Thursday, 18 December 2014

Make My Life Complete: Part 4

 

17 AGUSTUS
            Tak terasa ini sudah awal Agustus, satu bulan hampir berlalu sejak Elsa datang dan bersekolah ditempat ini. Roland dan Sinta menjadi teman baik Elsa. Mereka sering pulang bersama, belajar bersama, bahkan saat di sekolah mereka sering bersama terus.
            “Teman-teman empat belas hari lagi kan 17 Agustus? Ini ada daftar lomba antar kelas yang harus kita ikuti.” Kata Roland yang berdiri di depan kelas sambil memegang selembar kertas.
            “terus, setiap sore kita juga datang kesekolah untuk pembuatan pagar mini sekaligus menghias kelas.” Lanjut ketua kelas itu. “Bendahara, gimana kondisi keuangan kelas?”
            “Bolehlah, hanya beberapa yang harus di ganti baru. Yang lainnya masih bisa di pakai, jadi uangnya boleh.” Kata Iren sambil membuka buku keuangan kelas.
            “okey jadi sebentar sore kita balik lagi yah. Dan yang ambil bagian dalam lomba juga mohon persipannya.” Roland memohon
            “iya~” serentak kelas menjawab.
            “setiap tujuhbelas-an disini selalu ada kegiatan seperti ini?” tanya Elsa
            “Kurang tahulah, Sa. Kan ini tujuhbelas-an pertama kita di SMA.” Roland menjawab sambil mendekati meja Elsa dan Sinta.
            “kayak dapat tambahan jam disekolah yah? Kita harus datang lagi sore nanti.” Sinta menambahkan.
            “Bedalah Sin, toh ini kita santai.” Roland menyelah
            “Iya sih..” kata Sinta “Ayo pulang kan mau balik kesekolah lagi.”
            Mereka mengambil tas dan berjalan pulang bersama. Dan seperti biasa berpisah di belokkan. Dimana Elsa harus berjalan sendiri untuk tiba dirumahnya.
***
            Banyak siswa yang kembali kesekolah sore itu. Ada yang terlihat mulai bekerja, ada yang mulai memotong banbu menjadi bagian-bagian yang pas untuk pembuatan pagar mini, ada yang bolak-balik dengan sepeda motor untuk membeli bahan yang diperlukan untuk menghias kelas.
            “Lagi? Kenapa kelas ini begitu malas? Ini sudah pukul tiga sore tapi kenapa belum ada yang datang?” kata Elsa ketika berada didepan kelas dan melihat kelasnya yang masih kosong.
            “Wah! Ada yang cari masalah, nih? Udah ada yang datang tahu.” Seorang cowok muncul dari pintu belakang kelas, pintu itu terhubung dengan kelas Xd yang ada di sebelah kanan itu.
            “Roland! Ya, harusnya orang-orang datang tepat waktu lah.” Elsa mengambil kursi yang ada disampingnya lalu duduk disitu.
            “Kamu kayak nggak tahu aja? Disini ada istilah ‘jam karet’.” Roland duduk disamping Elsa.
            Mereka duduk menghadap keluar pintu sembari melihat siswa yang ada diluar sibuk mengerjakan bambu untuk pagar mini.
            “Jam karet? Nih, aku pakai jam karet.” Elsa menunjukkan jam tangannya dengan pergelangan jam yang berkaret.
            “Bukan itu Sa. Maksudnya jam karet, waktu disini kayak di ulur gitu, makanya jadi lama.” Roland menjelaskan.
            “Oh menyi-nyiakan waktu gitu?!”
            “yup. Tapi nggak semua yang menyia-nyiakan waktu.”
            “iya juga sih.”
            “ehm Sa, ingat waktu hari pertama kita sekolah?”
            Elsa menganggukan kepala.
            “Pas pulang...”
            Elsa menatap Roland mencoba menanggapi apa yang akan dikatakan oleh Roland.
            “yang kamu bilang kalau kamu terlalu takut..”
            “nggak penting, Land.”
            “Tapi kamu kayak nyimpan sesuatu pas ngomong gitu Sa. Kayak takut sesuatu terjadi, atau apa gitu?”
            “Bukan nyimpan sesuatu Land. Tapi entah kenapa aku terlalu takut punya teman yang dekat banget, terus nanti akan ninggalin aku.”
            “Tapi, ternyata enggak ‘kan? Kita masih ada bersama kamu Elsa.”
            “Untuk saat ini iya. Kan belum sebulan kita kenal, mungkin untuk beberapa waktu ke depan?”
            “Sa, kita teman, dan selamanya akan jadi teman. Teman itu nggak akan pernah ninggalin kita, sejahat apapun seorang teman dia nggak akan ninggalin kita.”
            Elsa hanya terdiam mendengar ucapan Roland.
            “Cieh.. cieh.. berdua’an yah. Awas bahaya loh.” Vincent datang bersama Fery menghampiri Roland dan Elsa.
            “Udah, sekarang kita langsung kerja. Bambu punya kelas kita dimana? Kita harus cepat kerjanya, tuh kelas yang lain udah mulai pasang pagar mini-nya.”
            “Tuh, Roland ada di sana. Depan kelas Xa.” Fery berkata sambil mengeluarkan palu dan paku-paku yang di bawahnya.
            “Elsa, kamu di kelas aja, tunggu Sinta ama cewek yang lainnya datang.” Kata Roland lalu pergi bersama Fery dan Vincent mengambil bambu untuk dikerjakan.
            Elsa mengangguk ‘susah Land, menceritakan masa lalu dari seorang sahabat.’ Batin Elsa.
            Palu yang diketuk-ketukan, diangkat keatas kebawah, suara palu yang mengetuk paku itu begitu terdengar di telinga Elsa. Kebersamaan tiga cowok yang bekerja sama untuk pembuatan pagar itu, membuat Elsa mengerti bagaimana mereka disini kompak dan selalu bersama. Elsa selalu berharap agar ketakutan di tinggalkan dan dijauhi oleh teman-temannya itu tidak terjadi, seperti yang di katakan Roland.
***
            Elsa telah bersiap dengan dasi dan seragamnya yang rapih, dengan rambut yang di urai, dia berpenampilan seperti itu untuk upacara tujuhbelas-an. Yah, sekarang tujuh belas agustus, hari dimana seluruh pelosok negeri Indonesia memperingati sebagai hari dimana Indonesia bebas dari penjajahan yang menyusahkan masyarakatnya.
            “Ech, pohon pinang?” Elsa terkejut ketika melihat pohon pinang yang telah diolesi oli dan digantung beberapa hadiah dipuncaknya berada tepat didepan rumahnya.
            “Baru lihat yah? Udah dipasang dari kemarin sore kok.” Kata oma Elsa.
            “Elsa nggak lihat oma, kan kemarin Elsa pulang malam.”
            “Oh betul, sarapan dulu sana, kan sebentar upacara pasti panas-panasan, takutnya kamu nggak kuat terus pingsan.”
            “Elsa nggak bakal pingsan oma, Elsa ‘kan kuat.”
            “tapi tetap harus sarapan, ayuk.”
            “Iya oma.” Elsa menuju tempat makan dan mengambil beberapa leper nasi dan lauk dengan susu rasa vanila yang berada disampingnya.
            “Yang mau antar aku siapa, Ma.” Mama Elsa keluar dari kamar dengan pakaian yang rapih serta koper baju dan make up diwajahnya.
            “Dina sama Anton. Cepat nanti kamu ketinggalan pesawat.” Kata oma Elsa.
            “Wah Mama! Mama mau kemana?” Elsa melepas sendok yang dipegangnya segera mendekati mama-nya.
            “Mau balik ke Jakarta Sa. Kan papa kamu belum datang juga kesini.”
            “Terus kapan balik lagi kesini? Terus Elsa juga gimana, Ma?”
            “Lihat keadaan nanti dong Sa, dan kamu tetap harus sekolah disini. Lagian mama sebenarnya mau berangkat besok, tapi ada sedikit urusan di kota Manado. Mama pergi dulu ya Sa.” Diva segera menarik kopernya menuju kemobil yang telah menunggunya didepan rumah.
            “Mama!” Elsa mencoba memanggil namun mobil itu segera melaju.
            “Aku pergi berangkat kesekolah juga deh. Pagi!” kata Elsa dengan penuh kekesalan.
            “Sarapannya nggak dihabisin Elsa?” Oma Elsa mencoba pula untuk memanggil, namun Elsa terlanjur berjalan menuju sekolah.
            “Tega ya Mama! Masa aku ditinggal sama Oma dan Opa.” Runtuk Elsa yang kesal.
            “Elsa!” seseorang terdengar memanggil Elsa.
            “Ech Vina!”
            “Tujuhbelas Agustus harus semangat dong. Jangan murung gitu.” Vina mencoba member semangat ketika melihat Elsa yang murung.
            “gimana nggak murung Vin. Mama aku mau balik ke Jakarta, terus aku-nya ditinggal disini.”
            “Kan nanti balik lagi kan? Nggak mungkin ninggalin kamu terus disini.”
            “iya sih. Tapi Mama mendadak bilangnya, makanya aku kesal.”
            “Ya udahlah, tujuhbelas-an begini harus semangat dong.”
            Elsa tersenyum “Ngomong-ngomong kita mau upacara dimana?”
            “Kamu tahu sekolah swasta yang ada didekat sini?”
            “Tahu? Tapi bukannya harus pakai mobil, ya?”
            “Iya pakai mobil sih, tapi disana upacara selalu dilaksana-in setiap tahunnya.”
            “Ouh, penasaran juga sama upacara tujuhbelas-an kalian.”
            “Kalau aku sih, Sa. Lebih senang pas mau pengibaran bendera merah putih, prosesi Paskibra-nya keren.”
            “Dimana-mana Paskibra itu keren lah. Aku juga gitu, paling berasa banget tujuhbelas-an kalau lihat mereka.” Elsa seperti melupakan hal yang terjadi pagi itu “Itu Roland dan Sinta, bareng sama mereka yuk.” Elsa menarik lengan Vina.
            “Mereka seperti mentega dan roti. Nggak bisa dipisahin.” Kata Vina melihat Roland dan Sinta.
            “Namanya juga teman. Cepat dong Vin. Katanya harus semangat tujuhbelas-an.”
            “Kalian berdua bisa menjauh sedikit nggak?” teriak Vina sedangkan Elsa masih berusaha menyeretnya agar lebih cepat lagi mendekati Roland dan Sinta.
            “menjauh gimana?” tanya Sinta heran sambil menghampiri Vina yang masih diseret Elsa, sedangkan Roland tetap diam ditempat dia berhenti.
            “Seperti ini.” Vina berhenti mencoba melepaskan genggaman Elsa “Kamu nggak perlu nyeret aku lagi kan Sa, nanti kamu capek. Ayo Land kita jalan, semangat tujuh-belas Agustus.” Vina melanjutkan jalannya dan berjalan bersama Roland, kali ini seperti Vina yang menyeret Roland.
            Elsa terdiam berdiri disamping Sinta dan hanya melihat dua punggung itu berjalan didepan mereka.
            “Dia aneh kan, Sa? Mouren memang benar, Vina susah ditebak. Ayo jalan Sa.” Pandangan Sinta masih menatap punggung dua orang itu.
            Elsa segera mengikuti langkah Sinta, berjalan disampingnya dan mengikuti Roland dan Vina yang berjalan didepan.
            “Udah ya Land, aku bareng teman kelas aku.” Vina segera berlari meninggalkan Roland. Elsa dan Sinta menatap heran tingkah laku Vina yang tidak bisa di duga.
            “Benar kan Sa, dia aneh.” Cetus Sinta lagi dengan mata yang terus melihat Vina.
            “Sudah apel, cepat kalian.” Kata Roland yang mulai berjalan cepat meninggalkan Elsa dan Sinta.
            Apel pagi itu dilakukan untuk mengumpulkan siswa sebelum pergi menuju ke tempat Upacara sekalian mencatat absen siapa saja yang hadir disekolah. Sekalipun ditempat berlangsungnya upacara nanti akan dilakukan pengambilan absen lagi untuk setiap kelas.
            Semua siswa berjalan serentak bersama menuju perampatan jalan atau yang bisa dikatakan sebagai jalan raya sebelum menuju ke tempat upacara, perjalanannya kurang dari lima menit namun harus menggunakan mobil.
Mobil-mobil mikrolet itu berjejer di perampatan, menantikan siswa-siswa yang akan menaiki mikrolet mereka.
            Tempat upacara itu telah ramai dengan siswa-siswa baik dari kalangan Taman Kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, ataupun sekolah menengah atas. Elsa tiba bersama Sinta dan Roland juga ada beberapa siswa yang lain.
            ‘Ini upacara tujuhbelasan ku yang pertama’ batinnya yang terkagum melihat sekolah swasta itu ramai dengan siswa-siswa yang masih mondar-mandir, ada yang sedang membeli minum agar ketika upacara nanti mereka tidak harus mencari-cari minuman, ada pula yang sekedar berjalan menunggu waktu upacara di mulai..
            “Elsa ayo kita ke barisan.” Sinta menarik tangan Elsa.
            Siswa SMA Negeri 1 mengambil barisan, matahari pagi yang bersinar itu begitu menyengat. Waktu menunjukkan pukul 09.30 namun upacara belum juga dimulai. Siswa SMA Negeri 1 tampak rapih dengan seragam mereka, selain seragam yang digunakan lengkap, atribut sekolah berupa logo sekolah yang ada di lengan kiri baju dan nama sekolah beserta kelas berada di samping kanan baju, menambah kecantikkan pada seragam mereka.
            “Mereka datang.” Kata Fery yang berada di barisan kedua tepat disamping Elsa.
            Elsa mencoba melihat apa dan siapa yang dikatakan Fery telah datang “Mereka?” gumamnya.
            “Siswa SMA swasta disini. Mereka ‘kan tuan rumah, kenapa datang begitu terlambat. Sejauh apa sih lapangan ini dengan kelas-kelas mereka. Lihat, Pakaian kita tampak lebih rapih dari mereka.” Sinta menatap sinis saat siswa SMA Swasta itu memasuki lapangan.
            “SMA Swasta? Aku kira mereka punya seragam yang beda dari kita, ternyata sama aja.” Ucap Elsa
            “Yang membedakan kita dengan mereka itu Cuma ketenaran dari sekolahnya saja. Sama kelebihan dari sekolah mereka; fasilitas yang lengkap, guru yang menekankan akan bahasa Inggris; itu aja sih.” Roland melihat pada Elsa dengan sedikit penjelasan yang di katakan.
            Elsa menganggukan kepalanya namun matanya tetap tertuju pada siswa-siswa SMA Swasta itu, hingga ketika MC upacara berbicara membuat Sinta dan yang lainnya fokus pada Upacara.
            Barisan Paskibra yang keluar dengan seragam berwarna putih dan topi dikepalanya itu, dengan variasinya, begitu menarik perhatian semua orang. Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R Soepratman itu dikumandangkan ketika tiga penggerek bendera mulai menaikkan bendera. Mereka tampak tenang,hingga lagu berakhir dan sang Merah Putih berada di puncak tiang tertinggi. Kibaran bendera dibantu oleh angin, tampak seperti api yang menyala-nyala, berkobar membakar langit dengan warnah Merahnya, dan menjadi awan baru dengan warna putihnya.
Mungkin begitu pula para Pahlawan Indonesia dahulu yang memiliki semangat yang berkobar untuk memerdekakan Negeri tercinta Republik Indonesia. Hanya satu yang belum di Merdeka-kan oleh Indonesia ‘Korupsi’. Indonesia belum bisa merdeka dengan adanya korupsi bila tidak adanya tanggung jawab dari setiap warga dan pemimpinnya.
            Upacara yang berakhir dengan ditutup doa itu masih menyisahkan panasnya terik matahari. Semua orang, baik siswa maupun pegawai negeri telah bubar dan beberapa mencari minuman untuk menyejukkan dahaga dan tubuh. Sementara yang lain mempersiapkan diri untuk mengikuti pawai tujuhbelas-an.
            “Land, cari minum yuk?” Sinta mengajak Roland yang saat itu tampak begitu berkeringat.
            “Iya deh, Elsa kamu tunggu sini yah, kita mau beli minum. Kamu mau beli apa.” Tanya Roland
            “Air mineral aja. Tapi cepat yah, aku sendiri nih.” Elsa menunggu dibawah pohon, bersandar pada batang pohon kelapa.
            “tunggu ya Sa.” Teriak Sinta.
            Elsa mengeluarkan handphonenya, mencoba mengaktifkannya dan melihat apa ada kabar dari Mama-nya yang mungkin sekarang berada di Kota Manado. Elsa tak menyadari bila sepasang bola mata memperhatikan Elsa sejak upacara dimulai tadi.
Mata itu terus memperhatikannya seolah mencari tahu siapa dia? Dimana dia tinggal? Apa kita bisa berteman? Lokasi dan logo sekolah yang berada di kedua lengan baju Elsa, membuat pemilik kedua bola mata itu tahu satu hal, bahwa Elsa berasal dari SMA Negeri 1 tak jauh dari SMA Swasta itu.
            “Elsa. Ini minumnya, kita pulang yuk, lihat pawainya di pinggir jalan aja.” Sinta memberikan Elsa sebotol air mineral.
            “makasih yah. Jadi nge-repotin.” Elsa sedikit mengangkat botol itu.”ayo, nanti kita susah dapat tempat buat nonton lagi.” Lanjutnya.
            Ingin rasanya pemilik kedua mata itu mengikuti arah langkah kaki Elsa, gadis yang diperhatikannya sedari tadi.
***
            “Oh, apa nggak ada petunjuk lain, hah? Siapa sih kamu?” kata Azar yang terus memegang handphonenya dan berbaring di kasur.
            “Coba tadi kalau langsung tanya siapa dia, terus minta nomor handphonenya, paling nggak nama Facebooknya lah. Tapi, masa ia? Dia mau ngasih nomor sama orang yang nggak dikenal. Eleazar ngaco!” lanjutnya.
            “eoh, Randy Timoty berteman dengan Ofelsa Inori Yesyurun.”gumamnya ketika diberanda facebook-nya muncul nama Randy yang sepertinya memiliki teman baru di facebook.
            “Randy... Randy... nyari teman gak kelar-kelar juga yah?” Azar menggerakkan tombol kebawah, mencoba melihat berita diberandanya yang lain. Sebuah foto tampak muncul dibawah berita Randy memiliki teman baru. Wajah yang tampak tak asing bagi Azar.
            Segera Azar meng-klik nama itu, mencoba melihat profil dari teman facebook baru Randy. “SMA Negeri Satuu... Co..cok.” Gumam Azar “Okey, segera di konfir yah, tambahkan sebagai teman” lanjut Azar.
            Sedikit rasa senang ada dalam hati Azar, perlahan namun pasti Azar pasti akan menemukan gadis itu Ofelsa Inori Yesyurun batin Azar.
            Azar menantikan pertemuan berikutnya dengan gadis itu. Entah kenapa baru melihat gadis itu di upacara Azar begitu ingin menjadi dekat dengannya. Apalagi setelah melihat gadis itu tersenyum, dia bertambah begitu manis bagi Azar. Tak hanya bibirnya yang tersenyum, namun matanya pun ikut tersenyum. Bagi Azar tak ada senyum seperti itu yang pernah dilihatnya.
            Ya Tuhan, cepat pertemukan aku dengan dia Pinta Azar dalam doanya menjelang tidur.
 


Make My Life Complete Sinopsis
Make My Life Complete Part 1
Make My Life Complete Part 2
Make My Life Complete Part 3
Make My Life Complete Part 4
Make My Life Complete Part 5
Make My Life Complete Part 6
Make My Life Complete Part 7
Make My Life Complete Part 8
Make My Life Complete Part 9 (Last)

No comments: