Tuesday, 30 December 2014

From Kpop to West Pop




            Baca dulu elah... Nih judul kayaknya nggak masuk ama apa yang bakal ditulis deh :D ...
            Well, sebelumnya aku mau ucapin Selamat Natal (25 Desember 14) and Happy birthday to our Alien a.k.a TaeTae a.k.a Kim TaeHyung a.k.a V BTS a.k.a 4D-nya BTS.
            Kenapa judulnya seperti itu? From Kpop to West Pop? Udah pinda haluan ya mba?
            Hahahh,, iya, aku suka lagu-lagu barat dalam bahasa Korea :’D *loh?*
            Artis barat yang aku suka Jasson Mraz, lagu-lagunya ada dua album, itu aku download loh, tulus, beneran ^^v. Cuma itu sih, yang lain? Paling bluetooth. Didengar nggak? Ada dong. Kapan? Berapa kali? Pas baru dibluetooth aja -.-“
            Dan yah, lagu nya Jasson Mraz kan ada dua album? Hafal semua? Berapa kali didengar? Mau dibandingin ama lagunya trouble maker ‘Now’, lagunya yah, kayaknya masih lebih banyak trouble maker.
            Yes, dibanding dengerin lagunya, lagu-lagu barat di leptop lebih kayak pajangan. Biar pas ada orang yang iseng jalan-jalan di leptop aku, pas buka folder lagu, noh ada satu folder dengan tulisan ‘Barat’.
            Dalam pengetahuan musik barat, kayaknya kalah telak deh sama teman-teman aku. Menyerah aja deh.
            Dan yah, ini bermula dari BTS a.k.a Bangtan Boys.
            Kenapa BTS? Karena dibandingin grup lain, saat BTS meng-cover lagu barat, tuh lagu diubah ke dalam bahasa Korea terlebih dahulu.
Sebelum debut, BTS juga udah keluarin MV ‘Graduation Song’ *salah satu lagu fav nih* yang... yah, itu di cover dari lagu ‘Wild, Young, and Free’, begitu juga dengan beautiful.
Sebelumnya, aku udah baca ya soal BTS yang cover lagu-lagu itu, tapi ‘dihiraukan’ *mianhae J* yah, dan saat di mikrolet/? Tuh supir muter lagu asli dari Beautiful, kebetulan juga berlanjut dengan lagu aslinya ‘Graduation Song’. Nah disitu aku ngerasa, wih ni lagu keren pas jadi bahasa Korea :3 *no bash*
Itu pertama kalinya aku dengar versi asli dari lagu Beautiful dan Graduation Song. Lagu itu emang keren.
Dan baru-baru ini juga, menjelang Natal, suami sama oppa aku *Cuma oppa ye, no more* *no bash, ARMY* rilis lagu cover lagi, judulnya ‘Christmas Day’ yang ternyata, itu aslinya lagu JB – Mistletoe. Bukan JB GOT7 tapi Justin Bieber *tau elah*.
Mistletoe yah? Aku juga baru menghayati/? dan mendengarkan dengan baik dan benar lagu itu pas dirilis ama Jungkook dan Jimin :v dan setelah itu, aku coba dengerin versi aslinya karena kebetulan nyasar/? di folder lagu ‘Christmas’ yang ada dileptop. Yah, iupun didenger Cuma untuk sekedar ngecek, yah sekali diputer lalu diganti lagi jadi Christmas Day.
Well, dan aku jadi suka sama tuh lagu versi J&J yah... Itu lagu keluar udah beberapa tahun yang lalu kan? Saat itu teman aku yang Beliebers nyampein tu info, katanya ‘eh JB rilis lagu natal, judulnya mistletoe’ aku cuma ‘hahh’ bingung sendiri. Well, saat itu aku ngerasain apa yang dirasain teman aku yang non-Kpop pas denger aku bercerita segala hal tentang Kpop. Dia Cuma bilang aja, tapi untunglah nggak suruh aku dengerin tuh lagu. Ok, aku disini bukan hater-nya JB yah, cuma yah biasa-biasa aja, bisa dibilang nggak peduli lah.
Dan beberapa hari kemudian, kita lagi persiapan buat ngerayain natal kan (biasanya di sebut ibadah Pra-Natal) temen aku nyiapin tuh lagunya JB buat dipakai dance. Nah dianya mo nunjukin tuh lagu, terus di puter sambil ngikutin tuh lagu dia mulai nunjukin gerakan dancenya. Jelas aku lihat dia nge-dance, dan emang nggak fokus ama lagunya. Kalo nggak salah, belum dua menit tu lagu diputer langsung dimatiin, soalnya aku langsung pergi gitu aja. Aku ingat kenapa lagu itu sampe nyasar dileptop, karena dikirim buat dipakai latihan, kan tu leptop mo disambung di speaker, jadi lagunya juga perlu di copy. Beberapa kali tu lagu diputer tapi aku nggak fokus *nggak fokus atau nggak punya niat?* ya gitu deh, aku nggak ingat irama bahkan liriknya sekalipun *jahat*
Saat Christmas Day dirilis, aku akhirnya tahu lagu itu, dan yang ternyata lagu itu bagus.
Ini juga, yang ulang tahun malah rilis lagu yang di cover dari ‘Someone Like You’. Yang ulang tahun siapa, yang dikasih hadiah siapa :v Taehyung kayak ngasih hadiah diakhir-akhir tahun. Akhirnya bisa dengerin suara Taehyung nyanyi dengan durasi waktu yang lama, kan bagian Taehyung kalo nyanyi nggak sebanyak rap yang ada :3 aku excited mau denger suara Taehyung, karena emang suka ama suara maknae line (Jimin, V, & Jungkook). Suara mereka bertiga joha joha joha like like like suka suka suka ^^
Semoga BTS terus rilis lagu cover ya, biar aku juga lebih sering unduh lagu-lagu barat...dalam bahasa korea :v sama aja bo’ong yah. Eh, jangan cuma BTS, yang idol lain juga dong jebal, biar lebih banyak lagu yang bisa di unduh dan dipelajari :v
Ok, kayaknya sampai disini dulu, mo siap-siapnyusun rencana dulu yah buat tahun yang akan datang.. bye bye.. eh, jangan lupa juga baca Make My Life Complete (Novel Online) bisa dilihat di kanan atas ada link nya. Tunggu lima detik yah lalu klik ‘Skip Add’
GOMAWO ^^ *BOW*

Thursday, 18 December 2014

Make My Life Complete: Part 9 (Last)

 
SAHABAT
Waktu dimana Ezra muncul dari dalam toko sudah lewat. Untuk beberapa waktu Ezra menjadi pembicaraan yang hangat bagi anak-anak gadis di sekolah. Bahkan, Azar adiknya pun terkena imbas dari sang kakak.
Bahkan, gadis-gadis yang ada di tingkat Sebelas dan Duabelas sering menemui Azar di kelasnya untuk menanyakan bagaimana keadaan kakak Azar.
Ezra hanya tertawa ketika Azar menceritakan hal itu. Tapi, itu adalah hal yang sudah lewat. Sekarang kehidupan Azar di sekolah tidak lagi di hampiri oleh anak-anak gadis yang berbondong-bondong datang memberikan segudang pertanyaan untuk kakaknya.
Waktu terasa berlalu begitu cepat. Dan sekarang waktu berada di awal bulan kedua dalam kalender atau bulan Februari. Entah apa yang akan terjadi di bulan yang hanya memiliki duapuluhdelapan hari ini. Hal  yang baik dan buruk, menyenangkan atau sedih, rusuh atau tenang, hanya Yang Di Atas lah yang tahu, Dia yang merencanakan setiap waktu yang harus kita lalui.
Pagi yang indah di hari keduabelas dalam bulan yang kedua itu, adalah hari yang istimewa untuk seorang Elsa.
“Selamat ulang tahun! Elsa! Ayo cepat bangun.” Kata Oma Elsa yang membuka selimut yang masih menutupi tubuh Elsa.
Hari ulang tahun adalah hari di mana setiap orang begitu menantikannya. Sekalipun ada begitu banyak hari besar yang dinantikan banyak orang, namun hari ulang tahunlah yang menjadi hari paling di tunggu-tunggu untuk setiap orang.
Bertambah satu tahun lagi! Orang-orang pasti begitu bersyukur karena satu tahun yang telah dilewati mereka telah berlalu.
Sungguh! Tak hanya ucapan selamat dari orang-orang yang ada di rumah. Teman-teman di sekolah ataupun di Facebook memberikan selamat pada Elsa yang kini genap enambelas tahun.
Enambelas tahun sudah Elsa di berikan kesempatan untuk ada di dunia ini.
Mobil berwarna hitam itu berhenti di samping Elsa ketika sedang dalam perjalanan pulang. Kaca pintu mobil itu perlahan-lahan turun, wajah orang yang mengendarai mobil itu tampak mulai terlihat. Tak ada orang lain dalam mobil itu selain pengendaranya.
“Happy Birthday!” Ezra datang membawa sebuah kotak yang telah di hiasi dengan sebuah pita biru dan di bungkus dengan bungkusan kado berwarna merah.
“Kak!”
“Ayo cepat masuk kemobil.” Ezra membuka pintu mobil.
Elsa segera masuk, duduk di kursi depan samping pengendara itu dan menerima hadiah dengan hiasan yang nampak cantik itu.
“Makasih kak! Ini isinya apa?” Elsa mencoba membuka kado itu.
Ezra menghentikan tangan Elsa “Jangan di buka disini dong. Nanti pas kamu di rumah.”
“Terus sekarang kita mau kemana, Kak? Ini kan udah lewat dari rumah Elsa.”
“Kamu tahu biapong?”
“Cuma pernah dengar aja Kak! Memangnya kita mau kesana?”
“nggak ada tempat lain untuk raya’in ulang tahun kamu. Jadi, kita ke tempat makan biapong aja.”
“Raya’in? Berarti banyak orang yang disana yah?” Elsa meletakkan hadiahnya pada kursi belakang mobil itu.
“Iya banyak orang.”
Biapong adalah makanan dengan daging yang di campur beberapa bumbu rempah di tambah dengan potongan telur lalu di bungkus dengan daging beroti. Biasanya biapong berwarna putih dengan alas sebuah kertas dibawahnya.
Suasana di rumah makan kopi itu tampak ramai, dengan dinding kaca yang transparan hingga suasana yang ada di dalam ataupun di luar begitu terlihat jelas.
Pelayan itu mengantar dua cangkir kopi susu serta beberapa biapong yang di susun pada sebuah piring berbentuk bulat pada meja yang ditempati Elsa dan Ezra. Tempat yang mereka pilih tepat berhadapan dengan jalan raya, berada di pinggir bagian ruangan dari rumah kopi itu.
“Katanya mau raya’in ulang tahun Elsa?” Elsa bingung ketika tidak melihat seorang pun yang di kenalnya duduk, makan, dan minum di rumah kopi itu, kecuali Ezra yang bersamanya.
“Ini mau kita raya’in?”
“terus mana mereka?”
“Mereka? Mereka siapa?”
“Tadi kakak bilang banyak orang yang mau raya’in ulang tahun Elsa disini ‘kan?”
“Kapan aku bilang gitu?”
“Tadi, pas mau datang kesini.” Elsa mulai kesal.
Ezra mencoba mengingat apa yang sempat ia katakan pada Elsa yang mulai menunjukkan wajah kesalnya itu.
“Oh! Itu yah! Ia disini banyak orang yang datang untuk makan biapong, bukan untuk raya’in ulang tahun kamu.” Azar menyerup Kopi susu yang di depannya.
“Jadi yang disini cuma kak Ezra sama Elsa, gitu?”
“Tepat! Harusnya aku bilang dari awal yah kalau cuma kita berdua yang raya’in ulang tahun kamu ini, supaya wajah kamu yang serem itu nggak aku lihat.”
“Tapi kenapa nggak ngajak yang lainnya?”
“Aku cuma mau makan sama kamu. Ini ‘kan hari spesial kamu, lagian bentar lagi aku harus kembali sekolah.”
“Aku senang, di saat ulang tahunku kak Ezra masih ada disini.”
“Memang seharusnya aku ada di hari seperti ini ‘kan?”
“tapi, bagiku ulang tahun yang istimewa adalah ulang tahun dimana orang-orang yang kita sayang ada bersama, merayakannya bersama.”
“Apa hari ini hari istimewa untukku?” Ezra mengunci kedua tangannya diatas meja.
“Apa?” tampak wajah Elsa yang kebingungan.
“Kita tidak harus merasa istimewa ketika kita berulang tahun! Berada di sisi orang yang kita sayangi merupakan hal yang spesial bagiku.”
“Sebenarnya, tak masalah itu suatu hal yang spesial atau tidak! Merasa bahagia dan tersenyum saja merupakan hal yang paling istimewa dalam hidup!”
Ezra terus melahap biapong yang ada di depannya, meminum kopi susu. Elsa memegang cangkir kopi susu itu dengan kedua tangannya, perlahan-lahan mengambil biapong untuk di makan.
Rasa dari biapong itu, di tambah dengan secangkir kopi susu memang tak ada bandingnya. Semua biapong yang di pesan mereka habis, yang tersisa hanyalah kertas yang menjadi alas biapong dan piring tempat menatanya serta dua cangkir yang tersisa hanyalah ampas kopi.
***
Biapong dan kopi susu itu, serta rumah kopi itu adalah tempat pertemuan terakhir Elsa dan Ezra. Ezra kembali melanjutkan studinya di luar negeri. Sementara Elsa, hanya merasakan beberapa waktu bersama Ezra. Ini seperti mimpi bagi Elsa, ia harus menunggu berbulan-bulan lagi untuk Ezra pulang, atau mungkin menunggu selama bertahun.
“Tapi, Istimewa memang bukanlah saat ketika kita berulang tahun atau bersama orang yang kita sayangi. Istimewa adalah saat dimana kita masih dapat bernafas didunia ini dan masih menatap dunia ini.”
Elsa mengingat perkataan Ezra ketika mereka makan di rumah kopi saat ulang tahun Elsa.
“Zar! Apa yang istimewa... menurut kamu?” Elsa bertanya pada Azar yang duduk di belakang kursi tempatnya saat jam istirahat sekolah.
“Seseorang.” Jawab Azar yang sedang menyalin catatan Roland.
“Yang jelas dong.” Elsa mendesak.
“Aku nggak mungkin bilang tahu. ‘Seseorang’ itu rahasia.”
“Apa cuma ‘Seseorang’ itu aja?” Elsa tampak penasaran.
Azar menghentikan sejenak menyalin catatan itu “Papa, Mama, Kakak, teman.... kayaknya semua. Tapi yang paling istimewa ya ‘Seseorang.”
“’Seseorang’ atau ‘Sesuatu’?” Elsa menghadapkan kepalanya ke depan.
“Zar? Buku aku udah belum?” Roland saat itu masuk dengan sebotol air mineral dalam genggamannya.
“Sedikit lagi, Land.”
“kalau udah masukin ke tas aku yah?” Roland duduk di tempat Vincent yang kosong, dan menghadap pada Elsa yang tetap menatap kedepan.
“Okey~” jawab Azar yang masih fokus pada catatan yang sedang di salin.
“Land?”  Elsa tiba-tiba menghadap pada Roland “Menurut kamu... apa yang istimewa bagi kamu?”
Roland berpikir sejenak “Kenapa kamu nggak tanya sama Sinta?”
“Ini pertanyaan buat kamu, bukan untuk Sinta. Jadi, apa?”
“Seseorang.” Jawab Roland yang persis dengan jawaban Azar.
“Hahh? Jangan becanda dong. Ini serius.”
“Mama... Papa... Adik... Kelua...” Roland belum menyelesaikan bicaranya.
Elsa segera memotong dan kembali menghadap kedepan “Udah pasti ujung-ujungnya yang istimewa itu ‘Seseorang’ iya ‘kan?”
“Kamu udah tahu. Terus kenapa nanya?”
“Aku kira kamu punya jawaban lain. Kalau kamu gimana, Sin?” Elsa segera beralih pada Sinta yang sedang bertiduran di meja.
Sinta segera mengangkat kepalanya, sedikit bersandar pada meja “Apanya, Sa?”
“ya, apa yang istimewa bagi kamu?”
“Sekolah tanpa belajar dan tanpa pekerjaan rumah adalah hal yang istimewa untuk saat ini. Udah ah, aku mau tiduran dulu, semalam aku tidurnya larut.” Sinta kembali pada posisi tiduran dimejanya.
“Kalau gitu, kenapa kamu mau sekolah? Kenapa nggak berhenti aja? Terus apa gunanya sekolah tanpa belajar.” Elsa memukul pundak Sinta.
“Lagian...” Roland berkata “Kamu kenapa tanya tentang hal yang istimewa sih?”
“Aku cuma mau, bandingin aja hal yang di rasa orang itu istimewa, apa sama dengan orang yang lain.”
“Ah selesai. Nih, Land bukunya. Makasih yah.” Azar menutup bukunya dan mengembalikan buku Roland ke dalam tas.
“Setiap orang memiliki hal yang istimewa, tapi berbeda dengan orang yang lainnya.” Lanjut Azar.
“Setiap orang memiliki hal yang istimewa bagi diri mereka sendiri. Bisa saja orang itu merasa bahwa dirinyalah yang istimewa.” Tambah Roland.
“Land, itu mama kamu kan?” Sinta melihat keluar kelas.
“Ah, iya.” Roland berlari keluar kelas menuju ruang guru di mana Mamanya berada “aku kesana dulu yah.”
“Kenapa mama Roland datang kesekolah? Apa dia buat masalah?” Azar mencari tahu.
“Mungkin dia mau izin kali. Makanya mama Roland datang kesekolah.” Elsa menebak-nebak.
“Iya, biasanya kalau ada urusan yang penting, orang tualah yang datang ke sekolah untuk izin anaknya.” Sinta menambahkan.
Mobil yang mengantarkan Mama Roland, melaju keluar sekolah. Roland tampak berjalan di tengah lapangan. Wajahnya tampak begitu murung, jalannya pun begitu lambat, kepalanya tertunduk, Roland seperti sedang merenungkan sesuatu.
Roland berada di depan kelas, menggesek-gesekkan kakinya pada keset kaki yang ada sebelum masuk kedalam kelas dan duduk di tempatnya.
“Aku kira kamu mau pulang, Land?” Sinta menaruh kedua tangannya pada meja Roland.
“Siapa mau pulang?” Roland berkata dengan wajah datar.
“Tadi, mama kamu datang ‘kan? Aku kira kamu mau izin?” Sinta menunjuk pada sebuah gedung yang menjadi ruangan guru.
“oh! Bukan mau izin, mama cuma...” sejenak berhenti “Mama cuma datang gitu aja. Nggak jelas.”
“Land, memang benar yah?” Ferry datang  langsung menduduki tempatnya yang ada di samping Roland.
“Apa sih kamu? Roland tuh nggak mau izin, mama nya yang datang gitu aja ke sekolah.” Sinta sedikit mendorng kepala Ferry ketika berada di depan meja tempat Roland.
“Bukan. Katanya kamu mau pin...” Ferry melihat isyarat kecil dari Roland agar tidak melanjutkan perkataannya.
“Pin...?” serentak Elsa, Sinta, dan Azar bertanya karena perkataan Ferry yang kurang lengkap itu.
“Pin.. apa?” Elsa penasaran.
“Mau...” Ferry berpikir mencari alasan yang tepat agar mereka tidak mendesak untuk mencari tahu lagi “Pin.. Super Junior. Iya, Roland mau pin Super Junior. Nanti kalau kamu mau pesan, bilang sama aku aja yah, aku punya kenalan yang jual murah.” Ferry segera berdiri dari duduknya menjauh dari mereka berempat.
“Pin Super Junior?” Sinta berkata kecil.
“Udah, nggak penting.” Roland segera menidurkan wajahnya di atas meja dengan kedua tangannya sebagai alas.
‘Yeah~~’ sorakkan siswa-siswa ketika bel panjang yang menandakan sekolah berakhir di hari itu serentak terdengar dari kelas sepuluh hingga siswa kelas ujian, kelas duabelas.
Untuk siswa-siswa, saat yang paling menyenangkan adalah saat dimana mereka bisa kembali ke rumah. Melepaskan segala penat yang ada karena hampir delapan jam mereka harus memacu otak untuk menerima setiap kata demi kata dalam pelajaran.
“Sinta pulangnya cepat, Azar di jemput. Jadi nggak seru yah kalau pulang cuma kita berdua aja yah, Land?” Elsa memeluk dua buah buku cetak.
“Nanti bakal lebih nggak seru lagi.” Roland berkata dengan kepalanya yang menunduk dan kedua tangannya yang berada pada saku celana.
“Lebih nggak seru gimana?” Elsa menatap Roland
“Hahh?” Roland membalas tatapan Elsa.
“Tadi kamu bilang ‘Nanti bakal lebih nggak seru lagi’, maksudnya apa sih.”
“mungkin nggak akan seru lagi kalau kita sendiri ngga akan bersama...” kata-kata Roland mulai kacau “selalu pulang seperti ini...”
“Stop! Stop! Kamu bilang apa sih? Nggak ngerti tahu. Lagian kamu dari tadi, kayak cemberut terus?”
“masa? Aku senyum-senyum kok.” Roland mencoba membuat sebuah lengkungan di bibirnya.
“Apa’an tuh? Kamu ada masalah yah?”
“Nggak kok, Sa.”
“bohong! Masalah mama kamu yang datang kesekolah tadi? Nggak mungkin orang tua datang kesekolah tanpa alasan yang nggak jelas ‘kan?”
“Benar nggak ada apa-apa. Lagian kepala sekolah kita ‘kan kenalan mama aku. Mungkin mama datang untuk mengundang kepala sekolah makan-makan, gitu..”
“Nggak mungkin. Pasti ada hal yang lain ‘kan?”
Handphone yang ada di kantong Elsa bergetar. Sebuah pesan dengan nama Sinta sebagai pengirimnya berada pada layar depan handphone.
“Oh! Makan-makan untuk perpisahan yah?” Elsa berkata setelah membaca pesan dari Sinta.
“Perpisahan? Perpisahan apa?” Roland bingung.
“Nih baca sendiri?” Memberikan handphone-nya yang masih membuka pesan dari Sinta. Roland yang membaca itu langsung terdiam, karena isi pesan itu;
‘Kamu dimana, Sa? Kamu masih di jalan pulang bareng Roland ‘kan? Katanya, Roland mau pindah sekolah, Sa. Mungkin karena itu, tadi mama Roland datang ke sekolah.’
Elsa merebut handphone-nya “Kenapa harus pindah, Land?”
“Alasan yang nggak penting.” Roland segera berjalan di sebuah tikungan itu, menuju rumahnya. Tikungan dimana Roland dan Sinta sering berpisah dengan Elsa dan Azar saat pulang sekolah.
“Apa? Apa kamu juga nggak bisa percaya dengan orang lain? Aku bisa jadi percaya sama kamu dan Azar, kenapa kamu nggak bisa percaya sama aku, Land?” Elsa segera berjalan, mengikuti jalan menuju rumahnya dengan jalan yang cepat.
Elsa berjalan dengan penuh kekesalan dalam hatinya. Dengan buku yang masih di peluknya erat. Lengan Elsa seketika di pegang oleh seseorang yang membuat langkah Elsa terhenti “Kenapa? Kenapa kamu belum berkemas?” kata Elsa ketika melihat orang yang memegang tangannya itu.
“Kamu nggak masalah kan kalau pulang sedikit terlambat? Ayo ikut.” Roland menyeret Elsa kembali, menuju jalan kesekolah.
Tetes-tetes air hujan mulai berjatuhan dari atas langit yang mulai tertutupi dengan awan hitam.
“Kenapa kita kembali kesekolah?” tanya Elsa dalam perjalanan mereka.
“Kamu mau jadi orang yang aku percaya ‘kan?”
“Aku kira itu nggak perlu lagi?” Elsa melihat pundak orang yang masih menyeretnya.
Hujan turun sangat deras, lapangan sekolah seperti menjadi danau kecil. Tetesan-tetesan air hujan itu jatuh dari atas atap sekolah, Roland menjulurkan tangannya, mencoba menampung air hujan yang menetes deras itu.
“Sekarang aku nggak bisa pulang. Coba kalau kamu nggak suruh aku balik, pasti sekarang aku lagi tidur-tiduran.” Elsa kesal. Kekesalannya jadi bertambah karena tidak bisa pulang rumah.
“Aku juga jadi nggak bisa pulang! Belum bisa mengemas barang-barang aku.” Roland memasuki kelas, duduk diatas meja.
“Tapi kamu kan yang ngajak kembali kesekolah?”
“Terus kenapa kamu mau ikut?”
“Iih, terserah kamu deh. Orang kamu yang nyeret aku. Coba kalau kamu udah pulang, pasti sekarang lagi beres-beres ‘kan?”
Roland melihat sejenak pada Elsa yang memandanginya dengan wajah yang kesal dan memalingkan wajahnya pada halaman sekolah yang masih di guyur hujan.
“Tadi kamu tanya ‘kan? Apa yang istimewa bagi aku...”
oh itu.” Elsa mengingat kembali “Kamu bilang ‘seseorang’ ‘kan?
“Apa kamu pikir aku memiliki keinginan untuk pindah, menjauh dari orang yang istimewa bagi ku?”
“Lalu, kenapa kamu tetap mau pindah?”
“Bukan aku, Sa! Tapi papa aku. Dia di minta perusahaan untuk kembali ke Jakarta. Menurut kamu...” Roland menatap lekat Elsa yang masih memandanginya “Apa orang yang bagiku istimewa itu akan menangis atau sedih saat aku pindah?”
“Mungkin?” Elsa menjawab sambil menerka.
“kayaknya enggak? Dia nggak akan sedih.
“Nggak? Kenapa nggak?
“Saat ini aja, dia lagi kesal, karena aku mau pindah. Asal kamu tahu, Sa. Pandangannya saat ini ke aku terlihat penuh kekesalan.”
“Dia..? Saat ini? Maksud kamu..?” Elsa mulai mencerna perkataan Roland
“Kamu. Hal yang istimewa bagi aku, itu kamu.”
Elsa terdiam tetap memandangi Roland, wajah kesalnya berubah menjadi wajah terkejut setelah mendengar kata Roland.
Suasana menjadi hening, mereka saling menatap satu dengan yang lainnya.
“Apa kamu masih mau ninggalin orang yang istimewa itu? Setelah tahu dia akan sedih kalau kamu pindah?”
“Nggak ada pilihan lain. Aku harus mengikuti orang tua. Sekalipun aku juga akan sedih melihat orang yang istimewa itu bersedih.”
“Nggak ada pilihan lain? Semuanya adalah pilihan. Hanya saja, kita dipilih untuk mengambil pilihan itu.”
“Seandainya, didunia ini nggak ada pilihan? Aku akan tetap sekolah, beraktifitas, dan menemukan arti kenapa aku harus hidup ditempat ini.”
“kalau nggak ada pilihan? Sekolah disini, beraktifitas disini, tujuan menemukan arti hidup disini, dan segala hal yang kita lakukan itu aja sudah pilihan yang kita lakukan, Land.”
“terus! Apa aku tetap harus mengikuti pilihan orang tua aku untuk pindah?” mata Roland tampak mulai berkaca.
“itu pilihan orang tua kamu ‘kan, bukan kamu yang memilih untuk pindah. Dan untuk arti hidup kita, Land. Arti hidup ini sebenarnya adalah ketika kita di tunjuk untuk menentukan pilihan itu sendiri. Kitalah yang menentukan pilihan itu, Land. Bukan orang tua kamu, atau siapapun.”
Roland berhenti menatap Elsa, mengalihkan pandangannya pada hujan yang dengan derasnya masih mengguyur membasahi sekolah itu.
“Wah!” Azar berteriak kaget, melihat Roland dan Elsa berada dalam kelas itu. “Kalian belum pulang?”
“Kamu sendiri? Bukannya kamu dijemput, zar?” Elsa bertanya, melihat Azar yang masih berada di lingkungan sekolah itu.
“tadi pas mau pulang, aku di suruh-suruh sama guru-guru, pas mau pulang udah hujan. Ngomong-ngomong di sini dingin yah?”
“Suasananya juga dingin.” Gumam Elsa.
Kasih...
Yang t’lah kau beri~
Amat berarti mewarnai hidupku ini~
Lantunan lagu terdengar dari Azar yang duduk di tempat Sinta, sedang memainkan handphonenya.
Kasih...~
Bawalah aku tuk lebih lagi~
Memahami  arti hidup ini~
Elsa dan Roland segera memalingkan wajah mereka, melihat pada Azar yang asik bermain handphone itu. Sedangkan lantunan lagu itu seketika berhenti bersamaan dengan hujan yang mulai redah.
“yuk pulang? Hujannya udah redah.” Azar berdiri dari tempatnya duduk, berjalan keluar kelas.
Di bawah langit yang masih menteskan tetesan-tetesan air namun dalam volume yang rendah. Elsa, Roland, dan Azar berjalan dengan langkah kecil dan lambat.
Elsa mengeluarkan handphone nya, seperti mengetik sebuah pesan yang.
‘Apa arti hidup yang sebenarnya itu Kasih?’ isi pesan Elsa yang di kirimkannya pada Roland.
‘Kalau itu kasih? Menurut kamu gimana?’ balas Roland
‘Entah. Mungkin bagaimana kita mengasihi dan di kasihi orang, itu arti hidup.’
‘Gimana kalau Aku suka sama kamu? Iya, Sa. Itu Kasih aku untuk kamu.’
Elsa melihat pada Roland setelah membaca pesan itu.
“Aku belok sini yah?” Roland melambaikan tangannya ketika berada di tikungan, menatap Elsa dan tersenyum, lalu kembali melihat pada arah jalan menuju rumahnya.
“Jadi lebih lepas?” Azar menyimpan handphone yang dari tadi di mainkannya.
“Hahh?”
“Sebentar aja. Ini bukan saat yang tepat.”
“Apa sih? Aku mau jalan terus, dah.”
Elsa berjalan terus meninggalkan Azar, sebuah pesan baru masuk di handphonenya. Elsa mengabaikan pesan itu, terus berjalan menuju rumahnya. Yang ada di pikirannya hanyalah memikirkan Roland, teman baiknya yang akan segera pindah sekolah, serta pesan dari Roland. ‘Apa itu pernyataan perasaan Roland? Atau hanya pernyataan dari lagu yang di nyanyikan Ezra tadi?’ batin Elsa bertanya-tanya.
Dengan kaos dan celana menutupi lututnya, Elsa berbaring diatas tempat tidurnya, masih memikirkan akan hal yang terjadi dihari itu.
Elsa mengambil handphonenya, ketika di lihatnya ada sebuah pesan yang tidak sempat di bukanya, pesan dari Azar.
‘aku suka sama kamu, Sa! Aku nggak tahu apa respon dari kamu, setidaknya aku udah ngungkapin ini ke kamu.’ Isi pesan dari Azar.
Satu lagi yang bertambah dalam pikiran Elsa. ‘Apa lagi yang di kirim Azar ini? Apa Roland dan Azar...?’
Elsa memainkan handphonenya, mengirimkan sebuah pesan kepada dua orang sekaligus. Kepada Roland dan Azar;
‘Disaat kita menjadi teman, akan lebih muda bagi kita untuk saling berbagi! Dan mengasihi satu dengan yang lainnya!’ isi pesan yang dikirimkan Elsa.
Dua buah pesan secara bersamaan masuk. ‘Jadi?’ isi pesan itu sama dengan pesan yang satunya, pesan yang masuk bersama itu.
Balas pesan Elsa ‘Dengan teman aku merasa lebih nyaman, aku cuma ingin kita berteman. Kalian,teman-teman aku, yang membuat hidup ku lengkap. Dan aku nggak mau semua kelengkapan itu menghilang. Ibarat sebuah pistol, aku tidak mau kehilangan peluru-peluru yang harusnya ada di dalam hidupku, dan bekerja bersama dengan ku.
Bagi Elsa, melepaskan teman adalah hal yang terberat dalam hidupnya. Merusak sebuah pertemanan sama saja dengan menghancurkan sebuah berlian yang begitu berkilau dan mahal.
***
Sudah dua hari sejak pertemuan terakhir Elsa dan Roland, di mana Roland juga menyatakan perasaannya pada Elsa. Kursi tempat duduk Roland kosong untuk dua hari itu.
Sedangkan, hubungan Azar dan Elsa tetaplah seperti biasanya. Azar bisa mengerti akan Elsa yang begitu menghargai sebuah hubungan persahabatan, di bandingkan hubungan yang mungkin bisa menghancurkan hubungan yang baik, lagipula bagi Azar ada begitu banyak waktu yang harus di tunggu Azar untuk kembali menyatakan perasaan pada Elsa ketika Elsa sudah siap nanti.
Pagi itu, Elsa datang begitu cepat, di hari ketiga itu Elsa memang berharap masih bisa melihat Roland. Berat rasanya di tinggalkan oleh seorang teman baik baginya.
Meletakkan tas di atas meja, adalah kebiasaan Elsa saat tiba di kelas, atau bisa jadi kebiasaan rata-rata siswa.
Kelas yang masih kosong, hanya ada kursi dan meja itu. Elsa menatap tempat Roland, salah satu tempat yang kosong dari sekian tempat kosong yang ada.
Sebuah tas berwarna tiba-tiba di lempar dan mendarat tepat pada tempat Roland yang kosong itu. Elsa melihat tas hitam yang berada di atas meja Roland itu.
“Tumben kamu datang cepat banget?” tampaknya itu suara dari pemilik tas.
“Kayaknya aku kalah cepat. Mungkin karena dua hari nggak datang ke sekolah, yah?” lanjut suara itu.
Elsa dengan cepat memalingkan wajahnya, melihat si pemilik suara itu yang bersandar pada pinggiran pintu masuk.
“Kamu nggak jadi pindah?” tanya Elsa yang terlihat mulai senang dengan kehadiran Roland pagi itu.
“Baru dua hari aku nggak sekolah aja, kayaknya kamu terus perhatiin tempat aku, yah?”
“ih~ ge’er. Kamu sekolah karena mau ambil beberapa berkas untuk pindah yah?”
“Sebenarnya, mau balikin berkas sih.”
“Jadi?”
“Aku nggak jadi pindah sekolah.”
“Kenapa nggak jadi? Nggak ada sekolah yang mau terima kamu yah?” Elsa mengambil sikap bercanda.
“Kamu beneran mau aku pindah yah?”
“Nggak begitu, Land? Jadi, kenapa kamu nggak jadi pindah?”
“Papa aku nggak jadi balik kerja ke Jakarta. Makanya, aku juga nggak jadi pindah sekolah.”
“Bagus deh! Aku kira nggak bakal ketemu sama kamu lagi.”
“Oh ya, Sa! Kita juga perlu mengikuti setiap pilihan yang ada, ‘kan? Jadi, Arti hidup itu, dimana kita di tunjuk untuk mengikuti pilihan yang sebenarnya di sediakan untuk kita.”
“Entahlah. Kayaknya kamu udah ikutin pilihan itu!?
“Yah, dan nggak mungkin juga aku harus ninggalin sesuatu yang lebih berharga dari berlian.” Roland tersenyum.
“Hah? Kamu kok disini?” Azar membalikkan badan Roland, heran dengan keberadaan Roland.
“Memangnya aku nggak boleh disini?”
“”Roland nggak jadi pindah sekolah.” Elsa menyelah dengan senyuman manisnya yang terukir di wajahnya.
“nggak jadi pindah...? Bagus dong, kita jadi bisa sama-sama lagi. Dua hari tanpa ketua kelas, kelas ini seperti nggak punya pemimpin.”
“Emang harus ada aku yah baru kalian memiliki pemimpin? Setiap orang bisa menjadi pemimpin.”
“tapi beda dengan kamu. Dengan begini aku punya saingan... tidak, aku kembali punya salah satu teman terbaik lagi.”
Roland tersenyum akan kata-kata Azar itu, bersama mereka tersenyum di pagi yang indah itu.
 Elsa bisa mengerti akan kata-kata Azar yang sempat terputus itu. ‘Saingan’, Elsa mengerti akan hal itu. Ia jadi teringat dengan pesan dari Roland dan Azar yang menyatakan perasaan kepadanya. Namun, Elsa berpikir untuk melupakan hal itu,karena mengungkit atau mengingat-ingat akan hal itu hanya akan merusak sebuah hubungan pertemanan yang tak mungkin lagi akan di temuinya suatu hari nanti.
Terdengar akan kepindahan oleh teman-teman, dan tak hadir untuk beberapa hari. Tak akan ada teman yang tak akan mengingat atau merindukan kita. Silih berganti, setiap siswa Xc tiba dan memasuki kelas mengerumuni Roland, ada yang merengek, ada yang kesal, bahkan memukul Roland, karena berita kepindahannya.
“Payah yah! Roland udah nggak hadir beberapa hari. Aku rindu sama Roland.” Sinta duduk melepaskan tas yang ada di punggungnya.
“Kamu belum lihat dia yah?” Elsa memegang pundak Sinta.
“Siapa? Roland? Ya belum lah. Paling, sekarang dia sedang bersiap kesekolah?”
“nanti kamu sadar sendiri deh.” Elsa melepaskan pegangannya.
“Itu anak-anak kenapa pada ngumpul di tempat Roland? Ada murid baru yah?”
“Iya, murid baru! Baru sekolah!”
“Dia nggak pernah sekolah sebelumnya?”
“Sinta, please. Kamu lihat aja itu siapa?” Elsa sedikit kesal dengan pemikiran Sinta yang lambat.
Seorang dari orang yang berkerumun di tempat Roland itu, bergeser dari tempatnya wajah Roland mulai terlihat, karena kerumunan itu tidak begitu padat lagi.  Roland mengangkat tangannya, melambai kecil dan tersenyum  pada Sinta yang telah melihatnya.
“Roland, tuh! Roland aja di kerumunin.” Sinta berkata.
Elsa menatap bingung salah satu teman baik yang ada di sampingnya itu “Kamu sakit ya?”
“Nggak, aku sehat-sehat aja, Sa.”
Elsa menepuk jidatnya “Terserah kamu, Sin! Itu Roland. Roland. Roland.”
“Aku tahu itu Roland.”
Elsa membiarkan Sinta yang tampaknya hanya sadar Roland ada di sekolah, tapi tidak menyadari bahwa Roland tidak jadi pindah sekolah.
“Roland yah?” Sinta segera berdiri dari duduknya, berjalan menuju tempat Roland.
“Dia baru sadar yah?” Gumam Elsa.
“Kamu tuh kenapa sih? Pindah nggak bilang-bilang? Terus kenapa kamu nggak ngundurin diri dulu dari posisi ketua kelas? Kenapa juga kamu nggak jadi pindah?” Sinta merengek pada Roland yang hanya bisa mendengar rengekkan Sinta.
Azar dan Elsa mendekati Sinta yang berada di hadapan Roland sedang merengek. Mereka mencoba menghentikan rengekan Sinta, karena tahu Roland tak sanggup mendengar rengekan Sinta itu.
“Udah, Sin! Kan Roland nggak jadi pindah. Gimana kalau sebentar kita berempat, ah berlima bareng Randy makan bareng?” Elsa membujuk Sinta yang hendak merengek lagi.
“Makan dimana?” tanya Sinta
“Pangsit?” Azar menyarankan “Nah, di traktir sama Roland deh?”
“aku yang traktir?” Roland tampak keberatan.
“Ayo lah, Land. Kamu mau Sinta merengek terus sama kamu?”
“Ini sih mencari kesempatan yah? Ya udah deh.” Kata Roland tampak pasrah.
“Kamu yang traktir, Land?” Sinta terlihat senang.
“kalau soal traktiran, ekspresi kamu langsung berubah yah?” Azar sedikit mendorong kepala Sinta dengan telunjuknya.
“Jadi pulang sekolah nanti ‘kan?” Elsa memastikan.
“Kalau pulang sekolah aku telepon Randy dulu deh?” Azar memegang handphonenya mencoba menghubungi Randy.
“Enci datang, hubungi Randy sebentar aja.” Elsa sejenak melihat keluar kelas.
Ibu Widya masuk kedalam kelas di ikuti oleh seorang siswa lelaki, tampaknya seorang siswa pindahan.
“Ah!” Elsa terkejut.
“Itu?” Sinta memalingkan kepalanya pada Elsa yang terkejut.
“Loh?” Roland juga terkejut.
“Baru juga mau di telepon?” Azar bergumam dengan senyuman di bibirnya.
Vincent nggak sekolah yah?” Bu Widya bertanya ketika melihat tempat Vincent yang kosong.
“Untuk sementara kamu duduk di situ yah sama Roland. Oh Roland, selamat datang lagi.” Kata Bu Widya sambil menunjuk tempat Vincent dan tersenyum pada Roland.
“Oh iya, kamu boleh perkenalkan diri dulu?” Lanjut Bu Widya
“Saya Randy. Salam kenal semua.” Randy memperkenalkan diri dan segera menuju ke tempat Bu Widya menunjuk untuk ia duduki.
“Baik, sekarang kita lanjutkan materi kita...”
Bu Widya mulai menulis di papan putih itu dengan broadmarker berwarna hitam. Dua jam pelajaran Bu Widya mengajar.
Randy membuat kejutan dengan kepindahannya di SMA Negeri 1.
“Kamu benar pindah sekolah ke sini?” Azar seperti tak percaya.
ya iya dong Eleazar. Kalau nggak, terus kenapa aku harus duduk disini, Zar?” Randy membereskan bukunya yang di atas meja.
“Kok sampai pindah sekolah?” Sinta ikut bertanya.
“Sekolah tanpa Azar, dunia terasa hampa.” Randy memberi sedikit intonasi pada kata-katanya.
“Lebay. Serius dong?” Sinta mendesak.
“Iya, malas sekolah tanpa teman yang selalu bersama aku.”
“Memang teman-teman kelas kamu?” Elsa bertanya juga.
“Iya, kamu ‘kan masih punya teman sekolah?” Roland menambahkan.
“Bedalah. Punya teman yang begitu dekat dan teman yang, yaah... nggak begitu dekat jelas beda.”
“Bukan beda. Kamu aja yang nggak bergaul.” Sindir Azar.
“Lagian, bukan hanya Azar yang ada disini ‘kan bareng sama kalian juga.”
“Kalau gini, terasa begitu lengkap yah.” Sinta menggandeng tangan Elsa.
“Ini ibarat puzzle yang sudah lengkap. Nggak ada lagi bagian yang kosong.” Elsa berucap.
“Bahkan ini sperti mentega dan roti. Tanpa mentega, sepotong roti nggak akan terasa lengkap. Iya kan?” Roland menambahkan.
“Jadi, sebentar kita langsung pergi makan ‘kan? Toh, kita udah lengkap.” Sinta mengingatkan akan janji makan bersama.
“Itu aja yang kamu ingat? Tapi, tenang Sin, kan udah aman. Ada yang mau traktir.” Azar sedikit menyindir untuk mengingatkan akan traktiran dari Roland.
Elsa pulang bersama Sinta dan Roland di awal ia bersekolah di SMA. Di awal tahun, Azar ikut menemani  mereka bertiga pulang, dan kini Randy hadir juga untuk pulang bersama, dan agar selalu bersama.
Makan siang sepulang sekolah itu adalah makan siang yang berharga untuk Elsa, bukan tentang traktiran yang di berikan Roland, tapi kebersamaan mereka untuk bersama adalah hal yang paling berharga untuk Elsa saat ini.
“Chingu!” kata Elsa ketika sedang menunggu makanan tiba.
“Kenapa, Sa?” tanya Sinta.
“Chingu artinya teman dalam bahasa Korea. Jadi, kita berlima Chingu ‘kan.” Jelas Elsa.
“Maunya sih bukan cuma teman?” gumam Roland dan Azar secara bersamaan. Dan saling menatap.
“Kalian mau apa?” Sinta mendengar gumam Roland dan Azar itu.
“Nggak apa-apa, iya kan Land?” hal terbaik yang selalu dilakukan Azar, adalah mencari alasan.
“Iya, nggak mau apa-apa. Mau pangsit.” Roland ikut memberi alasan.
Elsa tersenyum, mengerti akan dua orang yang mencari alasan itu. Itulah yang Elsa inginkan, tersenyum bersama, bercanda bersama, adalah hal yang di inginkan Elsa dalam sebuah pertemanan. Pertemanan yang melengkapi setiap puzzle dalam hidupnya, mengisi setiap kekosongan dalam hidupnya.
Karena sebuah pertemanan adalah hal yang harus dibayar mahal, bukan dibayar dengan uang, emas, atau berlian. Namun dibayar dengan kasih, ketulusan, kebersamaan, dan kepercayaan.
Dalam hati Elsa berkata “They are make my life COMPLETE.”
 


Make My Life Complete Sinopsis
Make My Life Complete Part 1
Make My Life Complete Part 2
Make My Life Complete Part 3
Make My Life Complete Part 4
Make My Life Complete Part 5
Make My Life Complete Part 6
Make My Life Complete Part 7
Make My Life Complete Part 8
Make My Life Complete Part 9 (Last)