Thursday, 18 December 2014

Make My Life Complete : Part 2

 
PENGUCAPAN SYUKUR
Suhu udara saat malam di sini begitu dingin, siang pun panasnya tidak begitu menyengat. Setidaknya Elsa tak memerlukan kipas angin ataupun AC untuk menyejukkan diri.
            Malam itu Oma, Mama, dan Tante Elsa, seperti mengatur daftar untuk makanan. Di ruang makan sekaligus menjadi tempat untuk menonton tv.
            “Setidaknya kita perlu 10 kilo daging. Kita tidak bisa memperkirakan berapa banyak orang yang akan datang nanti.” Kata Mama Elsa.
            Elsa mulai mendekati mereka.
            “Ya, 10 kilo daging, di tambah dengan sayur, dan bumbu-bumbu lainnya. Aku rasa kita harus bekerja keras besok.” Kata Tante Elsa.
            “Tenaga 3 wanita dewasa, dan 2 pria dewasa, di tambah dengan beberapa anak-anak, pasti bisa. Lagipula kan masih ada Nina, katanya urusan buah-buahan itu bagian dia.” Sambung Oma Elsa.
            “Din, Apa setiap pengucapan syukur kalian sesibuk ini?” tanya Ibu Elsa.
           “Pengucapan kan acara setahun sekali, udah gitu yang ngadain Pengucapan syukur itu cuma setiap kabupaten. Pasti keluarga-keluarga yang di luar datangnya di sini.” Jawab tante Elsa sambil menulis catatan-catatan untuk belanja nanti.
            “Acara di hari minggu, minggu kedua, dibulan Juli ini, tampaknya memang acara yang paling ramai yah. Tampaknya tidak ada acara yang lebih ramai selain ini di Sulawesi Utara ini?”
            “Eith, jangan salah, Natal kan juga jadi acara terbesar setiap tahun.”
            “Tapi Natal tidak akan semacet pengucapan ‘kan?”
            “Memang sih, tapi pengucapan tidak terkalahkan dengan Natal dan Tahun Baru loh.”
            “terserah deh. Oh yah, kalian sekolahnya kapan Elsa?” mengajukan pertanyaan kepada Elsa.
            “Senin. Pengucapan syukur itu apa’an sih, Ma?” Elsa duduk dikursi yang ada dipojok meja.
            “ouh.. ehm,, pengucapan syukur itu, acara yang rutin di lakukan setahun sekali di Sulawesi Utara ini. Memang nggak di laksanakan secara serentak, Cuma setiap daerah memiliki waktu tersendiri untuk laksana’in-nya. Oh iya, kalau thanks giving kamu tahu dong. Yah, itu pengucapan syukur”
            “Oh gitu.” Elsa menganggukkan kepalanya, member tanda bahwa ia mengerti.
***
Elsa tak mengira jika pengucapan syukur itu benar-benar ramai, kendaraan-kendaraan baik yang beroda dua maupun beroda empat, tak henti-hentinya melalui jalan raya dengan kemacetan yang tak pernah di lihatnya di tempat itu selama ia ada di sana.
Para sanak saudara dari jauh pun datang dan saling bersalaman, mereka pun sering bertanya ‘anak siapa ini?’ atau ‘Wah, anaknya Diva yah? Hallo, baru kali ini ketemu ya! Cantik deh...’ mereka tersenyum menatap Elsa, menanyakan berbagai macam hal seperti ‘Elsa, Umur berapa?’,’Elsa, Kelas berapa?’,’Elsa, Nanti mau masuk di SMA mana?’. Pertanyaan yang datang berulang kali setiap saudara datang dan pergi secara bergantian.
Elsa tak mengira jika akan ada acara seperti ini disini, bahkan dia bisa merasakan bagaimana hangatnya sebuah keluarga bertemu dan berkumpul bersama karena Pengucapan Syukur ini, meski dalam waktu yang begitu singkat.
Pengucapan Syukur hari itu berjalan dengan lancar, bahkan makanan yang di siapkan begitu banyak, habis karena mereka tak menduga banyaknya sanak saudara yang datang untuk merayakan pengucapan syukur bersama.
Tak heran Elsa juga merasa capek, melayani setiap tamu yang datang padahal besoknya Elsa harus masuk sekolah.
Ya, hari yang baru lagi akan Elsa hadapi dan harus dihadapi. Entah? Apa Elsa akan mendapat teman seperti teman-temannya dulu di Jakarta, atau lebih buruk. Yang pastinya, Elsa harus beradaptasi dengan gedung Sekolah yang baru, sikap Guru-Guru yang mungkin berbeda, dan mencari teman-teman yang baru.

HARI PERTAMA
Like this yo Like this
wi araero heundeureo Like this
Like this yo Like this
momeul dollyeo jwa uro Like this
Like this yo Like this
pado cheoreom naeryeo ga Like this
Like this yo Like this
da gati Stop!...”

Dering alarm handphone Elsa berbunyi, waktu menunjukkan pukul 05.30. Elsa selalu menggunakan alarm untuk bangun pagi, ia memang sulit untuk bangun dari tidur tanpa alarm kecuali di bangunkan, ataupun tidak tidur sama sekali. Elsa masih lelah dengan Pengucapan Syukur kemarin, rasanya dia ingin terus berbaring hingga lelah yang ada di tubuhnya hilang.
Dengan mata yang terasa berat untuk di buka  Elsa bangun dari tempat tidurnya. Terlihat mama Elsa masih tertidur lelap, suasana rumah pun masih sunyi. Sedangkan hembusan angin pagi yang masuk kedalam rumah begitu dingin. Tampaknya mereka masih lelah dengan acara yang kemarin. Maklum lah, tamu yang berganti datang tak henti-hentinya harus di sambut dan di layani.
Elsa bergegas mempersiapkan segala keperluan untuk hari pertama sekolah-nya. Yah, saat ini Elsa duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Lulus dari sebuah Sekolah Menengah Pertama di Jakarta dan s’karang ini Elsa harus memulai bangku SMA di tempat yang jaraknya di pisahkan oleh lautan.
Seragam berwarna putih abu-abu dengan dasi yang berwarna abu-abu dan ban OSIS dengan latar cokelat yang di pakainya, Elsa tampak seperti siswa teladan, penampilan yang rapih dengan rambut yang di ikat ke atas.
Waktu menunjukkan pukul 06.07, Elsa segera mengambil tas gendongnya yang berwarna coklat dengan motif kotak-kotak. Segera bergegas menuju kesekolah.
“Nggak sarapan dulu Sa?” kata tante Elsa, yang saat itu terlihat telah bangun dari lelap malam yang panjang.
“nggak, Tan. Entar telat lagi.”
“ya udah kalau gitu minum deh.”
“Iya... Yang lain belum bangun ya?” dan meminum segelas teh hangat
“he’e, iya... kayaknya masih capek karena acara kemarin. Kamu udah punya jajan?”
“oh gitu’... udah tante. Elsa berangkat dulu yah. Selamat pagi”
“iya,, pagi” sahut tante Elsa sambil memegang sebuah gelas yang berisi kopi hitam.
Jalan masih tampak sepi, orang-orang sepertinya masih terlelap atau membereskan keadaaan dalam rumah mereka, karena adanya pengucapan syukur yang kemarin.
Jarak dari rumah Elsa kesekolah tidak begitu jauh, bila di tempuh dengan kendaraan, lima menit tak sampai. Tapi, bila Elsa harus berjalan, sekitar sepuluh menit bahkan lebih untuk sampai di sekolah barunya, sebuah SMA Negeri yang berdiri sejak lama, bahkan sempat di duduki oleh Mama Elsa.
“tepat waktu... 06.20.. aku harus memacu langkahku jika aku terlambat nantinya. Masih sepi. Guru juga belum ada yah? Oh udah ada beberapa siswa. Di sini pake apel gak sih? Upacara dihari senin? Upacara di 17 Agustus? Aishh, Guru-gurunya galak gak yah?” gumam Elsa sambil menyusuri koridor sekolah menuju ruang kelasnya yang telah di bagi pada hari sabtu saat semua siswa baru di suruh berkumpul di sekolah untuk pembagian kelas.
“XI IPA...  Xa... Xb...Xc... oh ini yah? Kelas-kelasnya mirip sih.. tapi bolehlah, nggak terlalu pojok juga. eh, belum ada siswa yah?” Elsa berdiri di depan pintu, melihat ruangan kelasnya yang sunyi “Cari tempat deh. Terlalu belakang? Nggak! Depan Meja guru? Nggak mau! Sudut kiri atau kanan paling depan? Terlalu ujung! Ini deh, dari kanan aku ketiga.”
“Selamat pagi”
Suara yang lembut, mengucapkan ucapan salam itu mengagetkan Elsa yang sedang melepaskan tas-nya di atas meja tempat yang ia pilih.
“pagi” jawab Elsa ‘okey, dia siswa pertama yang aku temui’ Elsa mem-batin.
“Kelas C juga yah?” tanya Elsa
“i..iya...” jawab gadis dengan rambut pendeknya yang sampai di bahu dengan beberapa gelombang pada rambut bawahnya.
“kalau gitu, aku Elsa kelas C juga kayak kamu.”
“aku Sinta. Salam kenal.” Gadis itu mengulurkan tangan kanannya, yang kemudian di salam oleh Elsa.
“asal SMP kamu di mana?” tanya Sinta.
“Salah satu SMP Negeri di Jakarta”
“oh, dari Jakarta. Terus di sini tinggal ama siapa?”
“di sini sama Oma, ada Mama juga sih.. itu Desa yang ada di perampatan. Yang sebelah kanan.”
“oh di situ. Kenal Vina dong? Aku tinggal di depannya. Maksudku, desa di depan desa itu.”
“oh.. sorry aku nggak kenal.”
“ya udah. Kamu duduk ama siapa?”
“...iya, terus tadi malam, udah jam 11 jalanan juga masih macet...” percakapan dua orang gadis itu yang mulai memasuki kelas menghentikan sejenak percakapan Elsa dan Sinta.
“jangankan jalanan macet, tamu mama dan papa aku juga masih ada yang tinggal tau. Padahal udah jam segitu loh. Eh, Pagi.” Kata salah satu gadis itu lalu mengucapkan salam.
“Pagi” kata gadis yang lainnya.
“Pagi..” Elsa dan Sinta membalas salam kedua gadis itu.
“Sinta punya teman baru yah! Kenalin aku Vina” gadis dengan rambutnya yang panjang sampai ke pinggang itu mengulurkan tangannya, dengan senyum yang ramah.
“Elsa” Elsa menjabat tangan gadis itu, lalu,
“Aku  Mouren” gadis yang satunya lagi ikut mengulurkan tangan.
“Elsa...”  Elsa menjabat tangan gadis yang rambutnya sama dengan Vina namun terlihat rambutnya seperti di catok.
“Kamu kelas sini juga Sin?” tanya Vina
“Iya Vin, Kamu juga di sini?”
“Cuma Mouren yang di kelas sini. Kalau aku sih di B. Cuma, karena belum ada siswa aku ikut Mouren deh.”
“Oh gitu. Jadi Mouren yang di sini. Oo ya Elsa, kita duduk bareng aja yah?” Sinta melepaskan tas yang ada di bahunya.
“iya boleh, aku duduk di sini.” Kata Elsa sambil duduk di tempat yang telah ia pilih.
“Mouren mau duduk dimana?” tanya Sinta yang sedang meletakkan tas gendongnya yang berwarna hitam.
“ di sebelah kamu sini deh Sin, depan Meja guru juga gak apa.”
“kayaknya udah ada siswa di kelas sebelah, aku ke sebelah yah. Dah” Vina pergi menuju Kelas B yang ada di samping kiri kelas C itu.
“itu Vina, yang aku tanya ke kamu tadi. Orangnya baik loh.”
“iya, terlihat dari senyumnya, Vina terlihat manis.”
“ye~ asal kalian, Vina itu ibarat kata ‘diam-diam menyedihkan” Mouren menyambar percakapan Elsa dan Sinta.
“mulai deh.. mau gosip yah?” Sinta menyelah
“Diam-diam menyakitkan? Maksudnya?” Elsa bingung ‘apaan sih? Itu peribahasa? Atau apa? Aneh’ batinnya
“iya Vina diam-diam menyakitkan. Dia itu terlihat baiiiik....bangettt.... Tapi, pas ada orang yang nggak dia suka, dia pasti bakalan nyindir secara halus tapi menusuk.” Jelas Mouren
“tapi itu kan, karena Vina nggak suka kelakuan yang jelek. Tuh kayak kamu tukang gosip. Oh iya, kamu ‘kan pernah ya di sindir ama Vina, tapi belum tobat juga.” Kata Sinta
“hehh, iya sih demi kebaikan, sikap aku juga sempat berubah pas di sindir ama Vina. Tapi Sin, gak usah bongkar kejelekkan orang di depan teman baru dong.”
“iya, maaf” Sinta tersenyum dengan tangan yang menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah, peace.
Tampak bibir manis Elsa yang merah tersenyum, merasa lucu akan tindakan kedua teman barunya itu.
Siswa-siswa mulai berdatangan, satu persatu dari mereka memperkenalkan diri pada Elsa dan kurang dari satu jam, Elsa mendapat begitu banyak teman di kelas.
yang itu siapa yah? Yang sana...?’ batinnya
“Elsa, hai!”
“Hai!” Elsa membalas sapaan gadis sekelasnya itu yang sebelumnya telah berkenalan dengannya.
yang tadi siapa yah? Ini nih kelemahan Elsa, mengingat wajah, tapi gak ingat nama. Apa’an sih?!’ batin Elsa lagi yang tak bisa mengingat teman-teman barunya itu.
udah deh, nanti juga ingat’ lanjut batinnya.
“Enci udah mau masuk tuh” kata Roland yang duduk di ujung kanan Elsa.
“Enci?” Elsa bertanya-tanya.
Sinta mendengar kata yang Elsa ucapkan itu dan langsung menatap Elsa.
“Enci! Kamu nggak tahu yah?”
Elsa menggelengkan kepala, menjelaskan bahwa dia tidak tahu apa itu Enci.
“Itu loh! Sebutan untuk seorang Ibu Guru.” Lanjut Sinta
“oh! Makasih yah. Maklum di sekolah ku dulu, hanya ada sebutan Ibu atau Ma’am.”
“iya! Kamu kan masih baru di sini, kalau ada yang nggak kamu ngerti, tanya aja ama aku.”
“makasih lagi Sin, maklum, aku belum pernah sama sekali tinggal di Sulawei Utara ini.”
“Iya sama sama.” Sinta tersenyum, dan Elsa hanya membalasnya dengan senyuman.
“Selamat Pagi.” Kata Ibu guru yang berada di depan kelas itu dengan beberapa buku ditangannya.
“Selamat pagi.” Jawab siswa-siswa kelas Xc.
“Perkenalkan saya Widya Sinta, wali kelas kalian.”
Guru dengan rambut yang di ikat satu itu mulai memperkenalkan diri, dan merasa heran, karena siswa-siswa tersenyum-senyum ataupun tertawa kecil.
“Kenapa?” tanya Ibu Widya heran.
“Nama ibu sama kayak Sinta” suara seorang siswa lelaki datang dari belakang menjawab pertanyaan ibu itu. Sinta mengendus, dan tak mengerti kenapa dirinya terasa malu.
“Sinta? Siapa yang namanya Sinta di sini?” tanya Ibu Widya lagi.
Sinta mengangkat tangan kanannya, matanya menatap wajah Ibu Widya dengan kepala yang sedikit tertunduk.
“jadi kamu. Tenang Sinta, kalian hanya akan memanggil Enci dengan sebutan Enci Widya, kok.” Guru itu tersenyum.
Sinta membalas senyum hangat Guru itu dengan senyuman balik.
“sekarang untuk pertemuan awal kita, saya ingin kalian memperkenalkan diri, mulai dari nama dan asal sekolah kalian. Mulai dari yang kanan.” Bu Widya menunjuk pada Roland.
“Nama saya Roland Aditya, asal sekolah saya SMP Negeri 1 yang ada di kecamatan ini.”
“Saya Vincent dari SMP Negeri 1.”
Tiba giliran Elsa untuk memperkenalkan diri. Elsa berdiri dari tempat duduknya, dengan kedua tangannya yang bersandar pada meja.
“Saya Ofelsa Inori Yesyurun, saya lulusan dari salah satu SMP Negeri di Jakarta.”
Elsa kembali duduk ke tempatnya setelah memperkenalkan diri.
“oh. Dari Jakarta, yah? Tinggal di sini sama siapa?” Tanya Bu Widya
“Dengan Oma, tapi Mama juga di sini.”
“okey, lanjut...” kata guru itu.
“Saya Sinta Kurnia, asal SMP Negeri 1.”
“Saya...” Siswa-siswa bergantian memperkenalkan nama dan asal sekolah mereka. Kebanyakan dari mereka berasal dari SMP yang sama.
Perkenalan itu berlanjut hingga siswa yang terakhir, Elsa memperhatikan mereka, namun dia tidak bisa mengingat dengan pasti nama-nama teman sekelasnya. Yang di ingatnya, rata-rata dari teman sekelasnya yang baru berasal dari SMP yang sama.
“baiklah, mungkin saya akan mengingat kalian bila kita sering bertemu nanti yah. Sekarang, bagaimana kalau kita memilih ketua kelas, sekretaris, dan bendahara kelas? Semua sediakan kertas kecil yah dan tulis nama yang akan kalian calonkan.”
Terlihat semua siswa merobek sehelai kertas, dan menjadikannya kecil-kecil, sekitar 4cmx5cm.
“nama yang memiliki suara terbanyak akan menjadi Ketua kelas dan kedua terbanyak menjadi wakilnya.” Lanjut Bu Widya.
“Sinta mau nulis siapa?” Tanya Elsa yang bingung untuk menulis nama siapa, karena Elsa tak begitu mengenal teman-teman barunya itu.
“Rahasia dong... Maaf...” Kata Sinta yang tampak tak ingin menunjukkannya pada Elsa.
“Ayolah... aku nggak begitu kenal mereka, nama mereka saja udah lupa..” Elsa memohon.
“Ya udah, Aku nulis dia... tuh yang dipojok...” Sinta menunjuk pada tempat siswa yang dipilihnya.
“Roland? Okey... aku ikut deh...” Elsa segera mengambil kertas Sobekannya dan menulis nama Roland Aditya.
“dasar...”
“kalau sudah semua kumpul kertasnya didepan yah... Enci minta bantuan satu orang untuk menulis dipapan... ada yang mau bantu?” Guru itu mulai berbicara lagi untuk mengumpulkan kertas suara.
“Mouren aja, Nci.” teriak beberapa siswa.
“baik, Mouren tolong bantu Enci.” Bu Widya memanggil Mouren sambil memberikan broadmarker.
“Semua sudah terkumpul Enci baca satu persatu hingga yang terakhir. Mouren sudah siap?”
“sudah Enci.” Kata mouren dengan memegang marker yang telah di buka tutupnya.
“Roland Aditya. Roland Aditya. Vincent. Fery. Roland...”
Bu Widya membaca kertas-kertas kecil itu, hingga mencapai hasil Roland sebagai Ketua kelas dan Fery sebagai Wakil ketua.
“Selamat yah Roland dan Fery, kalian harus mengatur kelas dengan baik. Berikutnya, tulis nama yang akan kalian pilih sebagai Sekretaris dan Bendahara.
Kembali Elsa hanya mengikuti apa yang di tulis Sinta. Sebagai Sekretaris Mouren dan sebagai bendahara mereka memilih Iren.
Mouren memang terpilih jadi Sekretaris dan begitu pula dengan Iren yang menjadi bendahara kelas. Pilihan Elsa dan Sinta menjadi pengurus Kelas.
“Selamat buat yang jadi pengurus Kelas Xc, ini adalah tanggung jawab teman-teman untuk kalian. Mulailah bertanggung jawab dari hal kecil seperti ini. Bila hal kecil saja kita tidak dapat pertanggung jawabkan, bagaimana dengan hal besar nantinya. Enci mau kembali lagi ke ruangan guru. Selamat bekerja. Fighting!” Bu Widya memberikan nasehat kepada mereka dan segera keluar dari pintu kelas.
“Oh ya, kalian udah tahu kan, setiap ada guru yang masuk atau keluar  harus diberi Salam?” Bu Widya kembali berbicara dari balik pintu.
“Iya Enci.” Jawab semua siswa.
Roland bergegas berdiri dari tempat duduknya bermaksud untuk memberi intruksi untuk semua member salam.
“Sudah, kalau guru yang berikutnya masuk saja baru di beri salam.” Bu Widya menjulurkan tangan kanannya, memberi intruksi untuk tidak memberi salam kepada dirinya dan segera pergi.
“Enci baik yah.” Kata Sinta “terus pilihan kita terpilih lagi.” Lanjutnya “Tapi, paling awalnya aja baik, pas mau kegiatan belajar mengajar jadi galak. Ah, serem.”
“Guru galak nggak apa dong, toh itu untuk kebaikan kita.” Kata Elsa sambil memasukan kembali buku dan pulpennya ke dalam tas “lagipula, Bu Widya kelihatan memang baik kok. Senyumnya pun manis.”
“hahahh, baru ini aku dengar ada siswa yang bilang senyum gurunya manis loh.”
“memang kok.” Elsa tersenyum.
Suasana yang tampak akrab itu terlihat seketika, baru beberapa jam Elsa mengenal Sinta, mereka sudah begitu akrab. Mungkin karena pembawaan Sinta yang mudah untuk bergaul.
Teng... Teng... Teng... Teng... Teng...
“Eh, udah lonceng panjang? Ini pulang?” kata Sinta dengan terkejut.
“Kayaknya. Tuh, ada Mner yang mau kasih penyampaian. Kayaknya.” Kata Roland yang berdiri di samping pintu sambil melihat keluar.
“Hari pertama kalian di sekolah begitu singkat di karenakan ada suatu dan lain hal. Jadi, untuk semua siswa di harapkan kembali ke rumah masing-masing, dan jangan sampai ada yang singgah di tempat lain atau mencari keributan.” Seorang Guru lelaki memberi penyampaian.
“Beneran pulang?” Kata Roland. “Ayo semuanya pulang.” Lanjutnya.
Elsa mengambil tasnya dan menuju ke luar pintu.
“Elsa pulang bareng yuk. Kan kita searah pulangnya. Yah, walaupun nanti kamu bakal jalan sendiri lagi sih. Tapi setengah perjalanan bisa dong.” Ajak Sinta.
“Boleh kok.” Elsa menyambut baik ajakan Sinta.
“Roland cepat dong.” Sinta memanggil Roland yang tampak masih menutup tasnya
“Eh, Roland juga?”
“Iya, Roland sering pulang bareng sama aku, dari SMP juga gitu.”
“Udah kok Sin, ayo pulang.” Roland berkata sambil menggendong tas berwarna hitamnya.
Mereka berjalan bersama, Elsa melihat keakraban Sinta dan Roland.
“oh yah. Roland juga dari Jakarta loh sama kayak kamu Elsa.” Kata Sinta sambil memegang pundak kiri Elsa.
“masa? Terus kenapa jadi ada di sini?”
“aku pindah sejak kelas 3 SMP karena papa yang pindah tugas.”
“oh ya? Aku pindah karena mama dan papa ingin balik ke sini. Katanya karena tempat kelahiran mereka, udah gitu semua keluarga juga di sini. Katanya juga sih, biar nggak jauh ama keluarga.”
“tapi kamu ngerasain-nya ‘kan?” Roland mulai bertanya.
“Rasa-in? Rasa-in apa?” wajah Elsa tampak bingung dengan pertanyaan Roland.
“perbedaannya.” Roland berkat lagi, sedikit menjelaskan akan pertanyaannya.
Tapi, Elsa masih bingung dan menggelengkan kepala menunjukkan tanda ia belum mengerti “hahh?”
“iya, perbedaan Jakarta dengan tempat ini. Pas aku di Jakarta yah Elsa, udah coba berbagai cara, dari bangun dan berangkat pagi banget, pakai sepeda, kendaraan umum, sama aja kayak pakai mobil pribadi, tetep terlambat.” Roland mulai menjawab akan pertanyaan yang di ajukannya sendiri.
“hahaha.. iya juga sih, udah gitu pas pulang sekolah kan yah? Udah macet, panasnya minta ampun lagi.” Elsa mulai mengerti dengan pertanyaan yang di ajukan Roland sebelumnya.
“iya bener. Tapi, kalau disini, aku nggak perlu bela-belain bangun pagi loh. Jadi nggak ngantuk disekolah.”
“iya.. iya.. aku juga sering ngantuk loh karena seringnya tidur larut karena tugas, nggak nyampe delapan jam tidur ech udah bangun. Haduh..” Elsa tampak menikmati percakapan itu.
“tapi, kalau lagi tidur-tiduran di kamar, aku jadi rindu ama Jakarta loh.”
“Jangankan kamu, aku aja yang belum seminggu, udah kangen berat ama Jakarta.”
“Ehemm... Aku tahu yah kalian dari Jakarta, tapi jangan nyuekin aku dong.” Kata Sinta yang agak kesal karena seperti tak di anggap oleh Elsa dan Roland yang pernah tinggal di Kota yang sama.
“maaf Sin, kan aku udah nggak pernah ketemu ama orang jakarta.” Kata Roland “udah hampir setahun loh..”
“Maaf Sinta...” Elsa memohon maaf.
“Udah nggak apa. Tapi kayaknya aku bakalan jadi orang Jakarta juga!
Elsa dan Roland heran akan pernyataan Sinta.
“Iya, kalau setiap hari aku berbincang sama kalian berdua, bisa-bisa bahasa Manado jadi lupa tahu.” Lanjut Sinta
“oh iya, tapi kok tadi banyak yang pakai bahasa Indonesia gitu?” tanya Elsa.
“kalau itu, Sekolah mengedepankan perbincangan dalam Bahasa Indonesia, dengar-dengar sih sejak pergantian Kepsek setahun yang lalu. Katanya, biar Siswa SMA Negeri kayak kita bisa berbahasa Indonesia dengan baik. Tapi kamu dengarkan cara mereka bicara, masih hancur loh.” Jelas Sinta.
“ah iya, tapi mereka kan masih mau belajar lagi Sin.” Kata Roland.
“Memang yah cara bicara mereka masih kacau. Tapi kok kamu enggak Sinta?” Tanya Elsa.
Sejak setahun yang lalu beta sering berbicara sama sih Roland dengan Bahasa Indonesia. Sampai sekarang Beta sudah bisa berbahasa Indonesia walau masih sedikit hancur juga.” Sinta berkata dengan logat Ambon.
“Lebaynya Sinta kambuh.” Kata Roland yang menarik Elsa berjalan cepat mencoba meninggalkan Sinta. “Mending kita cepetan, dari pada dengar ke-alay-annya seorang Sinta Kurnia.”
“Ech tunggu.” Sinta mencoba mengejar dengan langkah yang cepat, namun belum sempat  mengejar Roland dan Elsa.
Sinta tunggu...” suara seorang gadis memanggil Sinta. Sinta berhenti mencoba melihat siapa yang memanggilnya.
“oh, Mouren..” kata Sinta ketika melihat sosok gadis yang memanggilnya adalah Mouren.
Elsa dan Roland yang juga mendengar panggilan Mouren itu berhenti, mencoba untuk menunggu Sinta agar berjalan bersama kembali.
“Kalian jalan aja, aku bareng ama Mouren, nanti kita ketemu di belokan yah, Land.” Kata Sinta yang saat ini bersama berjalan Mouren dan mulai berbincang.
“Okey Sin...” Roland mulai berjalan bersama Elsa, menunjukkan jempol kanannya.
“Sinta nggak apa-apa di belakang? Bukannya di ajak aja biar bareng gitu, ama Mouren juga.” Elsa menunjuk ke belakang dengan jari telunjuk kanannya.
“Kamu belum tahu Mouren aja, kalau dia udah mau cerita sesuatu ama Sinta, walaupun nggak penting yah, dia nggak mau orang lain dengar.”
“Ouh, tapi jujur loh. Pas baru sampai di sini, apalagi sekolah di sini, aku kira kalian tuh pada rese yah...”
Roland membuka matanya lebar, menatap Elsa “cari masalah nih Elsa.”
“belum selesai ngomong. Tapi, pas ketemu kalian, kalian itu beda. Menyenangkan, ramah, padahal baru ketemu. Tapi mungkin karena masih awal aja kali yah?” Elsa mencoba meluruskan kesalahpahaman kecil yang terjadi.
“tenang aja mereka nggak akan berubah kok. Sebagaimana yang kamu lihat keadaan, kelakuan mereka hari ini, kamu juga akan tetap menemuinya besok, lusa, minggu depan, bulan depan, sampai saat kamu balik lagi ke Jakarta atau pergi kemana pun dan kembali lagi di sini. Mereka nggak akan berubah. Aku juga dulunya gitu. Malah, aku pikir kalau mereka itu ketinggalan zaman loh. Tapi pas ketemu, mereka beda dengan teman-teman aku yang di Jakarta dulu, hidup dengan kemewahan, manja, malah ada yang pilih-pilih teman.”
“Aku terlalu takut...” terlihat Elsa sedikit menundukkan kepalanya.
“Roland tunggu. Udah yah, Ren nanti lanjut besok. Dah Elsa, sampai jumpa. Kamu bisa bareng ama Mouren walau Cuma di perampatan juga sih. Dah.” Sinta menyambar Roland dan langsung menariknya menuju jalan pulang.
“Ech tunggu, kayaknya belum... ah sudahlah.” Kata Roland yang penasaran mendengar kata Elsa tadi. ‘Aku terlalu takut... Apa yang dia takuti?’ batin Roland.
 “Elsa pulang bareng yuk, walaupun hanya sampai diperampatan situ sih.” Ajak Mouren
“Ayo. Emangnya kamu tinggal dimana Mouren?”
“kalau mau ketempat tinggal aku, kamu harus naik mobil. Karena agak jauh.”
“oh gitu.” Elsa menganggukan kepalanya, dengan pandangan yang berada di depan.
“ah itu udah ada mobil, duluan yah Elsa, bye.”
Elsa mengangkat tangan kanannya, tidak begitu tinggi dan melambaikkannya pada Mouren yang naik mikrolet berwarna biru langit.
Berjalan sendiri menyusuri jalan pulangnya. Elsa mulai merasa senang dan sedikit melupakan hiruk pikuk Jakarta. Elsa merasa senang dengan teman-teman barunya. Candaan mereka, keramahan, cara mereka menolongnya walau dalam hal kecil, begitu Elsa rasakan. Tak pernah lagi Elsa merasakan hal ini sejak kepergian Dita, teman semasa SMP-nya yang pergi meninggalkan Elsa terlebih dahulu akibat kecelakaan.
“Aku pulang.” Kata Elsa yang telah tiba di rumahnya.
“eoh, pulangnya cepat? Bolos yah? Ini masih jam sembilan kok udah pulang” kata Mama heran.
“Katanya ada sesuatu, makanya siswa di pulanginnya cepat. Nggak mungkinlah Elsa bolos.” Elsa pergi menuju kamar melepas tas dan sepatunya dan berbaring sejenak di tempat tidur.
“Elsa. Besok-besok kalau pulang sekolah ucapin Selamat siang aja. Okey.” Kata mama Elsa dari ruang tamu, “cepat ganti baju terus makan deh.”
“okey Ma. Entar deh, sekalian makannya pas makan siang aja.”
Berbaring menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih polos, Elsa mengingat akan hari pertama dia dan Dita bertemu saat di sekolah.
  

Make My Life Complete Sinopsis
Make My Life Complete Part 1
Make My Life Complete Part 2
Make My Life Complete Part 3
Make My Life Complete Part 4
Make My Life Complete Part 5
Make My Life Complete Part 6
Make My Life Complete Part 7
Make My Life Complete Part 8
Make My Life Complete Part 9 (Last)

No comments: