yang sangat aku sayangi.” Rasanya Elsa ingin menangis sekuat-kuatnya menyatakan kalau dia rindu dengan Ezra. Matanya mulai berkaca.
Elsa menyandarkan badannya pada sandaran mobil, menutup matanya yang mulai di aliri sungai air mata itu, mengalihkan perhatian orang yang ada di mobil agar menganggapnya tertidur.
Elsa hanyalah anak satu-satunya, tidak memiliki kakak atau adik membuatnya begitu kesepian. Namun sejak kecil ia yang bersama dengan Ezra, membuat Elsa begitu menyayangi Ezra.
Elsa membuka kedua matanya ketika mobil berhenti di depan rumah Randy. Berlanjut ke rumah Sinta, sekedar mengantarkan mereka pulang. Azar berpindah ke kursi depan, duduk bersama Elsa.
Orang-orang tampak menunggu kedatangan mereka atau bisa di katakan menunggu kedatanagn Ezra. Mereka sempat bingung kenapa dia bisa bersama-sama dengan mereka. Namun, tampaknya penjelasan tentang itu tidaklah begitu penting.
Dalam rumah memang terlihat jelas wajah Ezra yang begitu tampan, senyum di wajahnya masih sama seperti dulu. Dia begitu ramah kepada orang-orang, tapi tidak kepada Elsa. Itu yang ada di pikiran Elsa.
“Bagaimana? Kerenan siapa?” Bisik Azar
“Hahh?” Elsa menatap Azar “Hemm.. aku tetap akan mengatakan orang yang dulu menjagaku yang terkeren.” Elsa merasa telah membohongi dirinya sendiri.
“Ah~” Azar menjadi patah semangat, tampaknya kedatangan kakaknya akan membuat Elsa terus berada di samping Ezra.
Malam itu terasa begitu cepat. Setelah lama tak saling bertatap muka, dan kini mereka telah bertemu memang membuat Elsa merasa senang, tapi kesenangannya itu tak seperti yang ia harapkan.
Melihat Ezra yang merasa biasa akan pertemuan mereka itu, membuat Elsa merasa Ezra tidak merasa Elsa begitu penting seperti mereka saat kecil dulu.
***
Hanya menunggu beberapa jam lagi dan tahun pun akan berganti. Harapan-harapan baru akan tahun yang akan datang sering terucap dalam setiap harapan dan keinginan orang.
“Elsa cepat. Kita sekeluarga mau malam tahun baru-an sama keluarganya Ezra dan Azar.” Kata mama Elsa yang telah bersiap untuk perayaan malam pergantian tahun.
“Kenapa harus malam pergantian tahun sih, ma?” Elsa mengenakan jaket Yonsei Super Junior miliknya yang berwarna biru tua itu.
“Malam pergantian tahun dirumah mereka. Sedangkan tahun baru besok mereka mau raya’in bareng kita seharian di sini” jelas Elsa “Oma, opa sama tante dan om kamu mana?”
“Udah duluan tadi, katanya mau singgah sebentar di rumah siapa gitu. Aku nggak dengar jelas nama orangnya.”
“Yah udah. Ayo kita berangkat.”
Sepanjang malam bersama dan sepanjang hari, untuk saat ini bagi Elsa bertemu dengan Ezra adalah sebuah cobaan. Dimana dia ingin menangis karena merasa Ezra tidak begitu memperhatikannya.
“Randy?” Elsa berkata ketika melihat Randy yang duduk memainkan handphonenya di ruang tamu rumah Azar.
“eh Elsa. Kamu datang juga yah?” Randy tampak menyimpan handphonenya ke dalam saku.
Elsa segera duduk di samping Randy karena kursi di samping Randy kosong. “Kenapa cuma diam di sini?”
“Kamu sendiri? Kenapa baru datang langsung duduk disini, nggak temuin tuan rumahnya dulu?”
 “nanti juga disamperin sama tuan rumahnya.” Elsa menyandarkan badannya “Tuh lihat.” Elsa menyentuh Randy memberi isyarat Azar datang mendekati mereka.
“Kalian berdua disini?” Azar menyapa
“Kamu benar, yah!” Randy kembali mengeluarkan handphonenya dari saku.
“Mama kamu yang bilang kamu disini. katanya pas datang kamu langsung duduk disini. Makanya aku datang kemari.” Azar duduk di kursi, saling berhadapan dengan Elsa dan Roland.
Elsa melihat-lihat dari tempatnya duduk. Berharap Ezra juga akan datang ke ruang tamu untuk menyapanya. Tapi, Ezra hanya terlihat berada di ruang tengah sedang bolak-balik tidak jelas.
“Kita main kembang api di depan rumah yuk? Sambil nunggu tengah malam nanti, baru kita nyalain kembang api yang besar.” Ezra keluar dari ruang tengah membawah beberapa dus kembang api yang berukuran panjang.
“Bukannya itu kekanak-kanakkan?” Elsa berkata sedikit dingin.
“Emang sekarang kamu udah dewasa? Umur kamu berapa emang? Lagian dulu siapa yang sering maksa yah main kembang api?”
“A...” Elsa tidak dapat membalas perkataan Ezra
“Udah, sekarang kalian bertiga ke depan rumah.” Ezra mendahului mereka sambil membawah korek dan sebuah lilin untuk menyalahkan kembang api.
Tak ada pilihan lain bagi ketiga anak SMA itu selain mengikuti orang yang berada tiga tingkat diatas mereka. Dan pastinya telah dewasa karena berumur delapanbelas tahun dibanding Elsa yang baru akan menginjak enambelas tahun di bulan Februari. Serta Ezra dan Randy yang baru enambelas tahun.
Kembang api yang menyala itu membuat Elsa merasa kembali kemasa kanak-kanak, dimana dia dan Ezra bermain kembang api bersama.
“Aduh!” teriak Elsa, yang mulai menghembuskan nafasnya pada tangan kanannya mencoba menyejukkan tangannya yang terkena besi panas bekas bakaran dari kembang api yang.
“Ah! Makanya kamu hati-hati?” Ezra melempar kembang api yang di tangannya, lalu menarik tangan Elsa, mencoba menyejukkan dengan meniup-niup tangan Elsa dengan nafasnya.
“Ini terjadi lagi yah?” Elsa menatap Ezra yang fokus merawat tangan Elsa agar tidak kesakitan.
“Apa sih yang ada di pikiran kamu? Kalau saja itu kembang api yang menyala, tangan kamu bisa hangus.”
“Kakak masih kritis juga yah.” Mata Elsa mulai berkaca-kaca, seakan terharu melihat sikap Ezra yang kembali memperhatikannya.
“Kamu nggak apa-apakan, Sa?” Azar mendekati Elsa
“mana bisa Elsa nggak apa-apa. Besok pasti ada bekas luka bakar ditangannya.” Ezra masih melihat sambil meniup-niup tangan Elsa.
“Udah nggak apa-apa! Udah mendingan!” Elsa menarik tangannya secara perlahan dari genggaman Ezra.
“Jangan bohong? Besi itu panas, emang kamu tahan dengan perih dari panas besi itu?” Ezra mencoba menarik kembali tangan Elsa.
“Emang udah nggak kenapa kok.” Elsa menaruh tangannya di belakang, berjalan menuju kedalam rumah.
Elsa tak sebenarnya masuk dan berdiam di dalam rumah itu. Ia pergi kesamping rumah, tentunya melewati pintu yang ada disamping rumah. Ia memangku kedua tangannya, di malam yang dingin itu.
“Mau lihat bintang yang jelas?” Ezra seketika itu berdiri disamping Elsa.
“Apa?” Elsa sedikit kaget dengan kehadiran Ezra secara tiba-tiba ada di sampingnya Aku lagi nggak lihat bintang.”
“Ayo ikut.” Ezra mulai berjalan.
Elsa mengikuti langkah Ezra yang berjalan mendahuluinya, menuju pohon yang jauhnya sekitar 15 meter dari samping rumah itu. Di bawah pohon tidak begitu gelap, ada bangku yang terbuat dari bambu di bawahnya.
“Duduk.” Kata Ezra yang terlebih dahulu duduk di bawah pohon itu.
Elsa mengikuti perintah Ezra. Duduk di bawah pohon itu dengan cahaya yang tidak begitu banyak.
“Tangan kamu udah nggak apa-apa? Atau masih sakit?” Ezra memastikan
“udah nggak apa-apa.” Elsa mencoba meyakinkan Ezra yang tampak khawatir.
“ahh~bohong.” Ezra tahu kalau tangan Elsa masih sakit karena panas besi saat bermain kembang api tadi.
“terserah deh..”
“Disini bintangnya terlihat jelas yah? Begitu indah.”
Elsa hanya diam, tak ada yang bisa di katakannya selain berpikir bahwa saat ini dia sedang bersama dengan Ezra.
“Ya, semua akan terlihat indah bila kita bersama orang yang kita sayangi.”
Elsa masih terdiam dalam kesunyian malam itu.
“Apa kamu nggak punya mulut? Apa harus aku yang tetus menerus bicara?” Azar menatap Elsa yang menundukkan kepalanya.
“Iya!” Jawab Elsa dengan dengan nada yang menekankan.
Ezra kembali melihat kelangit yang di hiasi bintang-bintang itu “Memang iya, yah?”
“menghilang tanpa kabar! Pergi keluar negeri tanpa kabar! Kakak memang harus bicara banyak!” Suara Elsa mulai terisak.
“kamu nangis?” Kata Azar “Maaf! Mungkin memang aku yang salah.” Lanjutnya “Saat aku lihat kamu malam itu, aku pikir kamu akan terkejut. Tapi ekspresi kamu biasa aja. Aku pikir kamu juga udah lupa sama aku, makanya kamu nggak begitu banyak bicara denganku. Aku pikir, aku akan bertemu dengan Elsa yang akan merengek, dan memarahiku karena nggak ada kabar.”
“Ma...af!” Elsa mulai menangis, bicaranya pun mulai terbata-bata “Aku emang sempat lupa akan itu. Tapi, ketika mengingat akan itu, aku ingin bertemu bahkan terus bersama kakak. Saat kakak datang, rasanya aku mau pingsan. Melihat kakak yang tak menyapaku, aku begitu sakit hati. Rasanya aku ingin menghajarmu, memarahimu, melimpahkan semua rinduku padamu.” Elsa berkata sambil menangis dengan nada tinggi “Apa kau tidak merasakan itu?”
Tangisan Elsa tak berhenti. Ia mencoba menghapus air matanya dengan kedua tangannya.
“Kau sudah menyakitiku.” Kata Ezra “Saat ini aku melihat adikku menangis karena aku. Aku juga tersakiti tahu.” Azar menarik kepala Elsa, meletakkannya di atas pundaknya.
“Saat SMP aku mencoba menemui kamu, ingin bermain lagi dengan kamu. Tapi aku harus sibuk dengan berbagai les. Saat libur panjang pun aku datang liburan ke Manado. Begitu pula saat aku di SMA. Tapi melihat kamu sekarang yang sudah besar, rasanya canggung menyapa seorang gadis yang lama tak kutemui.” Azar melanjutkan.”Menangislah di pundakku, anggaplah itu sebagai ganti kau ingin menghajar dan memarahiku.” Mata Azar pun mulai berkaca-kaca ia merasa begitu salah, setelah lama tak menjumpai adik kecilnya, bahkan memberi kabarpun tidak.
Elsa mengangkat kepalanya dari pundak Ezra setelah beberapa waktu yang cukup panjang, tangisnya mulai reda.
“Kapan kakak akan kembali?” Tanya Elsa dengan kedua matanya yang basa.
Ezra mengeluarkan sapu tangannya, menghapus berkas air mata yang ada di pinggir mata dan pipi Elsa “Akhir Januari, mungkin?”
“Ouhh!”
“Tenang, saat itu aku akan pamit. Aku nggak mungkin nyakitin adikku yang kedua kali.”
“Nggak bisa nunggu sebentar yah?”
“Hahh?”
“Nggak, nggak apa.” Elsa tak jadi melanjutkan perkataannya.
“Tapi, kamu sama Azar dekat yah?” Ezra beralih pembicaraan.
“Nggak sedekat dengan seseorang.”
“Masa? Mungkin kalian?” sedikit kata-kata menggoda Ezra lontarkan untuk Elsa.
“Jangan Aneh-aneh.” Elsa menyolot “ngomong-ngomong tentang Azar...”
“Benar kan?” Ezra menyelah
“bukan! Kata Azar, kakak begitu dingin sama dia.”
“Emang aku dingin?” berbalik menanyakan pada Elsa.
“kata Azar ‘kan? Dia bilang, kalau dulu dia ingin satu sekolah sama kakak. Tapi pas mau pindah, kakak udah di SMP.”
“Iya. Aku yang salah, begitu membenci Azar hanya karena dia yang datang dan tinggal di Manado! Aku terus merengek ingin datang disini, dan akulah yang ingin tinggal di sini. Tapi anak itu yang mendapatkan tempat ini.”
“Tapi, karena aku, kakak nggak merengek lagi datang kesini ‘kan?” Elsa menunjukkan wajah imutnya yang masih sedikit basah karena menangis.
“Kamu kembali seperti dulu. Baguslah.” Ezra memainkan ramput Elsa.
“hehh..” dengus Elsa “Kasian Azar. Dia sayang sama Kakak, mungkin Azar iri karena aku mungkin menghabiskan waktu lebih banyak dengan kakak, di banding dengan dia.”
“Gitu yah? Tapi gimana? Azar keren kan?” Ezra kembali menggoda Elsa
“Hehhh! Sekarang aku nggak percaya kalau kakak dingin terhadap Azar.” Elsa menunjukkan wajah kesalnya karena di goda Ezra.
“Ayo kita ambil gambar berdua, Sa.” Ezra mengeluarkan handphonenya.
“Bukannya ini terlalu gelap?” Elsa melihat tempat ia berada yang tidak begitu terang.
“Udah nggak masalah! Siap yah!”
Pancaran cahaya lampu dari handphone itu tak menjadikan wajah mereka ataupun gambar mereka gelap.
“Udah hampir jam dua belas! Kita siap-siap pasang kembang api. Ayo.” Ezra menyimpan handphonenya dan menarik tangan Elsa dari duduknya.
“Pelan-pelan!”
Suara bising kembang api yang pecah di udara disertai dengan pancaran cahayanya nampak begitu indah. Tak hanya mereka yang memasang kembang api, begitu banyak orang juga yang  memasang kembang api saat waktu menunjukkan pukul duabelas malam. Semua saling berlomba atau membalas setiap kembang api yang pecah di udara itu.
Akhirnya, tahun baru telah tiba. Harapan yang baru menanti didepan mata, begitu pula dengan masalah-masalah yang baru menanti di tahun yang baru itu.
Tahun yang telah berlalu tinggallah kenangan, dan tahun yang baru adalah sebuah harapan. Dimana kita harus bertekad merubah segala sesuatu yang buruk menjadi baik, merombak yang rusak menjadi baik kembali.
“Selamat tahun baru!”...”Happy new year!”... Itulah yang dikatakan orang-orang yang lewat di jalan. Sambil meniupkan terompet dan mendekat untuk sekedar berjabat tangan mengucapkan tiga kata itu.
“Happy new year, semua!” teriak Randy yang bersiap menyalahkan kembang api berikutnya.
Malam yang sangat menyenangkan bagi Elsa. Pemikirannya akan terlupakan oleh Ezra ternyata tidak benar, kini berubah menjadi sebuah kebahagiaan di tahun yang baru.
Elsa kembali pulang bersama keluarganya, dengan posisi bersiap untuk istirahat pertama di tahun yang baru itu, Elsa mencoba membuka akun Facebooknya, melihat orang-orang yang meng-update status mereka ‘Happy new year’ atau ‘Selamat tahun baru’. Banyak orang yang tampaknya masih terjaga, bahkan suara kembang api pun masih terdengar.
Sebuah pesan facebook masuk. Elsa tersenyum melihat pesan yang berisi sebuah foto itu, dengan latar foto ditempat tidur dan wajah dua orang yang tersenyum itu berisi pesan ‘Selamat Tahun Baru! Kakakmu yang tampan ini tidur bersama adik cowoknya yang keren! Ezra J’. Isi pesan dari Ezra yang menggunakan facebook milik Azar.
 

Make My Life Complete Sinopsis
Make My Life Complete Part 1
Make My Life Complete Part 2
Make My Life Complete Part 3
Make My Life Complete Part 4
Make My Life Complete Part 5
Make My Life Complete Part 6
Make My Life Complete Part 7
Make My Life Complete Part 8
Make My Life Complete Part 9 (Last)

No comments: