BUKIT KASIH
Tiga puluh sembilan hari lagi, dan tahun akan berakhir
dan memasuki tahun yang baru. Artinya ini adalah hari-hari terakhir dibulan
November, Artinya juga Azar sering menemani Elsa untuk pergi kesekolah dihari
sabtu.
“Sa, kita kebukit kasih yuk? Sebentar lagi kan ujian
semester, refreshing gitu.” Ajak Azar.
“Bukit kasih? Aku cuma
pernah dengar, tapi belum pernah pergi kesana. Boleh juga, tapi panggil
teman-teman yah. Biar rame.”
“eoh, teman yah? Iya sekalian aja, aku juga mau ngajak Randy
juga.”
“Aku mau ngajak Roland sama Sinta, boleh kan?” Elsa bertanya, meminta izin agar kedua
temannya bisa ikut.
“Kenalin sama aku yah, aku mau kenal mereka.”
“Okey. Mereka pasti senang.”
“sepulang sekolah, kita langsung berangkat,
setelah ganti pakaian yah.”
“Iya, aku masuk ke dalam sekolah dulu yah. Sampai jumpa
sebentar, Azar.”
Azar
melambaikan tangannya, dan seperti biasa kembali menuju mobil yang diparkir
dibelokkan sekolah.
“Sinta.
Roland.” Baru memasuki gerbang sekolah, Elsa melihat sosok Sinta dan Roland
yang berjalan bersama.
“Pulang
sekolah ke Bukit Kasih mau?” Elsa merangkul kedua teman dekatnya itu.
“Pergi mau
sih, Sa.
Tapi pakai apa? Jalan
kaki?” Roland tersenyum, mempertanyakan
dengan apa mereka akan pergi ke Bukit Kasih.
Untuk
menuju ke Bukit Kasih, harus menggunakan kendaraan. Ditempuh dengan berjalan
kaki memang bisa, tapi kaki mungkin tidak bisa kompromi untuk perjalanan
sekitar limabelas menit lebih itu bila ditempuh dengan kendaraan.
“Ah benar.
Dia hanya mengajak tapi, nggak bilang pergi pakai apa? Nanti aku coba SMS deh.”
“Dia? Dia
siapa?” Sinta bingung.
“Aku tahu.
Pasti yang jalan kesekolah sama Elsa sabtu lalu?” Roland menebak, karena merasa
orang itulah yang mengajak ke bukit kasih.
“Aku pernah
lihat juga. Elsa dekat banget sama dia, atau mungkin dia...?” Sinta menambahkan
“Jangan
mikir yang aneh-aneh. Kalian berdua dan dia itu sama-sama teman aku, nggak ada yang lain selain teman.”
“Iya Sin,
jangan langsung memperkirakan.” Roland menyelah dan berjalan cepat didepan Sinta
dan Elsa.
“Tapi
Roland mau pergi bareng
kita nanti ‘kan?” Elsa bertanya dengan
sedikit berteriak.
Roland
tetap berjalan menuju kelas, mengangkat sejenak tangan kanannya dan kemudian
memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana.
“Apa dia
mau pergi?” gumam Elsa
“Roland
pasti pergi. tapi Roland sedikit ngambek tuh.” Sinta mencoba menjawab gumam
Elsa “Ayo cepat kita ke
kelas, sebentar lagi mau Apel.” Lanjut Shinta.
Di hari
sabtu seperti ini pun beberapa siswa masih terlihat terlambat, namun mereka yang
terlambat lolos dari pengawasan guru. Sebenarnya, bukan lolos dari pengawasan
guru. Hanya saja, sabtu pagi itu setelah apel semua siswa membersihkan
lingkungan sekolah. Jelas saja, mereka yang terlambat tak dihiraukan oleh guru
maupun pengurus OSIS yang harusnya bertugas.
“Roland,
jadi mau pergi sebentar kan?” Elsa mencoba terus bertanya pada Roland.
Siswa-siswa
tampak sibuk bekerja di
luar kelas. Ada yang mencangkul, ada yang bolak-balik membawa
sampah rumput liar untuk dibuang, bahkan ada yang hanya asik bercengkrama.
Sedangkan guru-guru mengawasi siswa-siswa saat bekerja. Elsa yang saat itu
membersihkan rumput-rumput kecil yang ada dipinggiran selokan kecil sekolah
tepat menghadap pada Roland yang saat itu mencangkul rumput liar yang ada
disekitar pagar mini.
Tanpa
alasan yang jelas, Elsa merasa bila mood
Roland sedang buruk. Tapi Elsa ingin agar Roland juga ikut atau bisa dikatakan
seperti bertamasya ke Bukit Kasih.
Roland
masih tetap mencangkul, seperti tak menghiraukan Elsa. Elsa yang mulai kesal
karena tak dihiraukan, segera berdiri dari tempatnya membersihkan rumput mencoba
menahan gagang cangkul yang sedang digunakan Roland.
“Kalau
ditanya jawab dong.” Elsa memegang gagang cangkul itu dan berkata dengan nada
yang cukup tinggi, mencoba menekankan pada Roland kalau dia kesal, dengan
terpaksa Roland menghentikan pekerjaannya untuk mencangkul. “Sebentar pergi
bareng kita ya, Land? Ini pertama kalinya kita jalan sama-sama loh.” Kali ini
Elsa berkata dengan nada yang lebih rendah.
Roland
menganggukan kepalanya dengan tersenyum kecil, meyakinkan Elsa bahwa dia akan
pergi bersama mereka. Elsa melepaskan genggamannya dari ganggang cangkul itu,
membiarkan kembali Roland melanjutkan pekerjaan membersihkan rumput-rumput liar
yang tumbuh dan kembali ketempatnya.
Biasanya di hari
sabtu siswa-siswa kembali kerumah pada pukul setengah sebelas. Berbeda saat mereka melakukan kerja bakti disekolah, pukul sepuluh
mereka sudah bisa kembali pulang bahkan bisa lebih cepat dari itu.
“Sebentar
kita ketemu diperampatan jalan raya, yah. Aku tunggu loh.” Elsa melambaikan
tangan pada Sinta dan Roland, ditempat mereka biasa berpisah.
“Eh, mau
pakai apa? Kaki?” Sinta mencoba memastikan bahwa mereka tidak akan menggunakan
kedua kaki untuk pergi bersenang-senang.
“Aku udah tanya
sama dia, katanya mau pakai mobil dia. Udah yah, bye.” Elsa segera berjalan kembali
dengan langkah yang mulai cepat.
***
Mobil hitam
dengan seorang pria dewasa yang menunggu di kursi pengemudi, dan dua orang anak cowok menunggu disamping mobil itu.
Elsa
terlihat datang dengan tas gantungnya yang berwarna hitam. Mendekati mobil hitam
itu.
“Teman-teman
kamu mana?” tanya Azar ketika Elsa berada didepan dia dan Rndy.
“Katanya
mereka sedang menuju kemari. Itu mereka.” Elsa menunjuk orang yang berada jauh
di belakang Azar.
Roland
dengan tangan yang berada disaku depan celananya dan Sinta yang membawah tas
gantung ditaruh disebelah kanan bahunya tampak berjalan menuju tempat Elsa
berada.
“Hai!
Temannya Elsa! Aku Azar.” Azar berkata ketika Shinta dan Roland ada didepan
mereka.
“Oh kalian
yang waktu itu yah. Pas ditempat makan pangsit. Ya, pas disini.” Sinta
mengingat akan pertemuan malam itu.
“Benar,
kita udah kenalan yah.” Randy menyelah. “Terus teman kamu ini?”
“Aku
Roland. Teman Elsa dan Shinta. Jadi kalian udah saling kenal yah.” Roland meberikan tangan kanannya yang
kemudian di jabat oleh Azar dan Randy.
“karena
kita udah saling kenal sekarang kita berangkat.” Azar membuka pintu mobil.
Azar, yang
duduk disamping supir, Elsa dan Sinta yang duduk dibangku tengah, dan Roland
dan Randy duduk bersama dibangku belakang. Duduk dengan posisi seperti itu
dalam perjalanan menuju Bukit Kasih.
Untuk
perjalanan kurang lebih 15 menit itu Azar memasang lagu-lagu Kpop, karena
suasana yang tampak hening.
Melewati
Pacuan kuda, yang dibatasi oleh dinding setinggi 2 meter. Tetapi, tetap terlihat bagaimana lintasan untuk kuda-kuda itu berlari. Dan
dimana penonton akan duduk menonton. Selama Elsa berada di tempat
itu, ia belum menonton pacuan kuda, mengunjungi tempatnya saja belum pernah.
Tak hanya
pacuan kuda, tampak sebuah proyek geotermal
pun dilewati oleh mobil mereka. Asap yang keluar dari salah satu cerobong itu,
dan benda-benda berbentuk pipa yang dirakit tampak seperti mesin yang begitu
besar.
“Sampai.”
Kata supir yang mengantar
mereka tampak mengambil karcis dari
penjaga pintu.
Dari pintu
masuk terlihat sebuah monumen yang begitu tinggi, walau memang tidak begitu
tinggi seperti Monas yang di Jakarta.
Mereka
berlima menuju monumen itu sebelum memulai perjalanan. Sedangkan supir yang
mengantar mereka, ingin menunggu saja dimobil, atau sekedar memakan jagung
rebus yang di jajahkan oleh pedagang.
Dari dekat
monumen itu terlihat berbentuk segi lima dengan tiap sisi monumen trdapat setiap agama yang ada di Indonesia. Mulai dari agama Kristiani
dengan sebuah kutipan ayat pada masing-masing sisi, begitu pula sisi sebelahnya
adalah agama Katholik, Islam, Budha, dan Hindu.
Bila dipuncak
Monas ada emas yang besar. Berbeda dengan monumen ini puncaknya adalah sebuah
bola dunia dan diatasnya ada seekor burung yang berdiri membentangkan sayap,
seperti mencengkram bola dunia itu.
Pinggiran dari
monumen bukit kasih yang berada didesa Kanonang, kabupaten Minahasa, Profinsi
Sulawesi Utara, monumen ini di kelilingi kolam dengan
beberapa jembatan kecil untuk diseb’rangi bila ingin mendekati monumen ini.
Elsa
menghadap ke kanan monumen, tepat dimana tangga-tangga disediakan untuk menuju
monumen itu. Kembali Elsa menghadap kearah kiri, terlihat dua buah wajah yang
begitu besar pada tebing dari bukit itu yang mulai rusak. Dua wajah itu
terpisah beberapa jarak. Sedikit keatas dari tempat wajah itu terlihat beberapa
bangunan.
Sedikit
melihat kearah sekeliling, tangga yang ada di sediakan
untuk menjelajah Bukit Kasih terlihat seperti tembok China yang berukuran mini.
“Kita panjat
sampai di Salib besar yah?” Randy coba menantang
“Boleh,
yang nggak sampai traktir jagung rebus yah.” Sinta menerima tantangan.
“Ayo, mulai
jalan.” Randy berjalan seperti memimpin perjalanan.
“Salib
besar?” Elsa bergumam.
“Salib yang
ada dipuncak bukit kasih ini! Orang-orang yang datang harus mencoba untuk
mencapai puncak itu. Belum lengkap rasanya kalau datang kesini terus belum
mencapai puncak Bukit kasih.” Roland sedikit menjelaskan.
Elsa lalu
membalikkan badan kembali menghadap monumen itu “terus kenapa monumen ini,
setiap sisinya ada setiap agama?”
“Ini Tugu
Toleransi...” Kata Azar.
“Eh...”
Elsa tak menyadari bila Roland telah berjalan menuju tangga untuk memulai menaiki
setiap tangga-tangga kecil, dia tidak mengira kalau yang ada disampingnya saat
ini adalah Azar.
“Mereka
udah mulai jalan, kita sudah ketinggalan.” Azar menarik tangan Elsa menuju
tangga-tangga untuk memulai menaiki menuju puncak Salib besar
itu. “perjalanan kita akan panjang.” Tambah Azar
“Disana ada
dua wajah, tampaknya mulai rusak, nggak terawat gitu. Maksudnya apa dua wajah
di tebing itu?” Elsa penasaran akan adanya dua wajah yang ada ditebing
ditebing.
“Mulai
nggak nampak lagi yah dua wajah itu? Padahal itu adalah
gambaran wajah dari Toar dan Lumimu’ut.”
“To’ar dan
Lumimu’ut?”
“mereka
dikatakan sebagai Nenek Moyang orang Minahasa. Dari kiri itu adalah To’ar,
sedangkan yang disebelah kanan adalah Lumimu’ut. Sayang mereka nggak merawat
dengan benar dua wajah itu. Padahal itu jadi ciri khas yang lain juga dari
tempat ini.”
Elsa hanya
menganggukkan kepalanya, menyatakan bahwa ia mengerti akan penjelasan Azar.
Melihat ke sekeliling salah satu objek wisata yang ada di Sulawesi Utara itu.
Tangga yang mulai retak, rerumputan liar yang tumbuh di pinggiran
pagar pembatas, seperti tidak ada yang memperhatikan dan merawat tempat ini.
Pengunjung
yang datang dihari itu tidak begitu banyak, hanya ada beberapa mobil yang di parkir
di parkiran objek wisata itu. Setidaknya, Elsa tak harus khawatir
untuk mendaki keatas karena berdesakkan dengan pengunjung yang lain. Bila sunyi
seperti ini, memakai seluruh badan anak tangga pun tak akan jadi masalah.
Bau yang
menyengat masuk kedalam hidung Elsa. Elsa segera menutup hidungnya dengan kedua
tangannya.
“bau ini?”
Elsa bergumam.
“ini bau
belerang. Daerah Bukit Kasih memang ada sumber belerang.” Azar menunjuk pada
sebuah sumber belerang “Lihat disana! Ada asap ‘kan. Itu air panas alami, suhunya begitu tinggi,
sampai-sampai yang jualan jagung rebus hanya memasaknya di sumber air itu.
Sebentar kita akan lewat disitu kalau turun nanti. Sekeliling kamu juga
belerang.”
Elsa
mencoba memahami “ah~ Berarti, yang desa sebelum Tomohon itu juga punya sumber
belerang?”
“oh, disana
memang menghasilkan belerang, sayangnya nggak dimanfaatkan oleh warga yang ada
disana.”
“Sayang
banget yah. Tapi ngomong-ngomong, kaki aku mulai capek nih,
Zar.” Elsa mulai mengeluh
“ya elah, Sa.
Nggak mungkin kita istirahat kan? Mereka udah jauh didepan. Udah gitu, gimana
kamu mau terus sampai di puncak coba kalau baru begini aja kamu udah capek, ini
belum setengah jalan Sa, masih ada seribu lebih tangga lagi yang harus kita
pijak.”
“seribu
lebih?” Elsa kaget
dengan kedua matanya yang melotot mendengar ucapan Azar.
“jumlah
anak tangga disini sekitar duaribu lebih. Kita istirahat nanti di salib yang
kecil yah? Kebetulan disana ada tempat untuk istirahat.” Azar yang berada dua
tangga didepan Elsa mengulurkan tangan kanannya kepada Elsa yang berhenti
karena capek utuk berjalan kembali. “Ayo.”
Sinta
tampak memerinta dua cowok yang bersamanya, menyuruh mereka untuk mengambil
gambar dengan kamera handphone-nya. Mereka bertiga yang belum lama tiba di
Salib yang kecil, di
belakang Salib itu ada sebuah bangunan seperti tempat yang di sediakan
untuk beribadah. Tak lama kemudian disusul, Azar dan Elsa yang datang dengan
kedua tangan saling menggenggam.
Elsa
melepas tangan Azar ketika duduk di lantai tempat pertemuan itu, tepat
disamping Roland yang kebetulan juga duduk disitu. Azar pun ikut duduk
disamping Elsa yang sedang memijat-mijat kakinya dengan kedua tangannya.
“Kita ambil
gambar yuk?” Shinta mengajak sambil memegang kamera di tangannya.
“Kamu yang
foto yah.” Kata Randy. Mereka bersiap mengambil tempat untuk difoto.
“okey.satu...
dua...” Sinta menghentikan hitungannya “tunggu dulu, kalau aku yang ambil gambar, aku nggak ada difoto
nanti. Nggak mau.”
“minta
tolong orang yang lewat aja, Sin.” Elsa memberi saran.
“Benar.” Sinta
melihat dua orang pemuda yang datang berjalan bersama menuju tempat
mereka.”maaf. bisa tolong ambilkan gambar kami?” Sinta memberi handphone-nya
kepada salah seorang pemuda yang memegang botol air mineral.
Pemuda itu
mengambilkan beberapa foto untuk mereka berlima, dan segera berjalan terus.
“Terima
kasih.” Sinta berucap “lanjut jalan yuk?”
Elsa
berdiri dari duduknya berjalan lagi dengan Sinta, segera Azar dan Roland juga
berdiri. Berbeda dengan yang tadi saat mereka datang ke tempat Salib kecil,
kali ini mereka berlima berjalan bersama.
“Kita ke
tempat ibadah dulu yah?” Sinta mengajak
“kalo ke
tempat ibadah dulu, kita tinggal ambil jalan pintas untuk ke Salib
besar.” Kata Roland
“betul,
kita nggak perlu berputar jauh untuk ke Salib nanti. Boleh, kita kesana dulu.”
Azar berkata juga.
Pemandangan
yang begitu indah dari atas, hampir setiap desa disekitar Bukit Kasih terlihat.
Untuk menuju ketempat Ibadah, harus melewati sebuah jembatan yang terbuat dari
papan.
Tempat
ibadah yang bisa terlihat dari bawah tempat monumen berada memiliki lima tempat
ibadah dari berbagai agama yang ada di Indonesia. Mulai dari gereja Katholik,
disampingnya gereja untuk umat Kristiani, Masjid untuk umat Muslim, ada pula
untuk umat Budha dan Hindu.
Pemandangan
yang begitu indah bila dilihat dari tempat-tempat ibadah itu. Mereka duduk di rerumputan
depan tempat-tempat ibadah itu.
“Kita beli
jagung rebus yuk. Kan enak kalau makan jagung disini.” Kata Sinta.
“Kayaknya
kalau mau beli jagung kita harus kebawah, Sin. Pedagang jagung belum ada yang
datang ke atas sini.” Kata Randy sambil melihat kebawah.
“Kalau beli
dibawah, nanti kalian capek loh bolak balik.” Elsa merasakan bahwa mereka akan
kelelahan untuk naik turun tangga.
“Tapi
nikmatnya makan jagung rebus itu, kalau kita ada disini, tempat ibadah.” Sinta
memaksa.
“yah udah,
sekalian aku mau beli minum, kita bareng aja Sin.” Azar mengajak.
“Aku juga
ikut. Biar nggak terasa capeknya.” Randy menawarkan diri juga
“Ayo.
Ehm... Elsa mau ikut?” Sinta mencoba mengajak Elsa yang sedang duduk dirumput
berwarna hijau, dibawah sebuah pohon, menghadap ke pemandangan, dimana lembah
belerang terlihat jelas, dan bagaimana hijaunya tempat yang terlihat di depan
itu.
“Capek Sin,
Bolak-balik naik tangga. Ini aja kaki aku masih pegal.”
“ya udah,
kamu tunggu sini yah. Roland mana?” Sinta melihat ke sekelilingnya
mencari-cari Roland.
“mungkin
dia jalan-jalan disekitar sini. Nanti juga dia datang.” Elsa memijat-mijat
kakinya
“Tapi kamu
nggak apa-apakan kan sendirian, Sa. “ Sinta memastikan
“nggak apa.
Aku bakal nunggu kalian disini.” Elsa mengedipkan sebelah matanya.
Untuk
seorang Elsa, berjalan keatas saja begitu berat karena jalan dengan tangga yang
menanjak. Apalagi untuk bolak-balik berjalan naik turun, kakinya terasa akan
patah.
Elsa hanya
melihat punggung milik tiga orang itu yang berjalan, mulai menuruni tangga dan
membuang kembali pandangannya pada pemandangan dari ketinggian itu.
“Mana
mereka?” Roland tampak mencari-cari teman-temannya
“katanya
mau beli jagung dibawah sana.” Elsa menjawab dari bawah pohon tempat dia duduk.
Roland mendekatinya,
dan duduk disamping Elsa “terus kamu sendirian disini?”
“Tadinya,
tapi sekarang kamu disini kan?”
“heh”
dengus Roland “ah~ memang pemandangan dari ketinggian begitu indah, hampir
semua tempat yang kita lewati bisa terlihat.”
“Sayang...” ucap Elsa lirih.
Roland
melihat Elsa yang menghadapkan wajahnya melihat ke depan.
“Sayang,
tempat ini seperti nggak terlalu diperhatikan oleh pemerintah.” Lanjut Elsa.
“Kamu tahu?
Kalau awalnya, tempat ini adalah tempat wisata buatan alam. Ibaratnya tempat
ini menjadi tempat wisata yang alami.”
“terus?” Tanya Elsa.
“terus? Ya,
karena sentuhan tangan manusia yang membuat anak-anak tangga yang kita pijaki,
gedung-gedung Ibadah, Salib besar yang ada dipuncak, dua wajah yang ada di
tebing belerang, tempat parkir dan tempat-tempat makan, serta Tugu Toleransi
dibawah sana. Tempat ini menjadi tempat wisata buatan, walau masih ada unsur
alami dari belerangnya.”
“jadi monumen itu namanya Tugu Toleransi?”
“iya.” Roland menjawab pertanyaan Elsa yang tadi
sempat di tanyakan Elsa saat masih dibawah, di tempat Tugu Toleransi. Yang
sebenarnya telah di jawab oleh Azar, tapi Elsa tak begitu mendengarnya.
“kenapa
Tugu Toleransi, apa disini pernah terjadi sesuatu?”
“iya disini
pernah terjadi sesuatu.”
Roland tersenyum, namun senyuman yang tampak ja’il, seolah mencoba mengerjai
Elsa dengan perkataannya.
“apa? Di tempat
yang indah seperti ini, terjadi hal yang buruk?”
“Kamu belum
mengerti yah? Tugu Toleransi berbentuk segi lima dengan tiap sisi ada
agama-agama yang ada di Indonesia. Dari nama tempat ini saja Bukit Kasih, dan
Tugu Toleransi itu, serta bangunan tempat ibadah ini, semua agama yang berada
di Indonesia dikumpulkan disini untuk saling mengasihi. Dari s’logan kita aja,
kamu bisa tahu dong artinya?”
“S’logan?” Elsa kembali bertanya, mencari tahu apa
isi s’logan itu.
“Torang
samua basudara. Kita semua bersaudara. Kita nggak memandang kamu siapa dan aku
siapa. Ketika kita berada disini, kita semua menjadi satu tanpa pandang bulu.
Dan dari slogan itu juga ada peribahasa yang khusus juga ‘Sitou Timou Tumou
Tou’.”
“aku pernah
baca itu, tapi nggak ngerti artinya.” Mencoba mengingat akan apa yang pernah di baca Elsa.
“ ’Orang
Hidup Menghidupkan Orang lain.’ Kita hidup di dunia
tidak hanya sendiri, dan ada waktunya kita diatas ada pula waktunya kita berada
di bawah. Ketika kita berada di atas, kita
harus membantu mereka yang ada di bawah.”
“heh..”
Elsa tersenyum senang
“Kenapa?” Roland melihat wajah Elsa yang tersenyum.
“Sudah
beberapa bulan aku disini baru mengerti akan hal-hal itu. Hmm... ketika di
Jakarta, kami nggak mikirin mereka yang ada di pinggiran
jalan, asalkan telah member uang receh itu
sudah cukup, berpikir bahwa dengan member uang receh telah membantu mereka. Yang ada hanya memikirkan diri sendiri, segala pekerjaan yang
ada, tanpa memikirkan orang lain. Jadi begitu yah orang-orang yang ada disini.”
“nggak
semua orang yang mau saling membantu. Bagi mereka itu hanyalah sebuah s’logan,
bahkan ada yang tidak menganggap s’logan itu.”
“kamu juga?
kamu juga seperti mereka?” Elsa melihat pada Roland, dan menatap Roland.
Roland juga
menghadap pada Elsa “Menurut kamu? Aku nggak bisa menilai diri aku sendiri.”
“Kamu beda
dari mereka. Aku tahu kalau kamu suka membantu. Buktinya aja, kamu mau bantu
aku saat di sekolah. Ngomong-ngomong, kok mereka lama?”
“Sampai
ketempat jualan jagung juga belum.”
“keras
kepala sih mereka, mau makan tapi maksa turun kebawah.”
“kamu juga
keras kepala.”
“hah...” Bingung kembali melanda Elsa karena
perkataan Roland.
“bertahan
sendiri diatas sini, hanya karena kaki kamu pegal.”
“kan capek,
Land. Aku nggak biasa naik ke bukit kayak gini.”
Roland
sedikit terdiam mencoba mengatakan sesuatu sambil menatap Elsa “aku baru sadar kalau kamu senyum, mata kamu juga senyum yah.”
“mata?”
“Eyesmile, aku suka lihat orang yang
tersenyum matanya pun ikut senyum.”
“eyesmile, yah?”
“iya. Bagi
aku senyum yang murni dari hati seseorang akan lebih terlihat bila matanya ikut
tersenyum.”
“Dita?”
Elsa teringat akan sahabatnya itu.
“apa?” Roland mendengar kata Elsa.
“aku nggak
tahu, kalau kamu orang yang tepat untuk aku ceritakan tentang ini.”
“kamu harus
belajar percaya pada orang, Sa.” Sebuah suara datang dari samping mereka, sedikit jauh dari tempat mereka berada.
“Sinta dan
Randy mana, Zar?” tanya Roland
“masih di bawah,
tempat jualan jagung.” Azar yang datang duduk bersama Elsa dan Roland.
Seketika
itu juga, Elsa menghentikan pembicaraannya dengan Roland. Apa iya? Seorang Elsa
tidak bisa percaya pada orang lain?
“pemandangan
dari atas sini memang indah yah.” Azar berkata sambil melihat kedepan, melihat
akan pemandangan yang terlihat.
“baru
sadar?” tanya Roland
“Iya.
Selama aku datang kesini, aku nggak pernah menikmati pemandangan seperti ini.
Aku nggak pernah bisa menikmati pemandangan ini, karena datang dengan hati yang
gelisa.”
“gelisa
atau galau?” Roland menggoda, Elsa yang mendengar itu tersenyum.
“menurut
kamu? Aku hanya bisa menikmati pemandangan yang indah, bila hati sedang
senang.”
Roland
hanya menggelengkan kepala, sedang Elsa tetap terdiam. Masih memikirkan apakah
dia benar tidak bisa mempercayai orang.
“Dari
dulu...” Elsa mulai berucap, mencoba meyakinkan dirinya bahwa orang yang ada
disampingnya dan didepannya bisa dia percaya.
Roland dan
Azar melihat Elsa. Azar bahkan sedikit memutar badannya.
“mungkin aku
nggak bisa percaya sama orang lain. Aku nggak tahu mengungkapkan ini pada
kalian berdua, orang yang begitu dekat denganku adalah hal yang benar atau
salah. Pastinya, ini kedua kalinya aku akan percaya pada orang lain.” Lanjut Elsa
“kedua
kalinya?” Roland bertanya.
“iya,
selain keluarga ku, hanya satu orang yang sampai saat ini aku percaya.” Elsa kembali berkata dengan menjawab
pertanyaan pendek Roland.
“Dari awal
kamu dekat dengan kita, jadi kamu nggak pernah percaya dengan kedekatan itu?”
Azar berkata, sedikit merasa
tak pernah di percaya oleh Elsa.
“Aku nggak
tahu, Zar. Aku terlalu takut. Sejak duduk dibangku Sekolah Dasar, aku begitu
dekat dengan teman-teman sekelasku, aku begitu menyayangi mereka, bahkan merasa
kalau mereka itu lebih dari segala yang aku punya. Tapi...” Sejenak Elsa
berhenti, matanya mulai berkaca-kaca mengingat akan hal yang dulu pernah
dilaluinya, apalagi saat dia bersama Dita “disaat aku merasa mereka begitu
istimewa, disaat itulah mereka menghilang satu persatu. Maksudku menghilang,
mereka seperti tak ingin bersama lagi denganku. Setiap teman yang aku temui
selalu seperti itu. Makanya aku mencoba untuk menjadi dingin saat menginjak
SMP. Tak ada teman yang berani mendekatiku. Mungkin salahku juga karena nggak
mau begaul dengan mereka..”
“Aku pernah
tanya, saat hari pertama kita bertemu, Sa. Perasaan aku memang benar, kamu
nggak ngungkapin yang sebenarnya kan.” Roland sedikit menyelah, kembali mengungkit hal yang menjadi
pertanyaannya beberapa waktu yang lalu.
“itu benar,
hanya aku nggak bisa ngungkapin semuanya.” Elsa mencoba meluruskan.
“Lalu orang
yang kamu percaya itu?” Azar mencoba melanjutkan cerita Elsa dengan bertanya.
“Gadis
dengan rambut yang dikepang, dengan percaya dirinya datang mendekat saat aku
sedang membaca komik. Dengan satu alasan dia mendekat, memaksa aku untuk
memberikan sebuah senyum untuknya,” dengan air mata yang mulai jatuh, Elsa berbicara dengan senyum di
bibirnya ketika mengingat saat pertama ia bertemu dengan Dita.
“Senyum?
Awal aku lihat kamu, aku juga suka lihat senyum kamu, Sa. Dan eyesmile itu.” Azar mengungkapkan apa yang membuatnya ingin dekat
dengan dengan Elsa “selain itu aku memang ingin menjadi begitu dekat dengan
kamu.”
Setetes air
mata kembali jatuh membasahi pipi Elsa. Tak hanya setetes, disusul beberapa
tetes yang jatuh ikut membasahi pipinya.
“kamu
nangis?” Roland mencoba memberi sapu tangannya pada Elsa.
“saat gadis
itu memintaku untuk tersenyum, hal yang dikatakannya adalah eyesmile yang terjadi saat aku
tersenyum. Kalian berdua juga mengatakan tentang eyesmile ku. Aku tidak
mengerti apa yang istimewa tapi kata Dita ‘Aku
nggak tahu kalau hati kamu ikut tersenyum atau enggak, tapi itu yang aku ingin
lihat, senyum bibir kamu yang murni dan eyesmile kamu.’“
“udah?
Gitu aja?” Azar berkata ketika sejenak
Elsa terhenti bicara
“Gitu aja?
Kalau cuma begitu, kenapa aku harus cerita sama kalian tentang hal ini? Tanpa
dia, mungkin aku nggak akan bisa sedekat ini dengan kalian...” Elsa mulai
terisak “Bagaimana menurut kalian? Seseorang yang telah mengubah hidupmu, pergi
meninggalkan kamu. Tanpa dia, aku tidak bisa memiliki banyak teman saat di SMP.
Tanpa dia, aku tidak bisa merasakan bagaimana memiliki seorang sahabat yang
selalu ada didekatku. Bagiku, tak ada teman yang seperti dia. Nggak ada yang
bisa ganti’in dia. Dia
menjadi pelengkap dalam hidupku”
Azar
sedikit memajukan dudukannya kedepan dan tidur di rumput itu, menatap indahnya
langit berwarna biru dengan hiasan awan putih dan cahaya matahari yang terang
“eehmm... Semua teman itu sama, tergantung dari kita saja bagaimana kita
menilai sikap mereka terhadap kita.”
“Teman yang
baik adalah teman yang akan mengajak kita untuk melakukan hal yang baik. Dia
udah ngajar, yah sekaligus mengubah Elsa menjadi seorang yang hangat, jelas
Elsa merasa dia berbeda.” Roland beranjak kedepan tidur disamping Azar.
Elsa hanya
terdiam, sambil mengusap air matanya “memang nggak ada yang bisa seperti Dita.”
Elsa membatin. “tapi, untuk saat ini, merekalah yang menjadi semangat bagiku, aku merasa mereka menjadi Dita yang
melengkapi-ku saat ini. Berada disisi seorang
teman saat kita dalam masalah memang akan lebih berharga, dibandingkan berdiam
diri dalam kesusahan sendiri.” Lanjut batinnya.
“Zar! Minta
nomor handphone kamu dong?” Roland mengeluarkan Handphonenya dari saku jaket
berwarna hitamnya.
“Buat apa?”
“Udah,
jangan pelit. Biar kita lebih dekat.” Roland menyiku tangan Azar yang sedang
memegang handphone itu,
seolah member sebuah isyarat.
“ini!” Azar
menunjukkan sebuah kontak pada Roland. Yah, kontak milik Azar sendiri.
Beberapa
waktu kemudian, sebuah SMS masuk dari nomor yang tidak dikenal. Azar sedikit
ragu membuka SMS itu, mencoba memikirkan apakah dia mengenal nomor yang tak
memiliki nama itu.
“itu nomor
aku. Cuma mau test kalau benar tadi nomor kamu.” Roland menunjukkan
handphone-nya.
Azar segera
membuka SMS itu ‘Apa perasaan kamu,
melihat gadis yang kau suka menangis didepan kamu?’ Azar sedikit terkejut
“Hei!” Azar berteriak dan kembali berada dalam posisi duduk.
Roland
sedikit menunjukkan wajah kesal, mencoba memberi isyarat jika Elsa berada
bersama mereka.
“Kenapa?”
tanya Elsa
“Ah, kenapa
Randy dan Sinta lama sih? Bisa-bisa kita nggak sampai di Salib besar nanti.”
Azar mencari alasan agar Elsa tidak curiga ataupun penasaran akan teriakannya
pada Roland tadi, dan kembali lagi pada posisi tidur.
“ouh!” Elsa
sedikit bingung ketika melihat akan kedua orang yang tidur didepannya, sama-sama memainkan handphone mereka, tampak mereka
begitu dekat. Namun, Elsa tak begitu memikitkan akan dua orang itu. Ia
menekukkan kedua kakinya, menaruh kedua tangannya diatas dan menyandarkan
dagunya, menatap lukisan yang belum di tumpahkan pada sebuah kanvas dan belum
di coret dengan tinta. Lukisan
pandangan, yang membuat orang kagum melihatnya
Azar dan
Roland kembali melanjutkan percakapan melalui SMS itu.
“Jangan bilang? Lalu
kenapa? Kenapa kamu nggak hibur dia. Aku bisa ngerti melalui pesan kamu.” Balas Azar pada pesan itu
“Ah ya? Lalu bagaimana dengan kamu? Kenapa bukan kamu saja yang
hibur dia?”
“Aku rasa itu susah? Ya, setidaknya kamu memberi dia sebuah sapu
tangan.” Azar menghadap pada Roland
yang mulai membuka pesan itu
“capek!”
teriak Sinta ketika menginjakkan kaki kanannya pada tangga teratas.
“benar kan?
Kalau naik turun tangga itu capek, apalagi jaraknya yang jauh.” Elsa segera
memalingkan kepalanya pada Sinta yang sedang membawah plastik hitam yang berisi
jagung rebus itu.
“tapi sulit, Zar. Menyukai seseorang yang telah menganggap kita
sebagai teman baiknya.” balasan
pesan Roland pada Azar yang berada dalam posisi duduk.
“Menjadi temanpun tak apa ‘kan? Asal kita bisa selalu di sisi orang yang kita suka.” Azar membalas pesan itu.
“Ayo! Kita lanjut
jalan ke Salib besar.” Azar berdiri dari duduknya mencoba mengulurkan tangan
kanannya pada Elsa, namun Elsa lebih dulu meraih tangan orang lain, tangan
Roland.
“Tapi masih
capek Zar. Udah gitu, jagungnya?” Sinta mengeluh
“nanti
istirahat di atas, pas tiba di Salib aja sekalian jagungnya makan di sana.”
Azar mulai berjalan mendahului
“Randy
mana?” tanya Elsa.
“Aku
disini.” Randy mencapai tangga terakhir ditempat-tempat Ibadah itu, membawah
beberapa botol air mineral.
Tangan
Roland dan Elsa masih saling menggenggam, menyusul jalan Azar yang sedikit
lebih cepat. Sedangkan, Sinta harus pasrah dengan keadaan kakinya yang mengeluh
akan perjalanan yang melelahkan harus berlanjut lagi. Dan Randy, hanya santai
berjalan mengikuti arah orang-orang yang di depannya. Seakan lelah tak singgah di kedua
kaki-nya.
Mengambil
jalan pintas memang taklah mudah. Jalan yang menanjak, serta hanya batu-batu
yang tertanam ditanahlah yang menjadi pijakkan kaki. Untunglah jalan itu tidak
terkena hujan atau basah, bisa-bisa perjalanan mereka bisa lebih sulit lagi
karena jalan akan semakin licin bila terkena basa.
Salib yang
begitu besar berwarna putih itu dikelilingi oleh pepohonan pepohonan.
Pemandangannya pun bahkan lebih indah, karena hampir setiap tempat yang ada di
dua kecamatan bisa terlihat.
“Minggir-minggir!
Aku mau duduk!” Sinta menerobos Roland dan Elsa yang membuat kedua tangan
mereka tidak saling menggenggam lagi.
Puncak
Salib besar itu bisa di katakan sebagai sebuah jurang, karena berada di pinggiran
lahan sekitarnya bila salah melangkah bisa jadi fatal.
Elsa
berjalan menuju pinggiran jurang itu “Indahnya pemandangan ini.” Gumam Elsa
yang berdiri dipinggiran jurang itu.
“tanpa
melihat pemandangan seperti ini, semua yang disekitar kita adalah hal yang
indah.” Azar berdiri disamping kanan Elsa
“termasuk
sampah?” Elsa mencoba menegaskan sedikit
pernyataan Azar.
“Kita nggak
sadar aja kan? Sampah yang kita lihat, bangunan usang atau jalan yang
berlubang, selokan yang kotor. Bila di lihat dari
dari ketinggian semua tak terlihat kan, jadi begitu indah bukan?”
“Sampah
yang kita lihat, bangunan usang atau jalan yang berlubang, selokan yang kotor.”
Ulang Elsa “bila menjadi indah dari ketinggian, artinya itu keindahan belaka.”
“berarti
yang kamu lihat sekarang, keindahan yang belaka.” Azar tersenyum sinis.
Elsa
menggelengkan kepala sambil berpangku tangan “Sebenarnya, suatu hal akan
menjadi indah bila kita lihat dengan hati kita. Kita harus merasakan keindahan
itu, tak hanya melihat.”
“Hati?”
“tadi kamu
yang bilang kan ‘tanpa melihat pemandangan seperti ini, semua yang di sekitar
kita adalah hal yang indah.’ Bukankah melihat orang tersenyum kepada kita
adalah hal yang indah? Melihat orang tersenyum membuat hatiku terasa nyaman.”
“Kalau kamu
mau mendapat senyuman dari orang, maka sekarang tersenyumlah dan buat orang itu
tersenyum.” Roland menyelah dan perlahan berjalan berdiri disamping kiri.
Elsa
sejenak menatap Roland yang juga memalingkan wajah ketika Elsa menatap.
“Trouble maker!” gumam Azar sambil
melihat pada Roland.
Roland yang
memasukkan kedua tangannya pada saku celana depan itu, mengangkat keningnya itu, tersenyum kecil seolah berkata “She is my girl” dan merasa menang. Dan kembali melihat kedepan.
“Trouble Maker?” Elsa beralih menghadap
Azar.
“ah~ itu
loh, lagunya HyunSeung Beast ft. HyunAh 4Minute.” Azar beralasan sambil
menggaruk sedikit kepalanya yang tak gatal itu dengan tangan kanannya.
Roland
tersenyum, menganggap
perkataan Azar seperti sebuah lelucon,
karena tahu kalau Azar hanyalah mencari sebuah alasan.
“Ah~
bagusnya.” Sinta berdiri disamping Randy dan berteriak pada ketiga orang yang
berdiri bersama. Shinta dan Randy mendekati ketiga orang itu yang telah
berbalik melihat Sinta yang tiba-tiba berteriak itu.
“Ini
seperti? Apa yah? Entah deh, ayo kita makan jagungnya, sayang kalau nanti jadi
dingin.” Lanjut Sinta yang menunjukkan foto yang di potretnya
menggunakan handphone itu.
Dengan
gambar Elsa yang berada ditengah dan kedua tangannya yang dibelakang seperti
sikap sedang beristirahat ditempat, Roland disamping kirinya dengan kedua
tangan yang melengkung karena jari-jarinya yang dimasukkan kedalam saku, dan
Azar yang disamping kanan Elsa dengan sikap yang siap.
Kulit
berwarna kuning yang berlapis membungkus isinya, masih mengeluarkan asap tampak
menggugah selera.
“Aku benci
panas.” Elsa meletakkan kembali jagung yang sedikit sulit untuk di buka,
karena tangannya tak tahan lagi menahan panas itu.
Roland
memberikan jagung yang tak memiliki kulit lagi “Tanpa panas nggak akan ada
makanan yang bisa matang, Sa.”
“Makasih,
Land.” Elsa menerima jagung itu, dan Roland mengambil jagung yang di letakkan
Elsa tadi.
“Lagi?”
kata Azar sambil menatap Roland,
melihat akan apa yang di lakukan Roland.
“hah? Apa,
Zar?” Sinta bertanya karena mendengar kata Azar itu
“Again and Again! Lagunya 2PM itu loh. Again artinya Lagi ‘kan? Aku cuma coba
ingat aja arti itu.” Azar mencari alasan lagi
“Ya, lagi.
Anak dari SMA Swasta emang harus belajar bahasa Inggris setiap waktu yah?”
Roland menggoda Azar sambil tersenyum.
“Cepat,
kita harus segera turun.” Azar sedikit jengkel.
“kok dari
tadi cepat-cepat sih, Zar?” tanya Sinta.
“Takut
nanti keburu gelap, Sin.”
“Tenang
Zar. Nggak akan sampai gelap kok.” Randy menepuk punggung Azar.
Matahari
memang masih memancarkan cahayanya. Sebuah alasan yang tak masuk akal, bila
Azar takut matahari akan segera terbenam. Waktu pun mendukung, karena masih
tiga jam lagi baru matahari akan terbenam dan di gantikan
oleh bulan.
Tak ada
yang mendengar kata Azar untuk turun lebih cepat, membuat mereka mengambil
beberapa gambar untuk kenangan.
“Kita
berfoto berdua yuk? Semua dari kita harus berfoto secara bergantian tapi
berdua, gimana?” Sinta mengusulkan
“Aku mau
turun sekarang.” Azar berjalan menuju jalan yang sama yang di lalui
mereka untuk datang ke Salib besar.
“Eh, Azar.
Jangan gitu dong.” Elsa menyusul Azar, mengikuti di belakang
Azar.
Untuk beberapa
saat, Roland, Randy, dan Sinta, belum mengikuti dua orang yang mulai berjalan
itu.
“Elsa?”
Roland mencoba memanggil.
“Roland,
foto-in dulu aku sama Randy sebentar dong.” Sinta memberikan handphonenya.
Merasa aman
karena dia tahu Elsa berjalan bersama Azar, dia terus memenuhi permintaan Sinta
untuk mengambil gambar-gambar melalui handphone.
“Zar..
Azar.. pelan-pelan. Jalannya berbatu loh, nanti jatuh?” Elsa terus mengingatkan
Azar
“Ahh..”
Elsa berteriak ketika menuruni turunan batu terakhir dimana mereka tiba di tempat-tempat
ibadah lagi. Celana Elsa menjadi kotor karena jatuh di turunan batu itu.
Azar terus
berjalan tak memperdulikan teriakan Elsa itu. Elsa kembali berdiri, masih
berjalan mengikuti langkah Azar. Yang berhenti di depan tangga memasuki gereja
dan duduk di tangga itu.
“orang yang
terluka pun tak akan kita hiraukan bila suasana hati kita sedang buruk. Benar
‘kan?” Elsa berdiri di
depan Azar yang sedang duduk itu.
Azar
melihat Elsa yang bergerak duduk di sampingnya. Celana berwarna
hitam yang di kenakan Elsa menjadi perhatian Azar.
“Celana
kamu kotor. Jatuh dimana?” Azar sedikit khawatir
“ah,
benarkan.” Elsa tersenyum melihat pada Azar yang memperhatikan kakinya. Elsa
memalingkan kepalanya melihat pada jalan menuju tempat Salib besar. “Roland dan
Randy pasti sedang menuruti permintaan Sinta yang akan terus minta untuk di foto.
Atau salah satu dari mereka akan menjadi model yang berfoto bersama Sinta.” Elsa
kembali melihat pada Azar yang sedang merogo kantongnya.
Sebuah sapu
tangan berwarna biru berada di telapak tangan kanan Azar. Azar segera
membersihkan celana Elsa yang kotor dengan sapu tangannya.
“Berhenti.
Aku bisa membersihkannya sendiri. Jangan buat aku jadi gugup.” Elsa mencoba
menghentikan tangan Azar yang terus bergerak membersihkan celananya.
“Kamu jatuh
dimana sih? Makanya hati-hati.”
Elsa
menarik tangannya, menaruh kedua telapak tangannya pada lantai tangga. “kalau
aku ngga coba menghentikan seseorang, pasti aku nggak akan jatuh.”
“jangan
mencoba untuk menghentikan seseorang. Disaat kamu mencoba menghentikkannya,
disaat itulah kamu akan terluka.”
“hehh~
dasar. Jengkel sih boleh, tapi jangan sampai kamu ninggalin teman-teman kamu.”
“nggak
jengkel, kok. Sudah lumayan bersih celana kamu.” Azar berhenti membersihkan
celana Elsa “lain kali hati-hati.”
Dengan
cepat Elsa merebut sapu tangan Azar “Biar aku cuci, aku balikinnya nanti.”
“Untung
kamu nggak apa-apa.”
“siapa
bilang aku nggak apa-apa?”
Azar menatap
Elsa yang menggenggam sapu tangannya.
“Aku harus
menuruni jalan itu dengan hati-hati namun dalam langkah yang cepat, dan
terjatuh. Apa itu nggak apa-apa?”
Azar
terdiam dalam batinnya “Manja, yah?”
itulah yang dipikirkannya. Saat ini dia berada bersama dengan seorang anak gadis yang manja.
“Mungkin
saat ini kamu berpikir kalau aku manja karena merengek untuk hal seperti itu.”
Elsa melihat samping wajah Azar “sebenarnya, aku nggak ingin bilang itu. Aku
cuma kesal, kenapa aku harus ngejar kamu tanpa alasan sampai aku yang terjatuh?
Alasan yang sangat nggak jelas.”
“iya, aku
emang sempat mikir kamu manja. Tapi, aku juga khawatir karena kemanja’an kamu
itu.”
“hemm...
Apa aku memang manja?” Elsa tersenyum.
Suasana
dengan itu di temani hembusan angin di wajah dua orang yang duduk
bersama itu, beberapa orang pun
berjalan lewat di depan mereka.
Waktu
menunjukkan pukul empat sore, lima orang itu berjalan bersama menuruni tangga
demi tangga untuk kembali ke Tugu Toleransi.
Air panas
diantara belerang itu memang mendidih. Padahal tidak ada pemanas, atau api di sekitarnya.
Air itu
adalah air panas alami yang mengandung belerang. Banyak bilang bila air yang
mengandung belerang itu memiliki khasiat bagi mereka yang memiliki gangguan
penyakit, apalagi mereka yang memiliki luka dibadan.
Tak adalagi
yang bisa mereka lakukan di Bukit kasih, kecuali mandi di kolam pemandian air
panas. Sayangnya, tak ada dari mereka yang membawah baju ganti untuk mandi
menikmati air panas alami itu.
Make My Life Complete Sinopsis
Make My Life Complete Part 1
Make My Life Complete Part 2
Make My Life Complete Part 3
Make My Life Complete Part 4
Make My Life Complete Part 5
Make My Life Complete Part 6
Make My Life Complete Part 7
Make My Life Complete Part 8
Make My Life Complete Part 9 (Last)
No comments:
Post a Comment