PENGUCAPAN SYUKUR
Suhu udara
saat malam di sini begitu dingin, siang pun panasnya tidak begitu menyengat.
Setidaknya Elsa tak memerlukan kipas angin ataupun AC untuk menyejukkan diri.
Malam itu Oma, Mama, dan Tante Elsa, seperti mengatur
daftar untuk makanan. Di ruang makan sekaligus
menjadi tempat untuk menonton tv.
“Setidaknya kita perlu 10 kilo daging. Kita tidak bisa
memperkirakan berapa banyak orang yang akan datang nanti.” Kata Mama Elsa.
Elsa mulai mendekati mereka.
“Ya, 10 kilo daging, di tambah
dengan sayur, dan bumbu-bumbu lainnya. Aku rasa kita harus bekerja keras
besok.” Kata Tante Elsa.
“Tenaga 3 wanita dewasa, dan 2 pria dewasa, di tambah
dengan beberapa anak-anak, pasti bisa. Lagipula kan masih ada Nina, katanya
urusan buah-buahan itu bagian dia.” Sambung Oma Elsa.
“Din, Apa setiap pengucapan syukur kalian sesibuk ini?”
tanya Ibu Elsa.
“Pengucapan kan acara setahun sekali, udah gitu yang
ngadain Pengucapan syukur itu cuma setiap kabupaten. Pasti keluarga-keluarga
yang di luar datangnya di sini.” Jawab tante Elsa
sambil menulis catatan-catatan untuk belanja nanti.
“Acara di hari minggu, minggu kedua, dibulan Juli ini,
tampaknya memang acara yang paling ramai yah. Tampaknya tidak ada acara yang
lebih ramai selain ini di Sulawesi Utara ini?”
“Eith, jangan salah, Natal kan juga jadi acara terbesar
setiap tahun.”
“Tapi Natal tidak akan semacet pengucapan ‘kan?”
“Memang sih, tapi pengucapan tidak terkalahkan dengan
Natal dan Tahun Baru loh.”
“terserah deh. Oh yah, kalian sekolahnya kapan Elsa?”
mengajukan pertanyaan kepada Elsa.
“Senin. Pengucapan syukur itu apa’an sih, Ma?” Elsa duduk
dikursi yang ada dipojok meja.
“ouh.. ehm,, pengucapan syukur itu, acara yang rutin di lakukan
setahun sekali di Sulawesi Utara ini. Memang nggak di laksanakan
secara serentak, Cuma setiap daerah memiliki waktu tersendiri untuk
laksana’in-nya. Oh iya, kalau thanks
giving kamu tahu dong. Yah, itu pengucapan syukur”
“Oh gitu.” Elsa menganggukkan kepalanya, member tanda bahwa ia mengerti.
***
Elsa tak
mengira jika pengucapan
syukur itu benar-benar ramai, kendaraan-kendaraan baik yang beroda
dua maupun beroda empat, tak henti-hentinya melalui jalan raya dengan kemacetan
yang tak pernah di
lihatnya di tempat itu selama ia ada di sana.
Para sanak
saudara dari jauh pun datang dan saling bersalaman, mereka pun sering bertanya
‘anak siapa ini?’ atau ‘Wah, anaknya Diva yah? Hallo, baru kali ini ketemu ya!
Cantik deh...’ mereka tersenyum menatap Elsa, menanyakan berbagai macam hal
seperti ‘Elsa, Umur berapa?’,’Elsa, Kelas berapa?’,’Elsa, Nanti mau masuk di
SMA mana?’. Pertanyaan yang datang berulang kali setiap saudara datang dan
pergi secara bergantian.
Elsa tak
mengira jika akan ada acara seperti ini disini, bahkan dia bisa merasakan
bagaimana hangatnya sebuah keluarga bertemu dan berkumpul bersama karena
Pengucapan Syukur ini, meski dalam waktu yang begitu singkat.
Pengucapan
Syukur hari itu berjalan dengan lancar, bahkan makanan yang di siapkan begitu
banyak, habis karena mereka tak menduga banyaknya sanak saudara yang datang
untuk merayakan pengucapan syukur bersama.
Tak heran
Elsa juga merasa capek, melayani setiap tamu yang datang padahal besoknya Elsa
harus masuk sekolah.
Ya, hari
yang baru lagi akan Elsa hadapi dan harus dihadapi. Entah? Apa Elsa akan
mendapat teman seperti teman-temannya dulu di Jakarta, atau lebih buruk. Yang
pastinya, Elsa harus beradaptasi dengan gedung Sekolah yang baru, sikap
Guru-Guru yang mungkin berbeda, dan mencari teman-teman yang baru.
HARI PERTAMA
“Like this yo Like this
wi araero
heundeureo Like this
Like this
yo Like this
momeul
dollyeo jwa uro Like this
Like this
yo Like this
pado
cheoreom naeryeo ga Like this
Like this
yo Like this
da gati
Stop!...”
Dering
alarm handphone Elsa berbunyi, waktu
menunjukkan pukul 05.30. Elsa selalu menggunakan alarm untuk bangun pagi, ia
memang sulit untuk bangun dari tidur tanpa alarm kecuali di bangunkan, ataupun
tidak tidur sama sekali. Elsa masih lelah dengan Pengucapan Syukur kemarin,
rasanya dia ingin terus berbaring hingga lelah yang ada di tubuhnya hilang.
Dengan mata
yang terasa berat untuk di buka Elsa bangun dari tempat tidurnya. Terlihat
mama Elsa masih tertidur lelap, suasana rumah pun masih sunyi. Sedangkan
hembusan angin pagi yang masuk kedalam rumah begitu dingin. Tampaknya mereka
masih lelah dengan acara yang kemarin. Maklum lah, tamu yang berganti datang
tak henti-hentinya harus di sambut dan di layani.
Elsa
bergegas mempersiapkan segala keperluan untuk hari pertama sekolah-nya. Yah,
saat ini Elsa duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Lulus dari sebuah Sekolah
Menengah Pertama di Jakarta dan s’karang ini Elsa harus memulai bangku SMA di
tempat yang jaraknya di pisahkan oleh lautan.
Seragam
berwarna putih abu-abu dengan dasi yang berwarna abu-abu dan ban OSIS dengan latar cokelat yang di pakainya, Elsa tampak seperti siswa teladan, penampilan
yang rapih dengan rambut yang di ikat ke atas.
Waktu
menunjukkan pukul 06.07, Elsa segera mengambil tas gendongnya yang berwarna coklat
dengan motif kotak-kotak. Segera bergegas menuju kesekolah.
“Nggak
sarapan dulu Sa?” kata tante Elsa, yang saat itu terlihat telah bangun dari
lelap malam yang panjang.
“nggak, Tan.
Entar telat lagi.”
“ya udah
kalau gitu minum deh.”
“Iya...
Yang lain belum bangun ya?” dan meminum segelas teh hangat
“he’e,
iya... kayaknya masih capek karena acara kemarin. Kamu udah punya jajan?”
“oh
gitu’... udah tante. Elsa berangkat dulu yah. Selamat pagi”
“iya,,
pagi” sahut tante Elsa sambil memegang sebuah gelas yang berisi kopi hitam.
Jalan masih
tampak sepi, orang-orang sepertinya masih terlelap atau membereskan keadaaan
dalam rumah mereka, karena adanya pengucapan syukur yang kemarin.
Jarak dari
rumah Elsa kesekolah tidak begitu jauh, bila di tempuh
dengan kendaraan, lima menit tak sampai. Tapi, bila Elsa harus
berjalan, sekitar sepuluh menit bahkan lebih untuk sampai di sekolah barunya,
sebuah SMA Negeri yang berdiri sejak lama, bahkan sempat di duduki oleh Mama
Elsa.
“tepat
waktu... 06.20.. aku harus memacu langkahku jika aku terlambat nantinya. Masih
sepi. Guru juga belum ada yah? Oh udah ada beberapa siswa. Di sini
pake apel gak sih? Upacara dihari senin? Upacara di 17 Agustus? Aishh,
Guru-gurunya galak gak yah?” gumam Elsa sambil menyusuri koridor sekolah menuju
ruang kelasnya yang telah di bagi pada hari sabtu saat semua siswa baru di suruh
berkumpul di sekolah untuk pembagian kelas.
“XI
IPA... Xa... Xb...Xc... oh ini yah?
Kelas-kelasnya mirip sih.. tapi bolehlah, nggak terlalu pojok juga. eh, belum
ada siswa yah?” Elsa berdiri
di depan pintu, melihat ruangan kelasnya yang sunyi “Cari tempat deh. Terlalu belakang? Nggak! Depan Meja guru? Nggak
mau! Sudut kiri atau kanan paling depan? Terlalu ujung! Ini deh, dari kanan aku
ketiga.”
“Selamat
pagi”
Suara yang
lembut,
mengucapkan ucapan salam itu mengagetkan Elsa yang sedang melepaskan tas-nya di atas
meja tempat yang ia pilih.
“pagi”
jawab Elsa ‘okey, dia siswa pertama yang aku temui’ Elsa mem-batin.
“Kelas C
juga yah?” tanya Elsa
“i..iya...”
jawab gadis dengan rambut pendeknya yang sampai di bahu
dengan beberapa gelombang pada rambut bawahnya.
“kalau
gitu, aku Elsa kelas C juga kayak kamu.”
“aku Sinta.
Salam kenal.” Gadis itu mengulurkan tangan kanannya, yang kemudian di salam
oleh Elsa.
“asal SMP
kamu di mana?” tanya Sinta.
“Salah satu
SMP Negeri di Jakarta”
“oh, dari
Jakarta. Terus di sini tinggal ama siapa?”
“di sini
sama
Oma, ada Mama juga sih.. itu Desa yang ada di perampatan. Yang sebelah kanan.”
“oh di situ.
Kenal Vina dong? Aku tinggal di depannya. Maksudku, desa di depan
desa itu.”
“oh.. sorry aku nggak kenal.”
“ya udah.
Kamu duduk ama siapa?”
“...iya, terus tadi malam, udah jam 11 jalanan juga masih
macet...” percakapan dua orang gadis
itu yang mulai memasuki kelas menghentikan sejenak percakapan Elsa dan Sinta.
“jangankan
jalanan macet, tamu mama dan papa aku juga masih ada yang tinggal tau. Padahal
udah jam segitu loh. Eh, Pagi.” Kata salah satu gadis itu lalu mengucapkan
salam.
“Pagi” kata
gadis yang lainnya.
“Pagi..”
Elsa dan Sinta membalas salam kedua gadis itu.
“Sinta
punya teman baru yah! Kenalin aku Vina” gadis dengan rambutnya yang panjang
sampai ke pinggang itu mengulurkan tangannya, dengan senyum yang ramah.
“Elsa” Elsa
menjabat tangan gadis itu, lalu,
“Aku Mouren” gadis yang satunya lagi ikut mengulurkan tangan.
“Elsa...” Elsa menjabat tangan gadis yang rambutnya
sama dengan Vina namun terlihat rambutnya seperti di catok.
“Kamu kelas
sini juga Sin?” tanya Vina
“Iya Vin,
Kamu juga di sini?”
“Cuma
Mouren yang di kelas sini. Kalau aku sih di B. Cuma, karena belum ada siswa aku
ikut Mouren deh.”
“Oh gitu.
Jadi Mouren yang di
sini. Oo ya Elsa, kita duduk bareng aja yah?” Sinta melepaskan tas yang ada di bahunya.
“iya boleh,
aku duduk di sini.” Kata Elsa sambil duduk di tempat
yang telah ia pilih.
“Mouren mau
duduk dimana?” tanya Sinta yang sedang meletakkan tas gendongnya yang berwarna
hitam.
“ di
sebelah kamu sini deh Sin, depan Meja guru juga gak apa.”
“kayaknya
udah ada siswa di kelas sebelah, aku ke sebelah yah. Dah” Vina pergi
menuju Kelas B yang ada di samping kiri kelas C itu.
“itu Vina,
yang aku tanya ke kamu tadi. Orangnya baik loh.”
“iya,
terlihat dari senyumnya, Vina terlihat manis.”
“ye~ asal
kalian, Vina itu ibarat kata ‘diam-diam menyedihkan’ ” Mouren
menyambar percakapan Elsa dan Sinta.
“mulai
deh.. mau gosip yah?” Sinta
menyelah
“Diam-diam
menyakitkan? Maksudnya?” Elsa bingung ‘apaan
sih? Itu peribahasa? Atau apa? Aneh’ batinnya
“iya Vina
diam-diam menyakitkan. Dia itu terlihat baiiiik....bangettt.... Tapi, pas ada
orang yang nggak dia suka, dia pasti bakalan nyindir secara halus tapi
menusuk.” Jelas Mouren
“tapi itu
kan, karena Vina nggak suka kelakuan yang jelek. Tuh kayak kamu tukang gosip.
Oh iya, kamu ‘kan pernah ya di sindir ama Vina, tapi belum
tobat juga.” Kata Sinta
“hehh, iya
sih demi kebaikan, sikap
aku juga sempat berubah pas di sindir
ama Vina. Tapi Sin, gak usah bongkar kejelekkan orang di depan
teman baru dong.”
“iya, maaf” Sinta tersenyum dengan tangan yang
menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah, peace.
Tampak
bibir manis Elsa yang merah tersenyum, merasa lucu akan tindakan kedua teman
barunya itu.
Siswa-siswa
mulai berdatangan, satu persatu dari mereka memperkenalkan diri pada Elsa dan
kurang dari satu jam, Elsa mendapat begitu banyak teman di kelas.
‘yang itu siapa yah? Yang sana...?’
batinnya
“Elsa,
hai!”
“Hai!” Elsa
membalas sapaan gadis sekelasnya itu yang sebelumnya telah berkenalan
dengannya.
‘yang tadi siapa yah? Ini nih kelemahan Elsa,
mengingat wajah, tapi gak ingat nama. Apa’an sih?!’ batin Elsa lagi yang
tak bisa mengingat teman-teman barunya itu.
‘udah deh, nanti juga ingat’ lanjut
batinnya.
“Enci udah
mau masuk tuh” kata Roland yang duduk di ujung kanan Elsa.
“Enci?”
Elsa bertanya-tanya.
Sinta
mendengar kata yang Elsa ucapkan itu dan langsung menatap Elsa.
“Enci! Kamu
nggak tahu yah?”
Elsa
menggelengkan kepala,
menjelaskan bahwa dia tidak tahu apa itu Enci.
“Itu loh! Sebutan
untuk seorang Ibu Guru.” Lanjut Sinta
“oh!
Makasih yah. Maklum di sekolah ku dulu, hanya ada sebutan Ibu atau Ma’am.”
“iya! Kamu
kan masih baru di sini, kalau ada yang nggak kamu ngerti, tanya aja ama aku.”
“makasih
lagi Sin, maklum, aku belum pernah sama sekali tinggal di Sulawei Utara ini.”
“Iya sama
sama.” Sinta tersenyum, dan Elsa hanya membalasnya dengan senyuman.
“Selamat
Pagi.” Kata Ibu guru yang berada di depan kelas itu dengan beberapa buku
ditangannya.
“Selamat
pagi.” Jawab siswa-siswa kelas Xc.
“Perkenalkan
saya Widya Sinta, wali kelas kalian.”
Guru
dengan rambut yang di ikat satu itu mulai memperkenalkan diri, dan merasa heran, karena siswa-siswa tersenyum-senyum ataupun tertawa kecil.
“Kenapa?”
tanya Ibu Widya
heran.
“Nama ibu
sama kayak Sinta” suara seorang siswa lelaki datang dari belakang menjawab
pertanyaan ibu itu. Sinta mengendus, dan tak mengerti kenapa dirinya terasa malu.
“Sinta?
Siapa yang namanya Sinta di sini?” tanya Ibu Widya lagi.
Sinta
mengangkat tangan kanannya,
matanya menatap wajah Ibu Widya dengan kepala yang sedikit tertunduk.
“jadi kamu.
Tenang Sinta, kalian hanya akan memanggil Enci dengan sebutan Enci Widya, kok.”
Guru itu tersenyum.
Sinta
membalas senyum hangat Guru itu
dengan senyuman balik.
“sekarang
untuk pertemuan awal kita, saya ingin kalian memperkenalkan diri, mulai dari
nama dan asal sekolah kalian. Mulai dari yang kanan.” Bu Widya menunjuk pada
Roland.
“Nama saya
Roland Aditya, asal sekolah saya SMP Negeri 1 yang ada di kecamatan
ini.”
“Saya
Vincent dari SMP Negeri 1.”
Tiba
giliran Elsa untuk memperkenalkan diri. Elsa berdiri dari tempat
duduknya, dengan kedua tangannya yang bersandar pada meja.
“Saya
Ofelsa Inori Yesyurun, saya lulusan dari salah satu SMP Negeri di Jakarta.”
Elsa
kembali duduk ke tempatnya
setelah memperkenalkan diri.
“oh. Dari
Jakarta, yah? Tinggal di sini sama siapa?” Tanya Bu
Widya
“Dengan
Oma, tapi Mama juga di
sini.”
“okey,
lanjut...” kata guru itu.
“Saya Sinta
Kurnia, asal SMP Negeri 1.”
“Saya...” Siswa-siswa bergantian memperkenalkan nama
dan asal sekolah mereka. Kebanyakan dari mereka berasal dari SMP yang sama.
Perkenalan
itu berlanjut hingga siswa yang terakhir, Elsa memperhatikan mereka, namun dia
tidak bisa mengingat dengan pasti nama-nama teman sekelasnya. Yang di ingatnya,
rata-rata dari teman sekelasnya yang baru berasal dari SMP yang sama.
“baiklah,
mungkin saya akan mengingat kalian bila kita sering bertemu nanti yah.
Sekarang, bagaimana kalau kita memilih ketua kelas, sekretaris, dan bendahara
kelas? Semua sediakan kertas kecil yah dan tulis nama yang akan kalian
calonkan.”
Terlihat
semua siswa merobek sehelai kertas, dan menjadikannya kecil-kecil, sekitar
4cmx5cm.
“nama yang
memiliki suara terbanyak akan menjadi Ketua kelas dan kedua terbanyak menjadi
wakilnya.” Lanjut Bu Widya.
“Sinta mau
nulis siapa?” Tanya Elsa yang bingung untuk menulis nama siapa, karena Elsa tak
begitu mengenal teman-teman barunya itu.
“Rahasia
dong... Maaf...” Kata Sinta yang tampak tak ingin menunjukkannya pada Elsa.
“Ayolah...
aku nggak begitu kenal mereka, nama mereka saja udah lupa..” Elsa memohon.
“Ya udah,
Aku nulis dia... tuh yang dipojok...” Sinta menunjuk pada tempat
siswa yang dipilihnya.
“Roland?
Okey... aku ikut deh...” Elsa segera mengambil kertas Sobekannya dan menulis nama Roland Aditya.
“dasar...”
“kalau
sudah semua kumpul kertasnya didepan yah... Enci minta bantuan satu orang untuk
menulis dipapan... ada yang mau bantu?” Guru itu mulai berbicara lagi untuk
mengumpulkan kertas suara.
“Mouren
aja, Nci.” teriak beberapa siswa.
“baik, Mouren
tolong bantu Enci.” Bu Widya memanggil Mouren sambil memberikan broadmarker.
“Semua
sudah terkumpul Enci baca satu persatu hingga yang terakhir. Mouren sudah
siap?”
“sudah
Enci.” Kata mouren dengan memegang marker yang telah di buka
tutupnya.
“Roland
Aditya. Roland Aditya. Vincent. Fery. Roland...”
Bu Widya
membaca kertas-kertas kecil itu, hingga mencapai hasil Roland sebagai Ketua
kelas dan Fery sebagai Wakil ketua.
“Selamat
yah Roland dan Fery, kalian harus mengatur kelas dengan baik. Berikutnya, tulis
nama yang akan kalian pilih sebagai Sekretaris dan Bendahara.
Kembali
Elsa hanya mengikuti apa yang di tulis Sinta. Sebagai
Sekretaris Mouren dan sebagai bendahara mereka memilih Iren.
Mouren
memang terpilih jadi Sekretaris dan begitu pula dengan Iren yang menjadi
bendahara kelas. Pilihan Elsa dan Sinta menjadi pengurus Kelas.
“Selamat
buat yang jadi pengurus Kelas Xc, ini adalah tanggung jawab teman-teman untuk
kalian. Mulailah bertanggung jawab dari hal kecil seperti ini. Bila hal kecil
saja kita tidak dapat pertanggung jawabkan, bagaimana dengan hal besar
nantinya. Enci mau kembali lagi ke ruangan guru. Selamat bekerja. Fighting!” Bu
Widya memberikan nasehat kepada mereka dan segera keluar dari pintu kelas.
“Oh ya,
kalian udah tahu kan, setiap ada guru yang masuk atau keluar harus diberi Salam?” Bu Widya kembali
berbicara dari balik pintu.
“Iya Enci.”
Jawab semua siswa.
Roland
bergegas berdiri dari tempat duduknya bermaksud untuk memberi intruksi untuk semua member salam.
“Sudah,
kalau guru yang berikutnya masuk saja baru di beri
salam.” Bu Widya menjulurkan tangan kanannya, memberi intruksi untuk
tidak memberi salam kepada dirinya dan segera pergi.
“Enci baik
yah.” Kata Sinta “terus pilihan kita terpilih lagi.” Lanjutnya “Tapi, paling
awalnya aja baik, pas mau kegiatan belajar mengajar jadi galak. Ah, serem.”
“Guru galak
nggak apa dong, toh itu untuk kebaikan kita.” Kata Elsa sambil memasukan kembali
buku dan pulpennya ke
dalam tas “lagipula, Bu Widya kelihatan memang baik kok. Senyumnya
pun manis.”
“hahahh,
baru ini aku dengar ada siswa yang bilang senyum gurunya manis loh.”
“memang
kok.” Elsa tersenyum.
Suasana yang
tampak akrab itu terlihat seketika, baru beberapa jam Elsa mengenal Sinta, mereka sudah begitu
akrab. Mungkin karena pembawaan Sinta yang mudah untuk bergaul.
Teng... Teng... Teng... Teng... Teng...
“Eh, udah
lonceng panjang? Ini pulang?” kata Sinta dengan terkejut.
“Kayaknya.
Tuh, ada Mner yang mau kasih penyampaian. Kayaknya.” Kata Roland yang berdiri
di samping pintu sambil melihat keluar.
“Hari pertama kalian di sekolah
begitu singkat di karenakan ada suatu dan lain hal. Jadi,
untuk semua siswa di harapkan kembali ke rumah masing-masing, dan jangan sampai ada yang singgah di tempat lain atau mencari keributan.” Seorang Guru lelaki
memberi penyampaian.
“Beneran
pulang?” Kata Roland.
“Ayo semuanya pulang.” Lanjutnya.
Elsa
mengambil tasnya dan menuju ke luar pintu.
“Elsa
pulang bareng yuk. Kan kita searah pulangnya. Yah, walaupun nanti kamu bakal
jalan sendiri lagi sih. Tapi setengah perjalanan bisa dong.” Ajak Sinta.
“Boleh
kok.” Elsa menyambut baik ajakan Sinta.
“Roland
cepat dong.” Sinta memanggil
Roland yang tampak masih menutup tasnya
“Eh, Roland
juga?”
“Iya,
Roland sering pulang bareng sama aku, dari SMP juga gitu.”
“Udah kok
Sin, ayo pulang.” Roland berkata sambil menggendong tas berwarna hitamnya.
Mereka
berjalan bersama, Elsa melihat keakraban Sinta dan Roland.
“oh yah.
Roland juga dari Jakarta loh sama kayak kamu Elsa.” Kata Sinta sambil memegang
pundak kiri Elsa.
“masa?
Terus kenapa jadi ada di sini?”
“aku pindah
sejak kelas 3 SMP karena papa yang pindah tugas.”
“oh ya? Aku
pindah karena mama dan papa ingin balik ke sini.
Katanya karena tempat kelahiran mereka, udah gitu semua keluarga juga di sini. Katanya juga sih, biar nggak jauh ama
keluarga.”
“tapi kamu
ngerasain-nya ‘kan?”
Roland mulai bertanya.
“Rasa-in?
Rasa-in apa?” wajah Elsa
tampak bingung dengan pertanyaan Roland.
“perbedaannya.” Roland berkat lagi, sedikit menjelaskan
akan pertanyaannya.
Tapi,
Elsa masih bingung dan menggelengkan kepala menunjukkan tanda ia belum mengerti
“hahh?”
“iya,
perbedaan Jakarta dengan tempat ini. Pas aku di Jakarta yah Elsa, udah coba
berbagai cara, dari bangun dan berangkat pagi banget, pakai sepeda, kendaraan
umum, sama aja kayak pakai mobil pribadi, tetep terlambat.” Roland mulai menjawab akan pertanyaan yang
di ajukannya sendiri.
“hahaha..
iya juga sih, udah gitu pas pulang sekolah kan yah? Udah macet, panasnya minta
ampun lagi.” Elsa mulai
mengerti dengan pertanyaan yang di ajukan Roland sebelumnya.
“iya bener.
Tapi, kalau disini, aku nggak perlu bela-belain bangun pagi loh. Jadi nggak
ngantuk disekolah.”
“iya..
iya.. aku juga sering ngantuk loh karena seringnya tidur larut karena tugas,
nggak nyampe delapan jam tidur ech udah bangun. Haduh..” Elsa tampak menikmati percakapan itu.
“tapi,
kalau lagi tidur-tiduran di kamar, aku jadi rindu ama
Jakarta loh.”
“Jangankan
kamu, aku aja yang belum seminggu, udah kangen berat ama Jakarta.”
“Ehemm...
Aku tahu yah kalian dari Jakarta, tapi jangan nyuekin aku dong.” Kata Sinta
yang agak kesal karena seperti
tak di anggap oleh Elsa dan Roland yang pernah tinggal di Kota
yang sama.
“maaf Sin,
kan aku udah nggak pernah ketemu ama orang jakarta.” Kata Roland “udah hampir setahun
loh..”
“Maaf
Sinta...” Elsa memohon maaf.
“Udah nggak
apa. Tapi kayaknya aku bakalan jadi orang Jakarta juga!”
Elsa dan
Roland heran akan pernyataan
Sinta.
“Iya, kalau
setiap hari aku berbincang sama kalian berdua, bisa-bisa bahasa Manado jadi lupa tahu.” Lanjut
Sinta
“oh iya,
tapi kok tadi banyak yang pakai bahasa Indonesia gitu?” tanya Elsa.
“kalau itu,
Sekolah mengedepankan perbincangan dalam Bahasa Indonesia, dengar-dengar sih
sejak pergantian Kepsek setahun yang lalu. Katanya, biar Siswa SMA Negeri kayak
kita bisa berbahasa Indonesia dengan baik. Tapi kamu dengarkan cara mereka
bicara, masih hancur loh.” Jelas Sinta.
“ah iya, tapi
mereka kan masih mau belajar lagi Sin.” Kata Roland.
“Memang yah
cara bicara mereka masih kacau. Tapi kok kamu enggak Sinta?” Tanya Elsa.
“Sejak setahun yang lalu beta sering
berbicara sama sih Roland dengan Bahasa Indonesia. Sampai sekarang Beta sudah
bisa berbahasa Indonesia walau masih sedikit hancur juga.” Sinta berkata
dengan logat Ambon.
“Lebaynya
Sinta kambuh.” Kata Roland yang menarik Elsa berjalan cepat mencoba
meninggalkan Sinta. “Mending kita cepetan, dari pada dengar ke-alay-annya seorang Sinta Kurnia.”
“Ech
tunggu.” Sinta mencoba mengejar dengan langkah yang cepat, namun belum sempat mengejar Roland dan Elsa.
“Sinta tunggu...” suara seorang gadis
memanggil Sinta. Sinta berhenti mencoba melihat siapa yang memanggilnya.
“oh,
Mouren..” kata Sinta ketika melihat sosok gadis yang memanggilnya adalah
Mouren.
Elsa dan
Roland yang juga mendengar panggilan Mouren itu berhenti, mencoba untuk
menunggu Sinta agar berjalan bersama kembali.
“Kalian
jalan aja, aku bareng ama Mouren, nanti kita ketemu di belokan yah, Land.” Kata
Sinta yang saat ini bersama berjalan Mouren dan mulai berbincang.
“Okey
Sin...” Roland mulai berjalan bersama Elsa, menunjukkan jempol kanannya.
“Sinta
nggak apa-apa di belakang? Bukannya di ajak aja biar bareng gitu,
ama Mouren juga.”
Elsa menunjuk ke belakang dengan jari telunjuk kanannya.
“Kamu belum
tahu Mouren aja, kalau dia udah mau cerita sesuatu ama Sinta, walaupun nggak
penting yah, dia nggak mau orang lain dengar.”
“Ouh, tapi
jujur loh. Pas baru sampai di sini, apalagi sekolah di sini,
aku kira kalian tuh pada rese yah...”
Roland
membuka matanya lebar, menatap Elsa “cari masalah nih Elsa.”
“belum
selesai ngomong. Tapi, pas ketemu kalian, kalian itu beda. Menyenangkan, ramah,
padahal baru ketemu. Tapi mungkin karena masih awal aja kali yah?” Elsa mencoba meluruskan kesalahpahaman
kecil yang terjadi.
“tenang aja
mereka nggak akan berubah kok. Sebagaimana yang kamu lihat keadaan, kelakuan
mereka hari ini, kamu juga akan tetap menemuinya besok, lusa, minggu depan,
bulan depan, sampai saat kamu balik lagi ke Jakarta atau pergi kemana pun dan
kembali lagi di sini. Mereka nggak akan berubah. Aku juga dulunya gitu. Malah,
aku pikir kalau mereka itu ketinggalan zaman loh. Tapi pas ketemu, mereka beda
dengan teman-teman aku yang di Jakarta dulu, hidup dengan kemewahan, manja,
malah ada yang pilih-pilih teman.”
“Aku
terlalu takut...”
terlihat Elsa sedikit menundukkan kepalanya.
“Roland
tunggu. Udah yah, Ren nanti lanjut besok. Dah Elsa, sampai
jumpa. Kamu bisa bareng ama Mouren walau Cuma di perampatan juga sih. Dah.” Sinta menyambar Roland dan langsung menariknya menuju
jalan pulang.
“Ech
tunggu, kayaknya belum... ah sudahlah.” Kata Roland yang penasaran mendengar
kata Elsa tadi. ‘Aku terlalu takut... Apa yang dia takuti?’ batin Roland.
“Elsa pulang bareng yuk, walaupun hanya sampai diperampatan situ sih.” Ajak Mouren
“Ayo.
Emangnya kamu tinggal dimana Mouren?”
“kalau mau
ketempat tinggal aku, kamu harus naik mobil. Karena agak jauh.”
“oh gitu.” Elsa menganggukan kepalanya, dengan
pandangan yang berada di depan.
“ah itu
udah ada mobil, duluan yah Elsa, bye.”
Elsa
mengangkat tangan kanannya, tidak begitu tinggi dan melambaikkannya pada Mouren
yang naik mikrolet berwarna biru langit.
Berjalan
sendiri menyusuri jalan pulangnya. Elsa mulai merasa senang dan sedikit
melupakan hiruk pikuk Jakarta. Elsa merasa senang dengan teman-teman barunya.
Candaan mereka, keramahan, cara mereka menolongnya walau dalam hal kecil,
begitu Elsa rasakan. Tak pernah lagi Elsa merasakan hal ini sejak kepergian
Dita, teman semasa SMP-nya yang pergi meninggalkan Elsa terlebih dahulu akibat
kecelakaan.
“Aku
pulang.” Kata Elsa yang telah tiba di rumahnya.
“eoh,
pulangnya cepat? Bolos yah? Ini masih jam sembilan kok udah pulang” kata Mama heran.
“Katanya
ada sesuatu, makanya siswa di pulanginnya cepat. Nggak
mungkinlah Elsa bolos.” Elsa pergi menuju kamar melepas tas dan sepatunya dan
berbaring sejenak di tempat tidur.
“Elsa.
Besok-besok kalau pulang sekolah ucapin Selamat siang aja. Okey.” Kata mama
Elsa dari ruang tamu, “cepat ganti baju terus makan deh.”
“okey Ma.
Entar deh, sekalian
makannya pas makan siang aja.”
Berbaring
menatap langit-langit kamarnya
yang berwarna putih polos, Elsa
mengingat akan hari pertama dia dan Dita bertemu saat di sekolah.
Make My Life Complete Sinopsis
Make My Life Complete Part 1
Make My Life Complete Part 2
Make My Life Complete Part 3
Make My Life Complete Part 4
Make My Life Complete Part 5
Make My Life Complete Part 6
Make My Life Complete Part 7
Make My Life Complete Part 8
Make My Life Complete Part 9 (Last)
No comments:
Post a Comment