Thursday, 18 December 2014

Make My Life Complete: Part 6






 
BUKIT KASIH
            Tiga puluh sembilan hari lagi, dan tahun akan berakhir dan memasuki tahun yang baru. Artinya ini adalah hari-hari terakhir dibulan November, Artinya juga Azar sering menemani Elsa untuk pergi kesekolah dihari sabtu.
            “Sa, kita kebukit kasih yuk? Sebentar lagi kan ujian semester, refreshing gitu.” Ajak Azar.
“Bukit kasih? Aku cuma pernah dengar, tapi belum pernah pergi kesana. Boleh juga, tapi panggil teman-teman yah. Biar rame.”
            “eoh, teman yah? Iya sekalian aja, aku juga mau ngajak Randy juga.”
           “Aku mau ngajak Roland sama Sinta, boleh kan?” Elsa bertanya, meminta izin agar kedua temannya bisa ikut.
            “Kenalin sama aku yah, aku mau kenal mereka.”
            “Okey. Mereka pasti senang.”
            “sepulang sekolah, kita langsung berangkat, setelah ganti pakaian yah.”
            “Iya, aku masuk ke dalam sekolah dulu yah. Sampai jumpa sebentar, Azar.”
Azar melambaikan tangannya, dan seperti biasa kembali menuju mobil yang diparkir dibelokkan sekolah.
“Sinta. Roland.” Baru memasuki gerbang sekolah, Elsa melihat sosok Sinta dan Roland yang berjalan bersama.
“Pulang sekolah ke Bukit Kasih mau?” Elsa merangkul kedua teman dekatnya itu.
“Pergi mau sih, Sa. Tapi pakai apa? Jalan kaki?” Roland tersenyum, mempertanyakan dengan apa mereka akan pergi ke Bukit Kasih.
Untuk menuju ke Bukit Kasih, harus menggunakan kendaraan. Ditempuh dengan berjalan kaki memang bisa, tapi kaki mungkin tidak bisa kompromi untuk perjalanan sekitar limabelas menit lebih itu bila ditempuh dengan kendaraan.
“Ah benar. Dia hanya mengajak tapi, nggak bilang pergi pakai apa? Nanti aku coba SMS deh.”
“Dia? Dia siapa?” Sinta bingung.
“Aku tahu. Pasti yang jalan kesekolah sama Elsa sabtu lalu?” Roland menebak, karena merasa orang itulah yang mengajak ke bukit kasih.
“Aku pernah lihat juga. Elsa dekat banget sama dia, atau mungkin dia...?” Sinta menambahkan
“Jangan mikir yang aneh-aneh. Kalian berdua dan dia itu sama-sama teman aku, nggak ada yang lain selain teman.”
“Iya Sin, jangan langsung memperkirakan.” Roland menyelah dan berjalan cepat didepan Sinta dan Elsa.
“Tapi Roland mau pergi bareng kita nanti kan?” Elsa bertanya dengan sedikit berteriak.
Roland tetap berjalan menuju kelas, mengangkat sejenak tangan kanannya dan kemudian memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana.
“Apa dia mau pergi?” gumam Elsa
“Roland pasti pergi. tapi Roland sedikit ngambek tuh.” Sinta mencoba menjawab gumam Elsa “Ayo cepat kita ke kelas, sebentar lagi mau Apel.” Lanjut Shinta.
Di hari sabtu seperti ini pun beberapa siswa masih terlihat terlambat, namun mereka yang terlambat lolos dari pengawasan guru. Sebenarnya, bukan lolos dari pengawasan guru. Hanya saja, sabtu pagi itu setelah apel semua siswa membersihkan lingkungan sekolah. Jelas saja, mereka yang terlambat tak dihiraukan oleh guru maupun pengurus OSIS yang harusnya bertugas.
“Roland, jadi mau pergi sebentar kan?” Elsa mencoba terus bertanya pada Roland.
Siswa-siswa tampak sibuk bekerja di luar kelas. Ada yang mencangkul, ada yang bolak-balik membawa sampah rumput liar untuk dibuang, bahkan ada yang hanya asik bercengkrama. Sedangkan guru-guru mengawasi siswa-siswa saat bekerja. Elsa yang saat itu membersihkan rumput-rumput kecil yang ada dipinggiran selokan kecil sekolah tepat menghadap pada Roland yang saat itu mencangkul rumput liar yang ada disekitar pagar mini.
Tanpa alasan yang jelas, Elsa merasa bila mood Roland sedang buruk. Tapi Elsa ingin agar Roland juga ikut atau bisa dikatakan seperti bertamasya ke Bukit Kasih.
Roland masih tetap mencangkul, seperti tak menghiraukan Elsa. Elsa yang mulai kesal karena tak dihiraukan, segera berdiri dari tempatnya membersihkan rumput mencoba menahan gagang cangkul yang sedang digunakan Roland.
“Kalau ditanya jawab dong.” Elsa memegang gagang cangkul itu dan berkata dengan nada yang cukup tinggi, mencoba menekankan pada Roland kalau dia kesal, dengan terpaksa Roland menghentikan pekerjaannya untuk mencangkul. “Sebentar pergi bareng kita ya, Land? Ini pertama kalinya kita jalan sama-sama loh.” Kali ini Elsa berkata dengan nada yang lebih rendah.
Roland menganggukan kepalanya dengan tersenyum kecil, meyakinkan Elsa bahwa dia akan pergi bersama mereka. Elsa melepaskan genggamannya dari ganggang cangkul itu, membiarkan kembali Roland melanjutkan pekerjaan membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh dan kembali ketempatnya.
Biasanya di hari sabtu siswa-siswa kembali kerumah pada pukul setengah sebelas. Berbeda saat mereka melakukan kerja bakti disekolah, pukul sepuluh mereka sudah bisa kembali pulang bahkan bisa lebih cepat dari itu.
“Sebentar kita ketemu diperampatan jalan raya, yah. Aku tunggu loh.” Elsa melambaikan tangan pada Sinta dan Roland, ditempat mereka biasa berpisah.
“Eh, mau pakai apa? Kaki?” Sinta mencoba memastikan bahwa mereka tidak akan menggunakan kedua kaki untuk pergi bersenang-senang.
“Aku udah tanya sama dia, katanya mau pakai mobil dia. Udah yah, bye.” Elsa segera berjalan kembali dengan langkah yang mulai cepat.
***
Mobil hitam dengan seorang pria dewasa yang menunggu di kursi pengemudi, dan dua orang anak cowok menunggu disamping mobil itu.
Elsa terlihat datang dengan tas gantungnya yang berwarna hitam. Mendekati mobil hitam itu.
“Teman-teman kamu mana?” tanya Azar ketika Elsa berada didepan dia dan Rndy.
“Katanya mereka sedang menuju kemari. Itu mereka.” Elsa menunjuk orang yang berada jauh di belakang Azar.
Roland dengan tangan yang berada disaku depan celananya dan Sinta yang membawah tas gantung ditaruh disebelah kanan bahunya tampak berjalan menuju tempat Elsa berada.
“Hai! Temannya Elsa! Aku Azar.” Azar berkata ketika Shinta dan Roland ada didepan mereka.
“Oh kalian yang waktu itu yah. Pas ditempat makan pangsit. Ya, pas disini.” Sinta mengingat akan pertemuan malam itu.
“Benar, kita udah kenalan yah.” Randy menyelah. “Terus teman kamu ini?”
“Aku Roland. Teman Elsa dan Shinta. Jadi kalian udah saling kenal yah.” Roland meberikan tangan kanannya yang kemudian di jabat oleh Azar dan Randy.
“karena kita udah saling kenal sekarang kita berangkat.” Azar membuka pintu mobil.
Azar, yang duduk disamping supir, Elsa dan Sinta yang duduk dibangku tengah, dan Roland dan Randy duduk bersama dibangku belakang. Duduk dengan posisi seperti itu dalam perjalanan menuju Bukit Kasih.
Untuk perjalanan kurang lebih 15 menit itu Azar memasang lagu-lagu Kpop, karena suasana yang tampak hening.
Melewati Pacuan kuda, yang dibatasi oleh dinding setinggi 2 meter. Tetapi, tetap terlihat bagaimana lintasan untuk kuda-kuda itu berlari. Dan dimana penonton akan duduk menonton. Selama Elsa berada di tempat itu, ia belum menonton pacuan kuda, mengunjungi tempatnya saja belum pernah.
Tak hanya pacuan kuda, tampak sebuah proyek geotermal pun dilewati oleh mobil mereka. Asap yang keluar dari salah satu cerobong itu, dan benda-benda berbentuk pipa yang dirakit tampak seperti mesin yang begitu besar.
“Sampai.” Kata supir yang mengantar mereka tampak mengambil karcis dari penjaga pintu.
Dari pintu masuk terlihat sebuah monumen yang begitu tinggi, walau memang tidak begitu tinggi seperti Monas yang di Jakarta.
Mereka berlima menuju monumen itu sebelum memulai perjalanan. Sedangkan supir yang mengantar mereka, ingin menunggu saja dimobil, atau sekedar memakan jagung rebus yang di jajahkan oleh pedagang.
Dari dekat monumen itu terlihat berbentuk segi lima dengan tiap sisi monumen trdapat setiap agama yang ada di Indonesia. Mulai dari agama Kristiani dengan sebuah kutipan ayat pada masing-masing sisi, begitu pula sisi sebelahnya adalah agama Katholik, Islam, Budha, dan Hindu.
Bila dipuncak Monas ada emas yang besar. Berbeda dengan monumen ini puncaknya adalah sebuah bola dunia dan diatasnya ada seekor burung yang berdiri membentangkan sayap, seperti mencengkram bola dunia itu.
Pinggiran dari monumen bukit kasih yang berada didesa Kanonang, kabupaten Minahasa, Profinsi Sulawesi Utara, monumen ini di kelilingi kolam dengan beberapa jembatan kecil untuk diseb’rangi bila ingin mendekati monumen ini.
Elsa menghadap ke kanan monumen, tepat dimana tangga-tangga disediakan untuk menuju monumen itu. Kembali Elsa menghadap kearah kiri, terlihat dua buah wajah yang begitu besar pada tebing dari bukit itu yang mulai rusak. Dua wajah itu terpisah beberapa jarak. Sedikit keatas dari tempat wajah itu terlihat beberapa bangunan.
Sedikit melihat kearah sekeliling, tangga yang ada di sediakan untuk menjelajah Bukit Kasih terlihat seperti tembok China yang berukuran mini.
“Kita panjat sampai di Salib besar yah?” Randy coba menantang
“Boleh, yang nggak sampai traktir jagung rebus yah.” Sinta menerima tantangan.
“Ayo, mulai jalan.” Randy berjalan seperti memimpin perjalanan.
“Salib besar?” Elsa bergumam.
“Salib yang ada dipuncak bukit kasih ini! Orang-orang yang datang harus mencoba untuk mencapai puncak itu. Belum lengkap rasanya kalau datang kesini terus belum mencapai puncak Bukit kasih.” Roland sedikit menjelaskan.
Elsa lalu membalikkan badan kembali menghadap monumen itu “terus kenapa monumen ini, setiap sisinya ada setiap agama?”
“Ini Tugu Toleransi...” Kata Azar.
“Eh...” Elsa tak menyadari bila Roland telah berjalan menuju tangga untuk memulai menaiki setiap tangga-tangga kecil, dia tidak mengira kalau yang ada disampingnya saat ini adalah Azar.
“Mereka udah mulai jalan, kita sudah ketinggalan.” Azar menarik tangan Elsa menuju tangga-tangga untuk memulai menaiki menuju puncak Salib besar itu. “perjalanan kita akan panjang.” Tambah Azar
“Disana ada dua wajah, tampaknya mulai rusak, nggak terawat gitu. Maksudnya apa dua wajah di tebing itu?” Elsa penasaran akan adanya dua wajah yang ada ditebing ditebing.
“Mulai nggak nampak lagi yah dua wajah itu? Padahal itu adalah gambaran wajah dari Toar dan Lumimu’ut.”
“To’ar dan Lumimu’ut?”
“mereka dikatakan sebagai Nenek Moyang orang Minahasa. Dari kiri itu adalah To’ar, sedangkan yang disebelah kanan adalah Lumimu’ut. Sayang mereka nggak merawat dengan benar dua wajah itu. Padahal itu jadi ciri khas yang lain juga dari tempat ini.”
Elsa hanya menganggukkan kepalanya, menyatakan bahwa ia mengerti akan penjelasan Azar. Melihat ke sekeliling salah satu objek wisata yang ada di Sulawesi Utara itu. Tangga yang mulai retak, rerumputan liar yang tumbuh di pinggiran pagar pembatas, seperti tidak ada yang memperhatikan dan merawat tempat ini.
Pengunjung yang datang dihari itu tidak begitu banyak, hanya ada beberapa mobil yang di parkir di parkiran objek wisata itu. Setidaknya, Elsa tak harus khawatir untuk mendaki keatas karena berdesakkan dengan pengunjung yang lain. Bila sunyi seperti ini, memakai seluruh badan anak tangga pun tak akan jadi masalah.
Bau yang menyengat masuk kedalam hidung Elsa. Elsa segera menutup hidungnya dengan kedua tangannya.
“bau ini?” Elsa bergumam.
“ini bau belerang. Daerah Bukit Kasih memang ada sumber belerang.” Azar menunjuk pada sebuah sumber belerang “Lihat disana! Ada asap ‘kan. Itu  air panas alami, suhunya begitu tinggi, sampai-sampai yang jualan jagung rebus hanya memasaknya di sumber air itu. Sebentar kita akan lewat disitu kalau turun nanti. Sekeliling kamu juga belerang.”
Elsa mencoba memahami “ah~ Berarti, yang desa sebelum Tomohon itu juga punya sumber belerang?”
“oh, disana memang menghasilkan belerang, sayangnya nggak dimanfaatkan oleh warga yang ada disana.”
“Sayang banget yah. Tapi ngomong-ngomong, kaki aku mulai capek nih, Zar.” Elsa mulai mengeluh
“ya elah, Sa. Nggak mungkin kita istirahat kan? Mereka udah jauh didepan. Udah gitu, gimana kamu mau terus sampai di puncak coba kalau baru begini aja kamu udah capek, ini belum setengah jalan Sa, masih ada seribu lebih tangga lagi yang harus kita pijak.”
“seribu lebih?” Elsa kaget dengan kedua matanya yang melotot mendengar ucapan Azar.
“jumlah anak tangga disini sekitar duaribu lebih. Kita istirahat nanti di salib yang kecil yah? Kebetulan disana ada tempat untuk istirahat.” Azar yang berada dua tangga didepan Elsa mengulurkan tangan kanannya kepada Elsa yang berhenti karena capek utuk berjalan kembali. “Ayo.”
Sinta tampak memerinta dua cowok yang bersamanya, menyuruh mereka untuk mengambil gambar dengan kamera handphone-nya. Mereka bertiga yang belum lama tiba di Salib yang kecil, di belakang Salib itu ada sebuah bangunan seperti tempat yang di sediakan untuk beribadah. Tak lama kemudian disusul, Azar dan Elsa yang datang dengan kedua tangan saling menggenggam.
Elsa melepas tangan Azar ketika duduk di lantai tempat pertemuan itu, tepat disamping Roland yang kebetulan juga duduk disitu. Azar pun ikut duduk disamping Elsa yang sedang memijat-mijat kakinya dengan kedua tangannya.
“Kita ambil gambar yuk?” Shinta mengajak sambil memegang kamera di tangannya.
“Kamu yang foto yah.” Kata Randy. Mereka bersiap mengambil tempat untuk difoto.
“okey.satu... dua...” Sinta menghentikan hitungannya tunggu dulu, kalau aku yang ambil gambar, aku nggak ada difoto nanti. Nggak mau.”
“minta tolong orang yang lewat aja, Sin.” Elsa memberi saran.
“Benar.” Sinta melihat dua orang pemuda yang datang berjalan bersama menuju tempat mereka.”maaf. bisa tolong ambilkan gambar kami?” Sinta memberi handphone-nya kepada salah seorang pemuda yang memegang botol air mineral.
Pemuda itu mengambilkan beberapa foto untuk mereka berlima, dan segera berjalan terus.
“Terima kasih.” Sinta berucap “lanjut jalan yuk?”
Elsa berdiri dari duduknya berjalan lagi dengan Sinta, segera Azar dan Roland juga berdiri. Berbeda dengan yang tadi saat mereka datang ke tempat Salib kecil, kali ini mereka berlima berjalan bersama.
“Kita ke tempat ibadah dulu yah?” Sinta mengajak
“kalo ke tempat ibadah dulu, kita tinggal ambil jalan pintas untuk ke Salib besar.” Kata Roland
“betul, kita nggak perlu berputar jauh untuk ke Salib nanti. Boleh, kita kesana dulu.” Azar berkata juga.
Pemandangan yang begitu indah dari atas, hampir setiap desa disekitar Bukit Kasih terlihat. Untuk menuju ketempat Ibadah, harus melewati sebuah jembatan yang terbuat dari papan.
Tempat ibadah yang bisa terlihat dari bawah tempat monumen berada memiliki lima tempat ibadah dari berbagai agama yang ada di Indonesia. Mulai dari gereja Katholik, disampingnya gereja untuk umat Kristiani, Masjid untuk umat Muslim, ada pula untuk umat Budha dan Hindu.
Pemandangan yang begitu indah bila dilihat dari tempat-tempat ibadah itu. Mereka duduk di rerumputan depan tempat-tempat ibadah itu.
“Kita beli jagung rebus yuk. Kan enak kalau makan jagung disini.” Kata Sinta.
“Kayaknya kalau mau beli jagung kita harus kebawah, Sin. Pedagang jagung belum ada yang datang ke atas sini.” Kata Randy sambil melihat kebawah.
“Kalau beli dibawah, nanti kalian capek loh bolak balik.” Elsa merasakan bahwa mereka akan kelelahan untuk naik turun tangga.
“Tapi nikmatnya makan jagung rebus itu, kalau kita ada disini, tempat ibadah.” Sinta memaksa.
“yah udah, sekalian aku mau beli minum, kita bareng aja Sin.” Azar mengajak.
“Aku juga ikut. Biar nggak terasa capeknya.” Randy menawarkan diri juga
“Ayo. Ehm... Elsa mau ikut?” Sinta mencoba mengajak Elsa yang sedang duduk dirumput berwarna hijau, dibawah sebuah pohon, menghadap ke pemandangan, dimana lembah belerang terlihat jelas, dan bagaimana hijaunya tempat yang terlihat di depan itu.
“Capek Sin, Bolak-balik naik tangga. Ini aja kaki aku masih pegal.”
“ya udah, kamu tunggu sini yah. Roland mana?” Sinta melihat ke sekelilingnya mencari-cari Roland.
“mungkin dia jalan-jalan disekitar sini. Nanti juga dia datang.” Elsa memijat-mijat kakinya
“Tapi kamu nggak apa-apakan kan sendirian, Sa. “ Sinta memastikan
“nggak apa. Aku bakal nunggu kalian disini.” Elsa mengedipkan sebelah matanya.
Untuk seorang Elsa, berjalan keatas saja begitu berat karena jalan dengan tangga yang menanjak. Apalagi untuk bolak-balik berjalan naik turun, kakinya terasa akan patah.
Elsa hanya melihat punggung milik tiga orang itu yang berjalan, mulai menuruni tangga dan membuang kembali pandangannya pada pemandangan dari ketinggian itu.
“Mana mereka?” Roland tampak mencari-cari teman-temannya
“katanya mau beli jagung dibawah sana.” Elsa menjawab dari bawah pohon tempat dia duduk.
Roland mendekatinya, dan duduk disamping Elsa “terus kamu sendirian disini?”
“Tadinya, tapi sekarang kamu disini kan?”
“heh” dengus Roland “ah~ memang pemandangan dari ketinggian begitu indah, hampir semua tempat yang kita lewati bisa terlihat.”
“Sayang...” ucap Elsa lirih.
Roland melihat Elsa yang menghadapkan wajahnya melihat ke depan.
“Sayang, tempat ini seperti nggak terlalu diperhatikan oleh pemerintah.” Lanjut Elsa.
“Kamu tahu? Kalau awalnya, tempat ini adalah tempat wisata buatan alam. Ibaratnya tempat ini menjadi tempat wisata yang alami.”
“terus?” Tanya Elsa.
“terus? Ya, karena sentuhan tangan manusia yang membuat anak-anak tangga yang kita pijaki, gedung-gedung Ibadah, Salib besar yang ada dipuncak, dua wajah yang ada di tebing belerang, tempat parkir dan tempat-tempat makan, serta Tugu Toleransi dibawah sana. Tempat ini menjadi tempat wisata buatan, walau masih ada unsur alami dari belerangnya.”
“jadi  monumen itu namanya Tugu Toleransi?”
“iya.” Roland menjawab pertanyaan Elsa yang tadi sempat di tanyakan Elsa saat masih dibawah, di tempat Tugu Toleransi. Yang sebenarnya telah di jawab oleh Azar, tapi Elsa tak begitu mendengarnya.
“kenapa Tugu Toleransi, apa disini pernah terjadi sesuatu?”
“iya disini pernah terjadi sesuatu.” Roland tersenyum, namun senyuman yang tampak ja’il, seolah mencoba mengerjai Elsa dengan perkataannya.
“apa? Di tempat yang indah seperti ini, terjadi hal yang buruk?”
“Kamu belum mengerti yah? Tugu Toleransi berbentuk segi lima dengan tiap sisi ada agama-agama yang ada di Indonesia. Dari nama tempat ini saja Bukit Kasih, dan Tugu Toleransi itu, serta bangunan tempat ibadah ini, semua agama yang berada di Indonesia dikumpulkan disini untuk saling mengasihi. Dari s’logan kita aja, kamu bisa tahu dong artinya?”
“S’logan?” Elsa kembali bertanya, mencari tahu apa isi s’logan itu.
“Torang samua basudara. Kita semua bersaudara. Kita nggak memandang kamu siapa dan aku siapa. Ketika kita berada disini, kita semua menjadi satu tanpa pandang bulu. Dan dari slogan itu juga ada peribahasa yang khusus juga ‘Sitou Timou Tumou Tou’.”
“aku pernah baca itu, tapi nggak ngerti artinya.” Mencoba mengingat akan apa yang pernah di baca Elsa.
’Orang Hidup Menghidupkan Orang lain.’ Kita hidup di dunia tidak hanya sendiri, dan ada waktunya kita diatas ada pula waktunya kita berada di bawah. Ketika kita berada di atas, kita harus membantu mereka yang ada di bawah.”
“heh..” Elsa tersenyum senang
“Kenapa?” Roland melihat wajah Elsa yang tersenyum.
“Sudah beberapa bulan aku disini baru mengerti akan hal-hal itu. Hmm... ketika di Jakarta, kami nggak mikirin mereka yang ada di pinggiran jalan, asalkan telah member uang receh itu sudah cukup, berpikir bahwa dengan member uang receh telah membantu mereka. Yang ada hanya memikirkan diri sendiri, segala pekerjaan yang ada, tanpa memikirkan orang lain. Jadi begitu yah orang-orang yang ada disini.”
“nggak semua orang yang mau saling membantu. Bagi mereka itu hanyalah sebuah s’logan, bahkan ada yang tidak menganggap s’logan itu.”
“kamu juga? kamu juga seperti mereka?” Elsa melihat pada Roland, dan menatap Roland.
Roland juga menghadap pada Elsa “Menurut kamu? Aku nggak bisa menilai diri aku sendiri.”
“Kamu beda dari mereka. Aku tahu kalau kamu suka membantu. Buktinya aja, kamu mau bantu aku saat di sekolah. Ngomong-ngomong, kok mereka lama?”
“Sampai ketempat jualan jagung juga belum.”
“keras kepala sih mereka, mau makan tapi maksa turun kebawah.”
“kamu juga keras kepala.”
“hah...” Bingung kembali melanda Elsa karena perkataan Roland.
“bertahan sendiri diatas sini, hanya karena kaki kamu pegal.”
“kan capek, Land. Aku nggak biasa naik ke bukit kayak gini.”
Roland sedikit terdiam mencoba mengatakan sesuatu sambil menatap Elsa “aku baru sadar kalau kamu senyum, mata kamu juga senyum yah.”
“mata?”
Eyesmile, aku suka lihat orang yang tersenyum matanya pun ikut senyum.”
eyesmile, yah?”
“iya. Bagi aku senyum yang murni dari hati seseorang akan lebih terlihat bila matanya ikut tersenyum.”
“Dita?” Elsa teringat akan sahabatnya itu.
“apa?” Roland mendengar kata Elsa.
“aku nggak tahu, kalau kamu orang yang tepat untuk aku ceritakan tentang ini.”
“kamu harus belajar percaya pada orang, Sa.” Sebuah suara datang dari samping mereka, sedikit jauh dari tempat mereka berada.
“Sinta dan Randy mana, Zar?” tanya Roland
“masih di bawah, tempat jualan jagung.” Azar yang datang duduk bersama Elsa dan Roland.
Seketika itu juga, Elsa menghentikan pembicaraannya dengan Roland. Apa iya? Seorang Elsa tidak bisa percaya pada orang lain?
“pemandangan dari atas sini memang indah yah.” Azar berkata sambil melihat kedepan, melihat akan pemandangan yang terlihat.
“baru sadar?” tanya Roland
“Iya. Selama aku datang kesini, aku nggak pernah menikmati pemandangan seperti ini. Aku nggak pernah bisa menikmati pemandangan ini, karena datang dengan hati yang gelisa.”
“gelisa atau galau?” Roland menggoda, Elsa yang mendengar itu tersenyum.
“menurut kamu? Aku hanya bisa menikmati pemandangan yang indah, bila hati sedang senang.”
Roland hanya menggelengkan kepala, sedang Elsa tetap terdiam. Masih memikirkan apakah dia benar tidak bisa mempercayai orang.
“Dari dulu...” Elsa mulai berucap, mencoba meyakinkan dirinya bahwa orang yang ada disampingnya dan didepannya bisa dia percaya.
Roland dan Azar melihat Elsa. Azar bahkan sedikit memutar badannya.
“mungkin aku nggak bisa percaya sama orang lain. Aku nggak tahu mengungkapkan ini pada kalian berdua, orang yang begitu dekat denganku adalah hal yang benar atau salah. Pastinya, ini kedua kalinya aku akan percaya pada orang lain.” Lanjut Elsa
“kedua kalinya?” Roland bertanya.
“iya, selain keluarga ku, hanya satu orang yang sampai saat ini aku percaya.” Elsa kembali berkata dengan menjawab pertanyaan pendek Roland.
“Dari awal kamu dekat dengan kita, jadi kamu nggak pernah percaya dengan kedekatan itu?” Azar berkata, sedikit merasa tak pernah di percaya oleh Elsa.
“Aku nggak tahu, Zar. Aku terlalu takut. Sejak duduk dibangku Sekolah Dasar, aku begitu dekat dengan teman-teman sekelasku, aku begitu menyayangi mereka, bahkan merasa kalau mereka itu lebih dari segala yang aku punya. Tapi...” Sejenak Elsa berhenti, matanya mulai berkaca-kaca mengingat akan hal yang dulu pernah dilaluinya, apalagi saat dia bersama Dita “disaat aku merasa mereka begitu istimewa, disaat itulah mereka menghilang satu persatu. Maksudku menghilang, mereka seperti tak ingin bersama lagi denganku. Setiap teman yang aku temui selalu seperti itu. Makanya aku mencoba untuk menjadi dingin saat menginjak SMP. Tak ada teman yang berani mendekatiku. Mungkin salahku juga karena nggak mau begaul dengan mereka..”
“Aku pernah tanya, saat hari pertama kita bertemu, Sa. Perasaan aku memang benar, kamu nggak ngungkapin yang sebenarnya kan.” Roland sedikit menyelah, kembali mengungkit hal yang menjadi pertanyaannya beberapa waktu yang lalu.
“itu benar, hanya aku nggak bisa ngungkapin semuanya.” Elsa mencoba meluruskan.
“Lalu orang yang kamu percaya itu?” Azar mencoba melanjutkan cerita Elsa dengan bertanya.
“Gadis dengan rambut yang dikepang, dengan percaya dirinya datang mendekat saat aku sedang membaca komik. Dengan satu alasan dia mendekat, memaksa aku untuk memberikan sebuah senyum untuknya,” dengan air mata yang mulai jatuh, Elsa berbicara dengan senyum di bibirnya ketika mengingat saat pertama ia bertemu dengan Dita.
“Senyum? Awal aku lihat kamu, aku juga suka lihat senyum kamu, Sa. Dan eyesmile itu.” Azar mengungkapkan apa yang membuatnya ingin dekat dengan dengan Elsa “selain itu aku memang ingin menjadi begitu dekat dengan kamu.”
Setetes air mata kembali jatuh membasahi pipi Elsa. Tak hanya setetes, disusul beberapa tetes yang jatuh ikut membasahi pipinya.
“kamu nangis?” Roland mencoba memberi sapu tangannya pada Elsa.
“saat gadis itu memintaku untuk tersenyum, hal yang dikatakannya adalah eyesmile yang terjadi saat aku tersenyum. Kalian berdua juga mengatakan tentang eyesmile ku. Aku tidak mengerti apa yang istimewa tapi kata Dita ‘Aku nggak tahu kalau hati kamu ikut tersenyum atau enggak, tapi itu yang aku ingin lihat, senyum bibir kamu yang murni dan eyesmile kamu.’
“udah? Gitu aja?” Azar berkata ketika sejenak Elsa terhenti bicara
“Gitu aja? Kalau cuma begitu, kenapa aku harus cerita sama kalian tentang hal ini? Tanpa dia, mungkin aku nggak akan bisa sedekat ini dengan kalian...” Elsa mulai terisak “Bagaimana menurut kalian? Seseorang yang telah mengubah hidupmu, pergi meninggalkan kamu. Tanpa dia, aku tidak bisa memiliki banyak teman saat di SMP. Tanpa dia, aku tidak bisa merasakan bagaimana memiliki seorang sahabat yang selalu ada didekatku. Bagiku, tak ada teman yang seperti dia. Nggak ada yang bisa ganti’in dia. Dia menjadi pelengkap dalam hidupku
Azar sedikit memajukan dudukannya kedepan dan tidur di rumput itu, menatap indahnya langit berwarna biru dengan hiasan awan putih dan cahaya matahari yang terang “eehmm... Semua teman itu sama, tergantung dari kita saja bagaimana kita menilai sikap mereka terhadap kita.”
“Teman yang baik adalah teman yang akan mengajak kita untuk melakukan hal yang baik. Dia udah ngajar, yah sekaligus mengubah Elsa menjadi seorang yang hangat, jelas Elsa merasa dia berbeda.” Roland beranjak kedepan tidur disamping Azar.
Elsa hanya terdiam, sambil mengusap air matanya “memang nggak ada yang bisa seperti Dita.” Elsa membatin. “tapi, untuk saat ini, merekalah yang menjadi semangat bagiku, aku merasa mereka menjadi Dita yang melengkapi-ku saat ini. Berada disisi seorang teman saat kita dalam masalah memang akan lebih berharga, dibandingkan berdiam diri dalam kesusahan sendiri.” Lanjut batinnya.
“Zar! Minta nomor handphone kamu dong?” Roland mengeluarkan Handphonenya dari saku jaket berwarna hitamnya.
“Buat apa?”
“Udah, jangan pelit. Biar kita lebih dekat.” Roland menyiku tangan Azar yang sedang memegang handphone itu, seolah member sebuah isyarat.
“ini!” Azar menunjukkan sebuah kontak pada Roland. Yah, kontak milik Azar sendiri.
Beberapa waktu kemudian, sebuah SMS masuk dari nomor yang tidak dikenal. Azar sedikit ragu membuka SMS itu, mencoba memikirkan apakah dia mengenal nomor yang tak memiliki nama itu.
“itu nomor aku. Cuma mau test kalau benar tadi nomor kamu.” Roland menunjukkan handphone-nya.
Azar segera membuka SMS itu ‘Apa perasaan kamu, melihat gadis yang kau suka menangis didepan kamu?’ Azar sedikit terkejut “Hei!” Azar berteriak dan kembali berada dalam posisi duduk.
Roland sedikit menunjukkan wajah kesal, mencoba memberi isyarat jika Elsa berada bersama mereka.
“Kenapa?” tanya Elsa
“Ah, kenapa Randy dan Sinta lama sih? Bisa-bisa kita nggak sampai di Salib besar nanti.” Azar mencari alasan agar Elsa tidak curiga ataupun penasaran akan teriakannya pada Roland tadi, dan kembali lagi pada posisi tidur.
“ouh!” Elsa sedikit bingung ketika melihat akan kedua orang yang tidur didepannya, sama-sama  memainkan handphone mereka, tampak mereka begitu dekat. Namun, Elsa tak begitu memikitkan akan dua orang itu. Ia menekukkan kedua kakinya, menaruh kedua tangannya diatas dan menyandarkan dagunya, menatap lukisan yang belum di tumpahkan pada sebuah kanvas dan belum di coret dengan tinta. Lukisan pandangan, yang membuat orang kagum melihatnya
Azar dan Roland kembali melanjutkan percakapan melalui SMS itu.
“Jangan bilang? Lalu kenapa? Kenapa kamu nggak hibur dia. Aku bisa ngerti melalui pesan kamu. Balas Azar pada pesan itu
“Ah ya? Lalu bagaimana dengan kamu? Kenapa bukan kamu saja yang hibur dia?”
“Aku rasa itu susah? Ya, setidaknya kamu memberi dia sebuah sapu tangan.” Azar menghadap pada Roland yang mulai membuka pesan itu
“capek!” teriak Sinta ketika menginjakkan kaki kanannya pada tangga teratas.
“benar kan? Kalau naik turun tangga itu capek, apalagi jaraknya yang jauh.” Elsa segera memalingkan kepalanya pada Sinta yang sedang membawah plastik hitam yang berisi jagung rebus itu.
“tapi sulit, Zar. Menyukai seseorang yang telah menganggap kita sebagai teman baiknya.” balasan pesan Roland pada Azar yang berada dalam posisi duduk.
“Menjadi temanpun tak apa ‘kan? Asal kita bisa selalu di sisi orang yang kita suka.” Azar membalas pesan itu.
“Ayo! Kita lanjut jalan ke Salib besar.” Azar berdiri dari duduknya mencoba mengulurkan tangan kanannya pada Elsa, namun Elsa lebih dulu meraih tangan orang lain, tangan Roland.
“Tapi masih capek Zar. Udah gitu, jagungnya?” Sinta mengeluh
“nanti istirahat di atas, pas tiba di Salib aja sekalian jagungnya makan di sana.” Azar mulai berjalan mendahului
“Randy mana?” tanya Elsa.
“Aku disini.” Randy mencapai tangga terakhir ditempat-tempat Ibadah itu, membawah beberapa botol air mineral.
Tangan Roland dan Elsa masih saling menggenggam, menyusul jalan Azar yang sedikit lebih cepat. Sedangkan, Sinta harus pasrah dengan keadaan kakinya yang mengeluh akan perjalanan yang melelahkan harus berlanjut lagi. Dan Randy, hanya santai berjalan mengikuti arah orang-orang yang di depannya. Seakan lelah tak singgah di kedua kaki-nya.
Mengambil jalan pintas memang taklah mudah. Jalan yang menanjak, serta hanya batu-batu yang tertanam ditanahlah yang menjadi pijakkan kaki. Untunglah jalan itu tidak terkena hujan atau basah, bisa-bisa perjalanan mereka bisa lebih sulit lagi karena jalan akan semakin licin bila terkena basa.
Salib yang begitu besar berwarna putih itu dikelilingi oleh pepohonan pepohonan. Pemandangannya pun bahkan lebih indah, karena hampir setiap tempat yang ada di dua kecamatan bisa terlihat.
“Minggir-minggir! Aku mau duduk!” Sinta menerobos Roland dan Elsa yang membuat kedua tangan mereka tidak saling menggenggam lagi.
Puncak Salib besar itu bisa di katakan sebagai sebuah jurang, karena berada di pinggiran lahan sekitarnya bila salah melangkah bisa jadi fatal.
Elsa berjalan menuju pinggiran jurang itu “Indahnya pemandangan ini.” Gumam Elsa yang berdiri dipinggiran jurang itu.
“tanpa melihat pemandangan seperti ini, semua yang disekitar kita adalah hal yang indah.” Azar berdiri disamping kanan Elsa
“termasuk sampah?” Elsa mencoba menegaskan sedikit pernyataan Azar.
“Kita nggak sadar aja kan? Sampah yang kita lihat, bangunan usang atau jalan yang berlubang, selokan yang kotor. Bila di lihat dari dari ketinggian semua tak terlihat kan, jadi begitu indah bukan?”
“Sampah yang kita lihat, bangunan usang atau jalan yang berlubang, selokan yang kotor.” Ulang Elsa “bila menjadi indah dari ketinggian, artinya itu keindahan belaka.”
“berarti yang kamu lihat sekarang, keindahan yang belaka.” Azar tersenyum sinis.
Elsa menggelengkan kepala sambil berpangku tangan “Sebenarnya, suatu hal akan menjadi indah bila kita lihat dengan hati kita. Kita harus merasakan keindahan itu, tak hanya melihat.”
“Hati?”
“tadi kamu yang bilang kan ‘tanpa melihat pemandangan seperti ini, semua yang di sekitar kita adalah hal yang indah.’ Bukankah melihat orang tersenyum kepada kita adalah hal yang indah? Melihat orang tersenyum membuat hatiku terasa nyaman.”
“Kalau kamu mau mendapat senyuman dari orang, maka sekarang tersenyumlah dan buat orang itu tersenyum.” Roland menyelah dan perlahan berjalan berdiri disamping kiri.
Elsa sejenak menatap Roland yang juga memalingkan wajah ketika Elsa menatap.
Trouble maker!” gumam Azar sambil melihat pada Roland.
Roland yang memasukkan kedua tangannya pada saku celana depan itu, mengangkat keningnya itu, tersenyum kecil seolah berkata “She is my girl” dan merasa menang. Dan kembali melihat kedepan.
Trouble Maker?” Elsa beralih menghadap Azar.
“ah~ itu loh, lagunya HyunSeung Beast ft. HyunAh 4Minute.” Azar beralasan sambil menggaruk sedikit kepalanya yang tak gatal itu dengan tangan kanannya.
Roland tersenyum, menganggap perkataan Azar seperti sebuah lelucon, karena tahu kalau Azar hanyalah mencari sebuah alasan.
“Ah~ bagusnya.” Sinta berdiri disamping Randy dan berteriak pada ketiga orang yang berdiri bersama. Shinta dan Randy mendekati ketiga orang itu yang telah berbalik melihat Sinta yang tiba-tiba berteriak itu.
“Ini seperti? Apa yah? Entah deh, ayo kita makan jagungnya, sayang kalau nanti jadi dingin.” Lanjut Sinta yang menunjukkan foto yang di potretnya menggunakan handphone itu.
Dengan gambar Elsa yang berada ditengah dan kedua tangannya yang dibelakang seperti sikap sedang beristirahat ditempat, Roland disamping kirinya dengan kedua tangan yang melengkung karena jari-jarinya yang dimasukkan kedalam saku, dan Azar yang disamping kanan Elsa dengan sikap yang siap.
Kulit berwarna kuning yang berlapis membungkus isinya, masih mengeluarkan asap tampak menggugah selera.
“Aku benci panas.” Elsa meletakkan kembali jagung yang sedikit sulit untuk di buka, karena tangannya tak tahan lagi menahan panas itu.
Roland memberikan jagung yang tak memiliki kulit lagi “Tanpa panas nggak akan ada makanan yang bisa matang, Sa.”
“Makasih, Land.” Elsa menerima jagung itu, dan Roland mengambil jagung yang di letakkan Elsa tadi.
“Lagi?” kata Azar sambil menatap Roland, melihat akan apa yang di lakukan Roland.
“hah? Apa, Zar?” Sinta bertanya karena mendengar kata Azar itu
Again and Again! Lagunya 2PM itu loh. Again artinya Lagi ‘kan? Aku cuma coba ingat aja arti itu.” Azar mencari alasan lagi
“Ya, lagi. Anak dari SMA Swasta emang harus belajar bahasa Inggris setiap waktu yah?” Roland menggoda Azar sambil tersenyum.
“Cepat, kita harus segera turun.” Azar sedikit jengkel.
“kok dari tadi cepat-cepat sih, Zar?” tanya Sinta.
“Takut nanti keburu gelap, Sin.”
“Tenang Zar. Nggak akan sampai gelap kok.” Randy menepuk punggung Azar.
Matahari memang masih memancarkan cahayanya. Sebuah alasan yang tak masuk akal, bila Azar takut matahari akan segera terbenam. Waktu pun mendukung, karena masih tiga jam lagi baru matahari akan terbenam dan di gantikan oleh bulan.
Tak ada yang mendengar kata Azar untuk turun lebih cepat, membuat mereka mengambil beberapa gambar untuk kenangan.
“Kita berfoto berdua yuk? Semua dari kita harus berfoto secara bergantian tapi berdua, gimana? Sinta mengusulkan
“Aku mau turun sekarang.” Azar berjalan menuju jalan yang sama yang di lalui mereka untuk datang ke Salib besar.
“Eh, Azar. Jangan gitu dong.” Elsa menyusul Azar, mengikuti di belakang Azar.
Untuk beberapa saat, Roland, Randy, dan Sinta, belum mengikuti dua orang yang mulai berjalan itu.
“Elsa?” Roland mencoba memanggil.
“Roland, foto-in dulu aku sama Randy sebentar dong.” Sinta memberikan handphonenya.
Merasa aman karena dia tahu Elsa berjalan bersama Azar, dia terus memenuhi permintaan Sinta untuk mengambil gambar-gambar melalui handphone.
“Zar.. Azar.. pelan-pelan. Jalannya berbatu loh, nanti jatuh?” Elsa terus mengingatkan Azar
“Ahh..” Elsa berteriak ketika menuruni turunan batu terakhir dimana mereka tiba di tempat-tempat ibadah lagi. Celana Elsa menjadi kotor karena jatuh di turunan batu itu.
Azar terus berjalan tak memperdulikan teriakan Elsa itu. Elsa kembali berdiri, masih berjalan mengikuti langkah Azar. Yang berhenti di depan tangga memasuki gereja dan duduk di tangga itu.
“orang yang terluka pun tak akan kita hiraukan bila suasana hati kita sedang buruk. Benar ‘kan?” Elsa berdiri di depan Azar yang sedang duduk itu.
Azar melihat Elsa yang bergerak duduk di sampingnya. Celana berwarna hitam yang di kenakan Elsa menjadi perhatian Azar.
“Celana kamu kotor. Jatuh dimana?” Azar sedikit khawatir
“ah, benarkan.” Elsa tersenyum melihat pada Azar yang memperhatikan kakinya. Elsa memalingkan kepalanya melihat pada jalan menuju tempat Salib besar. “Roland dan Randy pasti sedang menuruti permintaan Sinta yang akan terus minta untuk di foto. Atau salah satu dari mereka akan menjadi model yang berfoto bersama Sinta.” Elsa kembali melihat pada Azar yang sedang merogo kantongnya.
Sebuah sapu tangan berwarna biru berada di telapak tangan kanan Azar. Azar segera membersihkan celana Elsa yang kotor dengan sapu tangannya.
“Berhenti. Aku bisa membersihkannya sendiri. Jangan buat aku jadi gugup.” Elsa mencoba menghentikan tangan Azar yang terus bergerak membersihkan celananya.
“Kamu jatuh dimana sih? Makanya hati-hati.”
Elsa menarik tangannya, menaruh kedua telapak tangannya pada lantai tangga. “kalau aku ngga coba menghentikan seseorang, pasti aku nggak akan jatuh.”
“jangan mencoba untuk menghentikan seseorang. Disaat kamu mencoba menghentikkannya, disaat itulah kamu akan terluka.”
“hehh~ dasar. Jengkel sih boleh, tapi jangan sampai kamu ninggalin teman-teman kamu.”
“nggak jengkel, kok. Sudah lumayan bersih celana kamu.” Azar berhenti membersihkan celana Elsa “lain kali hati-hati.”
Dengan cepat Elsa merebut sapu tangan Azar “Biar aku cuci, aku balikinnya nanti.”
“Untung kamu nggak apa-apa.”
“siapa bilang aku nggak apa-apa?”
Azar menatap Elsa yang menggenggam sapu tangannya.
“Aku harus menuruni jalan itu dengan hati-hati namun dalam langkah yang cepat, dan terjatuh. Apa itu nggak apa-apa?”
Azar terdiam dalam batinnya “Manja, yah?” itulah yang dipikirkannya. Saat ini dia berada bersama dengan seorang anak gadis yang manja.
“Mungkin saat ini kamu berpikir kalau aku manja karena merengek untuk hal seperti itu.” Elsa melihat samping wajah Azar “sebenarnya, aku nggak ingin bilang itu. Aku cuma kesal, kenapa aku harus ngejar kamu tanpa alasan sampai aku yang terjatuh? Alasan yang sangat nggak jelas.”
“iya, aku emang sempat mikir kamu manja. Tapi, aku juga khawatir karena kemanja’an kamu itu.”
“hemm... Apa aku memang manja?”  Elsa tersenyum.
Suasana dengan itu di temani hembusan angin di wajah dua orang yang duduk bersama itu, beberapa orang pun berjalan lewat di depan mereka.
Waktu menunjukkan pukul empat sore, lima orang itu berjalan bersama menuruni tangga demi tangga untuk kembali ke Tugu Toleransi.
Air panas diantara belerang itu memang mendidih. Padahal tidak ada pemanas, atau api di sekitarnya.
Air itu adalah air panas alami yang mengandung belerang. Banyak bilang bila air yang mengandung belerang itu memiliki khasiat bagi mereka yang memiliki gangguan penyakit, apalagi mereka yang memiliki luka dibadan.
Tak adalagi yang bisa mereka lakukan di Bukit kasih, kecuali mandi di kolam pemandian air panas. Sayangnya, tak ada dari mereka yang membawah baju ganti untuk mandi menikmati air panas alami itu.
 

Make My Life Complete Sinopsis
Make My Life Complete Part 1
Make My Life Complete Part 2
Make My Life Complete Part 3
Make My Life Complete Part 4
Make My Life Complete Part 5
Make My Life Complete Part 6
Make My Life Complete Part 7
Make My Life Complete Part 8
Make My Life Complete Part 9 (Last)

No comments: